8, Mengantar Naraya

93 30 18
                                    

SETELAH ditinggalkan semena-mena oleh Manggala, Nayara merasa pikirannya kosong. Lelah semakin terasa. Tak peduli panas matahari menjelang tengah hari yang menusuk kulit, dia berjalan lunglai di trotoar. Perutnya berbunyi hebat. Nayara memang begitu, semua lari ke lapar dan tidur. Jika sedih, dia lapar, dia makan, lalu tidur. Marah dan stres pun begitu. Mungkin aktifitas hariannya yang padat memang membutuhkan energi sebanyak itu.

Dia melangkah tak tentu arah. Hanya berpikir kapan waktu yang tepat untuk bertemu founder Sastra MediaNesia. Maksudnya, kapan jengkelnya hilang sampai dia sanggup beramah tamah dan bersopan santun pada Manggala. Butuh waktu berapa lama sampai dia merasa sikap Manggala yang sok sibuk itu adalah wajar mengingat founder itu sibuk dan dia yang salah datang terlambat.

Tanpa sadar dia sudah jauh dari jalan arteri.

Perutnya benar-benar minta diisi. Dia melirik jam tangan, sudah jam 11 lewat. Meski belum waktu makan siang, tapi berjalan sejauh itu di siang yang menyengat dan emosi yang nenyiksa, energinya habis sebelum waktunya. Sepertinya dia akan pingsan jika tak segera makan. Samar-samar harum bakso tercium. Lapar memang membuat semua inderanya lebih aktif. Air liurnya nyaris menetes dan insting laparnya makin bereaksi.

Di sana, tak sampai dua puluh meter, di bawah rindang pohon angsana ada gerobak bakso berwarna biru kusam tapi cukup bersih. Nayara mempercepat langkah mengikuti harum kuah yang semakin jelas. Perutnya semakin tidak bisa diajak kompromi ketika dia membayangkan semangkuk bakso urat dan telur lengkap dengan tetelan, potongan sawi, tauge, tiga macam mi, bawang goreng, dan potongan daun bawang dan daun seledri. Tidak lupa beberapa sendok sambal dan saus.

Itu hanya gerobak bakso keliling. Tak ada atap, hanya ada pohon sebagai penahan panas. Sebuah kursi kayu panjang di bagian depan gerobak, sementara lima kursi plastik tersebar acak di sekitar gerobak. Nayara langsung duduk di kursi tersisa. Kursi kayu tepat di depan panci.

“Bakso satu, Mang. Komplit. Campur semua.” Dia tidak mau merepotkan penjual dengan spesial order. Semua yang ada di mangkuk akan dia masukkan ke mulut Bahkan jika penjualnya ada di mangkuk pun dia akan telan juga. Mengingat mamang penjual bakso, dia teringat mamang yang lain.

“Mamang brengsek!” Makinya dengan suara desis yang lantang. Lengkap dengan dengus kasar.

“Hah? Apaan, Neng? Sabar bentar ngapa, Neng.”

“Eh, maaf, Mang. Bukan Mamang. Itu Mamang yang lain.” Nayara mendengus semakin jengkel.

“Lapar banget ya, Neng?” tanya penjual bakso sambil menyerahkan mangkuk bakso. Nayara mengangguk bersemangat menghidu aroma bakso. “Lapar memang bikin orang gampang naik darah.”

Nayara langsung sibuk dengan makan siangnya. Menambah dua sendok sambal dan memerahkan baksonya dengan saus sambal botolan. Sedikit kecap dan cuka. Jadilah bakso yang dia bayangkan tadi.

“Minum apa, Neng?”

“Apa aja.” Nayara sudah sibuk memotong lontong dengan sendok. Tapi mangkuknya sudah sangat penuh, terpaksa potongan lontong dia letakkan di atas daun pembungkusnya saja. Sebelum mencicipi, dia menghidu lagi aroma makan siangnya. Wanginya sungguh menggoda. Siang yang terik dan semangkok bakso panas dan pedas. Dia sudah lupa kesialannya tadi pagi. Apalagi ketika penjual bakso memberikan segelas es teh yang langsung dia tandaskan. Dia menyerahkan lagi gelasnya. Meminta tambah. Membuat penjual bakso tersenyum-senyum.

“Habis ngapain sih, Neng? Porsi makannya kayak yang lain gitu.” Penjual bakso menunjuk dengan dagu ke arah pelanggan lain. Memang dia makan bersama pekerja galian air minum—terbaca dari lambang di penutup galian sepuluh meter dari posisi gerobak bakso. Ada genangan lebar bercampur tanah merah di sekitar galian. Memang sering begitu. Merasa bukan di jalan arteri, genangan itu dibiarkan saja mengganggu jalan.

“Habis dimarahin bos.” Nayara menjawab dengan mulut penuh. Jengkelnya pada Manggala keluar bersana keringat akibat panas dan pedas yang dia hapus dengan menggosok lengan bajunya ke dahi.

Dia berserdawa di balik tangannya ketika semangkuk bakso dan tiga potong lontong padat sudah tenang bergelung di lambungnya yang berbahagia. Beberapa pekerja duduk santai di bawah pohon. Dia ingin ikut duduk di sana. Jika dia sampai duduk di sana, bisa dipastikan dia akan langsung terlelap dengan perut kenyang seperti ini. Membuat Nayara tetap duduk di tempatnya sambil membayar. Perut terisi, emosi mereda, tenaga penuh. Dia siap melanjutkan perjalanan.

Dia kembali berjalan. Tujuannya tentu stasiun atau halte busway terdekat. Baru beberapa meter berjalan, tepat di daerah genangan yang membuatnya berjalan hati-hati, tiba-tiba sebuah mobil melintas cepat tanpa peduli ada genangan bercampur tanah merah.

Tanpa ampun, Nayara basah kuyup. Lebih hebatnya lagi, basah kuyup dengan tanah merah. Bajunya sudah tidak berbentuk.

“WOYYY… JANGAN KABUR LU!!!” Dia lari mengejar mobil yang menyipratinya dan langsung menggebrak bagian belakang mobil. Mobil berhenti dan Nayara langsung berpindah ke samping sisi penumpang.

Jendela belakang meluncur turun menampilkan wajah berkacamata hitam yang berusaha Nayara hilangkan dari memorinya.

“GIMANA GUE PULANG KALAU KAYAK TIKUS KECEMPLUNG GOT GINI?!” Marahnya melupakan semua kebutuhan dia pada orang itu. Bayangan skripsi dan pekerjaannya melayang-layang dengan sayap dan lingkaran halo di atasnya.

“Naik. Saya antar,” tawar Manggala singkat yang langsung diterima Nayara tanpa basa basi lagi. Ketika Nayara membuka pintu, Manggala langsung menggeser duduknya, lalu tempatnya diisi Nayata yang membanting bokong kasar.

“Jalan, Pak,” perintah Nayara pada supir sambil memasang safety belt. Ini kursi penumpang belakang, tapi kebiasaannya memang begitu. Di mana pun dia duduk, safety belt tetap terpasang. Sambil menggerutu dia menyambar tisu dari wadah di depannya. “Lain kali hati-hati, Pak!”

“Maaf ya, Mbak,” ujar supir berusia mendekati setengah baya itu.

“Sekarang yang penting antar saya aja deh, Pak. Memang saya lagi sue aja ni hari,” gerutunya pada supir, mengabaikan manusia di sampingnya yang tetap diam. Wajahnya menghadap ke depan, tapi sesekali dia melirik gadis di sampingnya.

“Pak, sampah tisu di lantai ya. Jangan lupa nanti dipungut,” ujarnya lagi setelah tidak melihat ada tempat sampah di dekatnya.

“I—iy—iya, Mbak…” Mendadak si supir seperti memiliki tuan baru. “Ini kita ke mana ya, Mbak?”

“Ke arah Margonda dulu aja. Nanti turunin saya di depan gang aja.”

“Nggak depan rumah, Mbak? Mbaknya kotor loh itu?”

“Nggak apa-apa, Pak. Lewat mana pun susah sampai depan rumah apalagi Rubicon.”

Sisa perjalanan diisi oleh kesunyian. Nayara memang masih jengkel, tapi perut kenyang dan AC mobil membuat matanya memberat. Dan tak butuh waktu lama, dia sudah berpindah alam. Membiarkan Manggala yang jelas-jelas menolehkan kepalanya untuk melihat Nayara yang tidur. Dia tidak hanya melirik atau melihat. Manggala menonton Nayara tidur!

Memasuki daerah yang disebut Nayara, supir membangunkan Nayara yang langsung sadar di mana dia berada. Namun tanpa rasa risih dia menggeliatkan badan sambil mengarahkan supir. Semakin mendekati tujuan, Nayara membuka belt dan tangannya lancar membuka kunci pintu tanpa melihat.

“Oke, Pak. Di sini aja.” Dia langsung membuka pintu. “Makasih ya, Pak. Jangan lupa sampah dibersihin.” Dia langsung turun. Tapi teringat patung di sampingnya, sebelum menutup pintu dia berkata. “Makasih, Pak Boss. Nanti saya bikin janji lagi sama sekretaris Pak Boss yang cantik itu.” Dia menghormat dengan melambaikan dua jari di dahinya. Lalu santai menutup pintu dan langsung masuk ke jalan. Jalan itu memang terlalu kecil untuk dimasuki mobil selebar mobil Manggala.

***

Bersambung

Author’s note:
Aduh, kok malah begini pas ketemu lagi? Gimana mereka bisa mendekat dong kalau pas ketemu adu mulut terus? Pagi Nayara yang salah. Siang, Manggala yang salah.  Anggap satu sama deh ya. Semoga pertemuan berikutnya mereka bisa ngobrol lebih nyaman.

Kalian masih anteng di sini kan? Masih mau baca cerita ini kan? Tunjukin dengan love, komen, dan follows untuk yang baru kenal sama emak-emak halu ini.

Thx and happy reading, My Lovely Readers.

[Kamis, 5 Agustus 2021]

Patah [16+ Promo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang