5. Beban Keluargamu

324 79 26
                                    

"Kenapa Eonnie bertengkar dengan Seokmin Oppa?"

Mata kecil Jihoon memantulkan cahaya yang menerobos masuk melalui jendela. Jisoo menjawab pertanyaan itu dengan tidak tega. Padahal masih sangat kesal. "Kami hanya mengalami cek-cok sedikit sebelumnya."

Jihoon bertanya lagi. "Cek-cok yang seperti apa?"

"Seperti ... saling mengatai? Yah pokoknya seperti itu, lah. Bukan cek-cok yang berlebihan. Maaf, ya?"

"Kenapa Jisoo Eonnie malah meminta maaf?"

Jisoo jadi ikut bingung. Menggaruk tengkuk yang tidak gatal. "Ya karena ... bertengkar dengan Oppa-mu?"

Sepertinya Jihoon sudah mulai paham. Anak berumur belum genap 12 tahun itu, yang baru saja mulai menginjakkan kaki di kelas 6 sekolah dasar itu, naik ke atas ranjang Jisoo. Duduk dengan menjuntaikan kakinya yang tidak sanggup menggapai lantai. Sprei kasur itu baru selesai diganti oleh ibunya tadi pagi. Dan tentu Jihoon pun ikut membantu membersihkan kamar itu selepas istirahat pulang sekolah, sebagai persiapan penyambutan tamu. Jihoon-lah yang paling antusias karena sangat ingin memiliki kakak perempuan. "Seokmin Oppa pasti mengatai Eonnie yang aneh-aneh, kan? Seokmin Oppa memang seperti itu. Dia juga sering mengataiku dan juga Chan. Tapi kalau diganggu balik, dia akan marah dan berteriak sampai semua kaca di rumah ini pecah."

Jisoo jadi tertawa. Ingat persis dengan beberapa kejadian pertengkaran antara ia dan Seokmin. Jisoo sungguh mensyukuri kehadiran Jihoon. Tentu juga mensyukuri kehadiran kedua orangtua Seokmin dan juga Chan. Jisoo hanya membenci kehadiran Seokmin. "Apakah Oppa-mu itu sangat sering berteriak? Saat kami bertengkar di kantin, ya... sebenarnya aku juga salah karena tidak sengaja menabraknya, dan kami saling mengatai. Aku terlalu kesal sampai menendang kakinya. Seokmin langsung berteriak sangat nyaring, padahal aku tidak merasa menendang kakinya terlalu keras."

"Sebenarnya tidak, dia hanyar berteriak ketika sudah tidak tahu bagaimana cara melampiaskan rasa ingin marah. Tapi harus kuakui suara Oppa bisa mengalahkan speaker konser," kata Jihoon. "Tapi kata Ibu itu tidak apa-apa. Itu jauh lebih baik dibandingkan Seokmin Oppa melakukan kekerasan saat marah. Dia memang tidak pernah melakukan itu."

Ah... Ya, memang. Meluapkan amarah melalui teriakan memang jauh lebih baik dibandingkan melalui tindakan berupa kekerasan fisik. Mengetahui fakta satu ini, Jisoo jadi sedikit kagum. Sungguh jarang ada pria yang dapat mengontrol emosinya dengan baik.

Jihoon menambahkan. Yang ternyata anak itu sudah berada di ambang pintu entah sejak kapan. "Tapi Jisoo Eonnie tidak perlu takut. Cukup diamkan 5 menit, Seokmin Oppa pasti lupa dengan marahnya. Dan berhati-hatilah dengan Chan. Karena sebenarnya, dia manusia yang paling jahil di rumah ini." Lalu Jihoon pergi usai menutup pintu kamar Jisoo.

Terdengar seperti sebuah ancaman. Namun Jisoo tidak mau ambil pusing karena ancaman itu bahkan memiliki tinggi kurang dari bahu Jisoo. Yang pada kenyataannya, harusnya sejak awal Jisoo memerhatikan peringatan itu. Agar setidaknya, ia memiliki pertahanan lebih untuk melawan. Tapi tidak. Jisoo juga tidak yakin apakah masih memiliki pertahanan lebih meskipun sudah mempersiapkan diri sebelumnya. Bahkan meskipun sudah bertahun-tahun bersiap. Karena apa?

"Aaa!"

Bukan. Itu bukan teriakan Seokmin. Pemuda itu malah menutup telinganya dengan headphone, menghabiskan waktunya untuk streaming lagu noona kesayangan. Apa pun yang terjadi, noona-nya itu harus mendapatkan win di music show. Seokmin juga tidak menyadari bahwa ada kehebohan terjadi tepat di sebelah kamarnya. Jihoon terus mengetuk pintu kamar Seokmin, lalu membukanya sendiri karena tidak juga mendapat sahutan.

Fanboy's Playlist (✔️)Where stories live. Discover now