Ego Yang Merenggut

22 12 84
                                    

"Mengedepankan ego, berarti telah siap kehilangan."

Remaja itu memacu mobil sport miliknya dengan kecepatan maksimal di jalan tol malam itu. Situasi jalan yang lengang, membuat pemuda delapan belas tahun itu, leluasa menginjak pedal gas dengan kuat.

    Raut wajahnya begitu muram dengan pandangan penuh  kemarahan dan kekecewaan. Berkali-kali, pemuda berparas tampan itu menyugar kasar rambut hitamnya. Rasa kecewa yang dirinya pendam selama ini mencapai puncaknya, ketika ia sampai di rumah sepulang dari kuliah. Kakinya makin kuat menekan pedal gas, saat bayangan peristiwa yang dilihatnya kembali berkelebat.

***

Diandra baru saja menapakkan kaki di teras rumahnya yang berlantai dua, saat ia mendengar suara-suara keras dari dalam ruang tamu. Pintu depan yang tidak tertutup, memudahkan pemuda itu dapat mendengar dengan jelas apa yang tengah terjadi.

    “Pantas saja setiap hari selalu pulang malam. Alasan ada rapat lah, bertemu klien, nyatanya kamu berselingkuh dengan sekretarismu itu, Mas!” teriak Alma, ibu dari Diandra.

    Wanita berambut sebahu itu, nampak terisak dengan linangan air mata yang tumpah di kedua pipinya. Sementara, di depannya berdiri angkuh seorang pria, yang masih mengenakan jas hitam sambil menenteng sebuah tas kerja.

    “Kenapa, Mas? Kenapa kamu tega melakukan semua ini?” Kembali Alma berseru dalam tangisnya.

    Pria berjas yang merupakan ayah dari Diandra, dengan tenang melewati Alma dan meninggalkan wanita itu terjatuh pada lututnya di ruang tamu.

    Diandra segera menghampiri ibunya yang kini terduduk sambil sesengukan. “Bu, apa yang terjadi?” Seraya membawa wanita itu ke kursi ruang tamu.

    Alma tersenyum lemah mendengar pertanyaan putera semata wayangnya, “Tidak ada apa-apa ‘Nak.” Ia mencoba berbohong.

    Diandra kemudian  berdiri. Sebelum ia melangkahkan kakinya lebih jauh, Alma seketika menghentikannya. “Kamu mau ke mana?” sergahnya.

    “Aku akan bicara dengan Ayah,” kata Diandra tanpa menoleh ke arah Alma yang dengan erat memegangi lengannya.

    Dengan lembut, Alma memberi pengertian pada puteranya untuk tidak bertemu dulu dengan sang ayah. 

    “Aku sudah dewasa, Bu! Aku berhak ikut campur dengan masalah kalian!” pungkasnya seraya menuju ruang kerja ayahnya, tanpa bisa dicegah. 

“Apa benar, Ayah punya selingkuhan?” cecar Diandra, begitu ia memasuki ruang kerja ayahnya.

    “Masuk ke dalam ruang kerja Ayah, tanpa mengetuk pintu! Mana sopan santunmu?!” Suara Bram meninggi sambil meletakkan ponsel yang dipegangnya di atas meja kerja.

    “Jangan mengelak, Yah. Jawab saja pertanyaanku!” kata Diandra tidak kalah kerasnya. Ayah anak itu, saling memberikan tatapan tajam satu sama lain.

    Bram menggebrak meja kerjanya dengan keras. “Itu … sama sekali bukan urusanmu!” bentaknya dengan penekanan di setiap ucapannya. 

    “Aku berhak tahu, Yah! Aku anak Ayah. Jika betul Ayah berselingkuh, bagaimana nasib Ibu? Apakah Ayah  memikirkan perasaanku?!” tuntut Diandra tidak kalah sengit.

    Bram, dengan wajah merah padam segera berlalu dari ruang kerjanya. Ia melewati Alma yang masih di ruang tamu, tanpa menghiraukan panggilan wanita itu. Bahkan, Bram dengan kasar mendorong Alma, sehingga wanita yang sudah bersamanya selama hampir dua puluh dua tahun itu, terjatuh dan membentur ubin ruang tamu.

Diandra segera menghampiri ibunya. Nampak, kening Alma mengeluarkan darah akibat luka sobek yang diakibatkan benturan ke ubin. Dengan lembut, pemuda itu memapah ibunya kembali ke kursi ruang tamu dan mulai mengobati luka di keningnya.

    “Aku akan bicara dengan Ayah dan memastikan kebenaran itu, Bu.” Diandra berujar lembut sambil mengoleskan obat merah ke kening Alma yang kembali menangis dalam diam.

    Alma menyandarkan kepalanya ke bahu Diandra. Dengan suara yang serak akibat tangis, ia mulai menceritakan ihwal dirinya, yang mengetahui Bram tengah bermain hati dengan wanita lain saat tanpa sengaja, ia mendengar percakapan suaminya itu dengan seseorang di telepon yang penuh akan kata-kata mesra.

    Seusai mengantar Alma ke kamar, Diandra segera ke lantai dua dan masuk ke dalam kamarnya, untuk beristirahat dan menenangkan pikiran atas kejadian yang terjadi beberapa saat lalu.

    Diandra terbangun, saat mendengar suara gaduh dari lantai bawah. Dengan cepat, pemuda itu  berlari turun. Ia membulatkan matanya, melihat ayah ibunya kembali bertengkar hebat. Bahkan, sampai melempar barang dan mengeluarkan umpatan-umpatan kasar.

Saat mencoba menghentikan pertengkaran keduanya,  matanya melihat sosok asing yang berdiri di samping ayahnya. Seorang wanita muda berambut panjang, berusia tidak lebih dari dua puluh lima tahun, mengenakan dress berwarna hijau muda, dengan rambut  yang tergerai.

    “Siapa dia, Yah?” tunjuk Diandra pada wanita di samping ayahnya.

    “Berani sekali, kamu menginjak rumah ini, dasar pelakor!” umpat Alma menunjuk ke arah wanita, yang hanya diam dengan bersidekap. Bibir merahnya menyunggingkan senyum kemenangan. 

Diandra membelalak mendengar ucapan ibunya, “Jadi … benar, Ayah berselingkuh?” geramnya dengan tatapan tajam ke arah Bram.

    “Ayah dan ibumu sudah tidak ada kecocokan lagi. Kamu tentu sudah tahu itu,” beber Bram.

    Diandra tidak membantah ucapan ayahnya. Selama ini, ia kerap melihat keduanya saling bersilang pendapat dan berujung pada pertengkaran. Namun, tidak pernah ia sangka, jika ayahnya akan bertindak sejauh ini.

    “Ayah dan Risma akan menikah setelah kami bercerai.” Sebuah ucapan menohok yang membuat kemarahan Diandra naik ke ubun-ubun.

    Tanpa peringatan, pemuda itu menuju arah Risma. Namun, Bram menghalanginya, hingga terjadi kontak fisik, yang berujung sebuah pukulan melayang ke rahang Diandra.

    “Diandra!” pekik Alma histeris, saat melihat putranya tersungkur ke lantai dengan darah yang keluar dari sudut bibirnya.

    Diandra menatap penuh benci ayahnya dan Risma bergantian. Lalu dengan cepat berlari keluar dan mengendarai mobilnya entah ke mana.

    Sementara, Alma hanya bisa berlutut sambil menangisi nasib rumah tangganya. 

***

    Bram melangkah cepat menuju ruang UGD rumah sakit bersama Alma, saat mendapat kabar Diandra mengalami kecelakaan. Keduanya segera menghampiri seorang dokter yang baru keluar dari ruangan UGD.

    “Bagaimana anak saya, Dok?” tanya keduanya serempak. 

    Dokter itu melepas kacamatanya sebelum menjawab, “Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi Tuhan berkendak lain.”    

    Dokter itu menerangkan, menurut orang yang membawa Diandra, mobil pemuda itu terguling di jalan tol kemudian dihantam oleh truk barang. 

    Keduanya menyeruak masuk ke ruangan tempat Diandra. Alma menjerit dan menangis histeris, sementara Bram berpegangan pada tembok ruangan berusaha mencegah tubuhnya jatuh, akibat kakinya yang melemas. Tampak oleh keduanya, Diandra terbujur kaku di atas brankar. Putra mereka satu-satunya telah pergi untuk selamanya. 








KUMPULAN CERPEN "MATI RASA" Där berättelser lever. Upptäck nu