24. Luka Yang Segan Sembuh

80 41 32
                                    

warn: blood, self-harm.

***

Hamada yang malang. Peluang hidupnya bisa bahagia hanya sejengkal pohon pinang. Orang-orang tansah memandangnya bak manusia tak punya apa-apa. Renjana ingin gembira saja ia tak punya. Selaksa permohonan tiap malam tak pernah langit hiraukan, maka binasalah saja ia dari pada terus dunia tertawakan.

Keluarga sugih yang amat berada begitu kejam mencabik-cabik palung terdalam. Bila mana Hamada terpaku di ambang kesengsaraan rumah para manusia durhaka, titik lidah membeku laksana tak lagi bisa meratapi segala sesuatunya.

Pancarona yang masih bisa Hamada sawang hanya hadir sebagai abu-abu semata. Benar-benar tak bisa dipercaya, sesulit ini hidup sebagai sosok Hamada. Dosa dari kehidupan mana yang sudah laki-laki itu perbuat sampai-sampai dunia gapah memberinya konsekuensi tak beralaskan hingga dia selalu berniat untuk sadrah.

Hati Hamada tak lagi bisa tabah. Ia tak peduli bagaimana jika malam mengumandangkan wara-wara bahwa bulan kan terbelah. Apakah ini hanya permainan semesta? Ternyata, selama beribu-ribu hari bumi ia tapaki, raga Hamada hanya hidup dalam ambang kesia-siaan, dan nyatanya jiwa Hamada sudah mati sejak lama sekali.

Laki-laki itu mendengar dan melihat semuanya. Bagaimana Uncuk sukarela menggegerkan latar dengan menyerukan rahasia-rahasia yang telah lama bersemayam dan tak pernah mereka buka. Dan yang lebih membuat Hamada mati rasa, selama ini pula mereka melakukan sandiwara di depan Hamada.

Hamada pikir, keluarga ini memiliki segalanya. Tak ayal dia menyesal. Satu hal yang ingin dia hindari adalah bertemu dengan orang baru. Sebab, mereka-merekalah yang menentukan nasib kisah Hamada.

Ini terlalu menyakitinya. Sungguh. Tak pernah ia rasakan nyeri di dada sampai seperih ini.

Dalam hingar-bingar malam yang ribut itu, kaki Hamada secara paksa menarik langkah tertatih-tatih menghampiri permasalahan. Bagai disambar kilat petir sewaktu hujan tandang, Uncuk sampai ke putra paling muda sempat tak menyangka jika Hamada kan mendengar semuanya.

Bunda nyaris jatuh sebab terkejut tatkala Hamada mengeliling pandang tatapi satu persatu insan keji. Keterdiaman ini niscaya membawa firman Hamada untuk serejang menalak hening, meski kepalan hastanya sudah mendefinisikan citra Hamada yang kentara gamblang telah didekap lungkrah tak punya tenaga.

"Aku menemukan pembunuh adikku."

Kalimat yang sempat terucap terdengar penuh gegar. Pengampu rasanya ingin gugur saat itu juga kala dia meratapi tatapan mereka yang seolah merasa iba. Iba yang bagi Hamada penuh kepalsuan semata.

Pada keterangan lain, Uncuk serta jajarannya sudah kebacut resah. Mereka tidak bisa berkata apa-apa selain membahanakan asma laki-laki penoreh duka yang sudah lama singgah di tengah-tengah sana.

"H-Hamada---"

"Selama ini kalian tertawa di belakangku saat aku menderita sendiri." Tampak dengan sangat jelas air mata bablas menggenangi netra.

Sedangkan Ochi seolah masih membela diri. "Hamada. Kita nggak pernah ngasih tahu karena kita pikir itu nggak perlu."

"Tak perlu?" Hamada sungguh tidak mengerti dengan ke mana pemikiran Ochi sekarang ini. Kenapa mereka sangat berniat menutupi ini semua dari Hamada? Apa mereka tanpa sengaja menyuruh Hamada untuk melupakan semuanya?

Tanpa dipinta, tangan Hamada langsung menghajar Ochi yang saat itu hanya geming. Ia tidak punya kuasa apapun dalam niatan menghancurkan keluarga ini, hanya dengan begitu murka yang telah membelenggu tak mungkin bisa memuaskan kepedihan laki-laki itu.

"Kau bilang tak perlu?!" Sekali lagi ia belasah muka Ochi hingga sampai menyemburkan setitik darah di balik labium hingga sampai membiru.

"Bang Hamada. Sabar, Bang. Kita bisa nyelesaiin ini baik-baik."

[✔] Antologi HamadaWhere stories live. Discover now