01. Nagrak. 22 derajat C, Hujan Rintik rintik

8 0 0
                                    


Mah

Hari ini, sudah dua minggu Shinta gak berani masuk ke kamar mandi yang dibawah tangga. Rahman juga gak berani. 

Sulit untuk menyetop air mata, kenangan dan rasa sakit yang tak bisa hilang saat melangkah kesana, menyaksikan lagi wajahmu yang kesakitan di saat terakhir, yang terus terang sampai sekarang, aku gak pernah mimpi bahwa itu tuh saat terakhir Mamah.

Ahmad sering menangis, menyesali bahwa kami, aku dan dia, praktis tak pernah mengunjungi Mamah selama bertahun tahun, menghindari pertemuan, meski hanya sejarak lengan.

"Mengapa kita tak pernah kesana dan mengobrol, menemani mamah dan bapak. Mengapa kita sering kesana ketika mamah sudah tiada?"

Waktu itu aku mendesah, karena diam diam, aku juga menyesal mah. Akan tetapi, mengingat betapa mudahnya konflik tersulut dan pertengkaran dimulai hanya karena perbedaan pendapat atau sekedar berbeda bahasa dalam menyatakan sesuatu, kesalah pahaman misalnya, karena sekedar bajuku yang terus menerus kucel, atau pinggangku yang semakin lebar.

Aku tidak ingin bertengkar.

Aku ingin menyayangimu mah.

Tetapi, kadang itu sulit buatku.

Mungkin aku tuh teu payaan, payah seperti kata Mamah, atau tidak punya perasaan seperti kata Bapak. Tapi seandainya aku tak punya perasaan, aku pasti tidak bisa merasa perih dan sakit.

Hari ini, kami bertengkar untuk yang pertama kalinya sepeninggalmu. 

Tadinya Rahman minta tolong, dia pengen jualan bajunya laku, maka kutawar-tawarkan baju itu pada teman-teman yang lain. Tentu mereka bertanya, warnanya apa, ukurannya berapa, bahannya apa, akan tetapi alih-alih menyediakan data, Rahman malah meledak dan memarahiku.

Aku sebenarnya masih enggak mengerti, salahku apa. Karena aku pengen tau juga, mengapa kami ended up fighting.

Cuma keadaan setelah itu ketika bapak ikutan marah sama aku, membuatku tambah bingung sebenarnya.

Aku tahu sebenarnya Rahman cuma malas. Tetapi ketika kesalahannya ditimpakan padaku, rasanya ... bagaimana begitu. Mungkin seharusnya pedih, perih atau sakit. Tapi, ada bagusnya aku itu tidak punya perasaan. 

I barely feel anything, just numb.

Hanya saja, beberapa jam setelahnya, ketika mereka semua tertidur, pipiku basah. 

Mungkin itu air mata, entahlah. 

Mungkin aku sakit hati.

Tapi aku kan tidak punya perasaan ya mah. Tentu tidak mungkin aku sakit hati.

Surat tak terkirim untuk MamahWhere stories live. Discover now