Luna : Pergi Untuk Bahagia

51 20 153
                                    


"Kadang Tuhan memberikan kita penyesalan, saat kita meninggalkan yang baik untuk yang terbaik."

Gadis berambut hitam panjang itu duduk terpekur di sudut kamarnya yang gelap. Di antara kedua lutut, ia menyembunyikan wajahnya, sementara bahunya berguncang pelan akibat isak yang tertahan.

Di luar kamar, nampak sepasang suami istri tengah bersitegang sembari melontarkan kata-kata keras dan kasar, yang membuat siapa saja mendengarnya akan mengelus dada.

"Aku tak pernah menyangka kamu tega berbuat seperti ini, Mas!" teriak wanita dengan rambut pendek sebahu berurai air mata.

Laki-laki di hadapannya hanya terduduk diam di sofa, membiarkan setiap kata yang dilontarkan wanita itu merangsek masuk ke dalam gendang telinganya.

"Cukup, Tia!" bentak laki-laki itu pada akhirnya. Jengah mendengar umpatan dan makian dari wanita di hadapannya.

"Kenapa? Laki-laki bejat seperti kamu seharusnya aku lempar ke jalanan!"

Plak! Sebuah tamparan mendarat di pipi Tia. Wanita itu membeliak tak percaya, suaminya akan bermain tangan.

"Puas kamu? Tampar, Mas! Tampar lagi!" Bukannya surut, amarah Tia semakin nyalang berkobar.

Akbar tersadar akan perbuatannya, lalu perlahan memutar tubuh dan meninggalkan Tia yang terjatuh bersimpuh di lantai sambil menangis tersedu. Sakit akibat tamparan suaminya tak sebanding dengan sakit hati yang ia rasakan.

Wanita itu begitu marah, karena Akbar dengan tega menghamili putri semata wayangnya, Luna. Meskipun, dia tahu Luna adalah anaknya. Anak tiri lebih tepatnya. Tia menikah dengan Akbar setahun lalu, setelah hampir tiga tahun menjanda. Sikap Akbar yang penuh kasih dan mau menerima Luna menjadi anak tirinya, membuat Tia menerima pinangan lelaki itu. Namun, ia tak menyangka akan menerima kenyataan pahit saat putrinya mengaku tengah hamil akibat perbuatan ayah tirinya sendiri.

***


Luna melangkah gontai menuju ke sebuah taman bermain tak jauh dari tempatnya tinggal. Angin basah di awal musim hujan, membuat gadis itu merapatkan jaketnya menghindari dingin yang menusuk. Bayangan pertengkaran ibu dan ayah tirinya masih berkelebat di kepalanya. Setiap ucapan, makian dan umpatan terngiang jelas di telinga gadis enam belas tahun itu.

Ia merasa tak berdaya dengan situasi yang kini membelitnya. Perbuatan sang ayah membuat dirinya mengandung di usia belia. Selama enam bulan dirinya diam dan pasrah diperlakukan tanpa adab oleh lelaki yang ia panggil ayah. Namun, sepandainya menyimpan bangkai pasti akan terendus juga. Begitupun perbuatan sang ayah. Ibunya dengan mata kepala sendiri memergoki keduanya tengah melakukan hal yang tak pantas, saat ia pulang dari bekerja. Tak terbayangkan amarah serta kecewa sang ibu padanya. Meskipun, Luna berusaha menjelaskan pada sang ibu, kemarahan telah menguasai akal pikiran wanita itu, hingga membuat seolah dirinyalah yang bersalah.

Taman bermain itu sepi. Wajar, karena tempat yang dipenuhi berbagai wahana tersebut baru dibuka malam hari. Luna memilih duduk di sebuah bangku yang dinaungi pohon palem yang cukup rindang. Kembali, air mata menitik jatuh dari matanya yang agak sembab. Sebuah tepukan halus membuat gadis itu kaget dan spontan menoleh. Nampak di sampingnya, seorang pemuda tampan tersenyum lebar ke arahnya. Kulitnya begitu putih diterpa cahaya mentari pagi.

KUMPULAN CERPEN "MATI RASA" Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang