BAB -1-

2K 173 29
                                    

"Kamu itu paham apa endhak, toh. Kalau yang namanya Pangestu itu adalah orang Berjo. Ndhak pernah kenal apa bagaimana?"

"Tapi, Romo, memang benar ada yang namanya Pangestu di Berjo. Tapi di Ngaglek juga ada. Namanya Simbah Pangestu. Ada beberapa orang yang namanya Pangestu, Romo. Ndhak hanya satu orang saja di dunia ini,"

"Halah, terserah-terserah! Kesal aku sama kamu. Ya sudah, sekarang kamu fokus saja sama kebun. Kabarnya, pemilik pabrik mau datang untuk sekadar meninjau perkebunan,"

Ya, selalu seperti itu. Setiap pagi hariku selalu dipusingkan dengan dua laki-laki di keluargaku yang sibuk dengan berdebat. Keduanya seolah tidak ada kegiatan lain, selain setiap hari berdebat pada masalah-masalah yang tidak penting sekali.

Kalian, sudah tahu aku, toh? Jika belum, aku akan memperkenalkan diri sebentar. Namaku adalah Rianti Hendarmoko, putri dari pasangan Nathan Hendarmoko, dan Larasati Hendarmoko. Orangtua yang sangat aku banggakan di mana pun aku berada. Selain dari itu adalah, aku memiliki seorang Kangmas yang bernama Arjuna Hendarmoko. Banyak yang mengatakan jika kami bukan hanya keluarga berdarah biru saja, bukan saja keluarga keturunan ningrat saja. Namun, visual kami yang kata mereka sempurna adalah salah satu hal yang terlalu dipuja oleh mereka. Ya ... mereka yang merupakan penduduk kampung yang ada di sekitar Karanganyar.

Kuhelakan napasku, bulan depan aku sudah bersiap diri untuk kembali ke Jawa Barat. Mengemban ilmu yang harus banyak kudapat, karena menjadi seorang Dokter Spesialis adalah cita-citaku sedari dulu. Aku berada di semester tiga perkuliahanku yang artinya jika sekarang ada lagi anak didik yang baru masuk. Dan dari arti semua itu adalah, jika sahabat terbaikku sekarang akan ikut berkuliah bersama denganku. Ya, siapa lagi kalau bukan Manis. Selain dari yang aku tahu beberapa waktu ini jika mungkin Manis dan Kangmas ada sesuatu, faktanya adalah, Biung dan Romo telah memutuskan untuk Manis agar meneruskan sekolahnya ke tingkat yang lebih tinggi lagi. Aku senang bukan main atas kabar itu, itu tandanya jika aku tidak akan merasa kesepian dan sendiri lagi. Berada di tempat yang jauh dari orangtua, bukanlah hal yang menyenangkan sama sekali, tentunya. Terlebih, ada hati yang kugantungkan di sini dengan begitu nyata.

"Ndhuk, mau ke Berjo lagi?"

Biung, masuk ke dalam kamarku, dia lantas mencium puncak kepalaku. Mengambil alih sisirku, dan kini sedang menyisirkan rambut panjangku hingga rapi. Salah satu hal yang kusuka dari Biung, dia selalu menjadikanku anak kecilnya yang sangat dia sayang di seluruh dunia.

Kupejamkan mataku sejenak, harum Biung yang perpaduan antara melati yang dia selipkan di sanggulnya dengan bunga mawar pun tampak semerbak sempurna. Membuat Biung nyaris tak pernah kehilangan aroma khas yang luar biasa. Aroma yang tidak akan pernah bisa kulupakan selamanya.

"Iya, Biung. Kabarnya, di Berjo ada telaga madrida yang kabarnya akan dibersihkan agar tampak terawat. Karena masalah ini pula, banyak kabar yang mengatakan jika suatu hari nanti telaga ini bisa jadi akan dibuka sebagai destinasi wisata. Bukankah itu sangat menyenangkan, Biung. Betapa kampung kita akan semakin maju, setelah Kemuning, sekarang Berjo. Aku sangat senang dengan hal itu,"

Namun, Biung tak menunjukkan rasa antusias seperti biasanya. Mendengar nama telaga madrida kusebut, dia seolah tampak tertekan dan mengingat sebuah kenangan yang traumatik. Sebuah kenangan yang sama sekali tidak bisa aku ketahui. Sungguh, aku sangat penasaran dengan alasan dibalik, wajah Biung yang tampak penuh dengan kesedihan dan pucat pasi itu.

Meski bagiku, ini bukan hanya tentang telaga Madrida. Namun juga tentang sosok yang singgah di perbatasan antara Kemunging, dan Berjo. Sosok yang selalu kuusahakan untuk kulihat setiap harinya, dan sosok yang sebentar lagi akan kutinggalkan ke kota.

RIANTI (Dendam Terindah)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang