42. | R e m a i n i n g T i m e |

1.3K 288 85
                                    

"Cita-cita lo pengen jadi dokter?" Disana gue liat ada semacam biodata diri dengan tulisan yang ga terlalu bagus kaya sebelumnya. Tapi masih kebaca. Terus gue denger dia terkekeh, "ga juga sih. Cita-cita gue kadang pengen jadi ini kadang pengen jadi itu.. Cuma Bunda pernah bilang kalau cita-citanya dulu pengen jadi dokter, insting gue mengatakan kalau gue harus merealisasikan apa yang ga kesampaian sama Bunda."

"Hebat banget lo! Pantes jadi anak ambis!" Gue ketawa, cowok itu juga.

Dengan perlahan gue buka lembar selanjutnya.

" 'Selagi masih ada Bunda yang selalu nyambut gue di pintu rumah- gue akan tetap pulang.' Lo nulis begitu disini."

Gue mendongak ke arahnya, dia lagi bersila tepat di hadapan gue. "Maksudnya apa?"

"Hmm.. dulu gue sering pergi dari rumah bahkan pernah sampai berminggu minggu ga pulang saking sakitnya sama perkataan Papa."

"Yang bener aja?!"

"Iyalah! Papa pernah bilang gini ke gue, katanya anak gak tau diuntung kaya gue pantes mati."

Gue ternganga. Gila! Orang tua mana yang tega bilang perkataan semenyakitkan itu ke anak yang terbilang masih dibawah umur? Gue jadi mikir, sejahat apa Papa-nya Dejun..

"Itu salah satu perkataan Papa yang gue inget. Dan sampailah gue disini.. emang bener, ucapan orang tua tuh mujarab hahaha!" Katanya dengan santai.

SAMA SAMA GILA!

Lantas langsung aja gue ngedorong bahunya, "Lo kok bisa tenang banget sih?!" Masalahnya, gue sendiri yang jadi ikut sakit hati! Kemudian dia terkikik, "Kata siapa? Hati gue sakit, Na. Tapi percuma juga gue dendam, gue ga bisa ngapa-ngapain."

Seketika hati gue mencolos.

Malam ini tepat jam 10 malam, satu jam selepas kepulangan gue dari rumah Yiyang di anter sama Lucas.

Dejun tadi bilang buat gue istirahat aja, tapi bukannya istirahat- gue malah tertarik sama bukunya lagi. Udah lama banget rasanya gue ga pegang ini buku, Dejun cuma ngehela saat itu.

"Tapi lo pergi dari rumah kemana deh? Ga mungkin banget kan anak dibawah umur bisa pergi jauh jauh gitu.."

Logikanya emang ga masuk akal, masa dia tidur dipinggir jalan sih? YAKALI!

"Engga, gue pergi ke tempat seseorang. Dan dia bilang apa yang seperti gue tulis disana, katanya 'Sejauh apapun kamu pergi, tempat berpulang tetaplah rumah. Pulanglah selagi ada Bunda yang selalu nyambut kamu di depan pintu. Karna senyaman-nyamannya tempat persinggahan tetap ga akan senyaman rumah kamu sendiri."

Dejun berangsur kesamping gue. Cowok itu membaringkan tubuhnya dengan kedua tangan sebagai bantalan dan matanya mengadah ke langit langit kamar.

Gue bungkam.

Sesaat setelahnya hanya ada keheningan sampai gue beralih ke lembar selanjutnya— Dejun masih dengan santainya mejamin mata disamping gue. Pasi, cowok itu keliatan cape.

"Jun."

"Hmm"

"Cape banget ya?"

"Apa?"

Gue menghela, lantas menghadap ke arahnya sedikit miring. Dia tetap dengan posisinya, "Lo cape kan? Tanpa lo bilang pun gue tau kok. Meski jiwa lo seolah mati.. lo kelelahan— kan?"

Dejun mendengus, dia menyamankan posisi dengan berbalik ke arah gue. Kulitnya ga lagi pucat, tapi sedikit membiru. "Mungkin.. tapi gue ga bisa berbuat banyak."

"Jun, kalau seandainya raga lo masih disini dan lo harus berhadapan dengan dua pilihan— lo mau kembali atau berlalu?"

Geming. Dejun membeku. "Lo masih yakin ternyata?"

Intuisi || XiaojunWhere stories live. Discover now