Lantai geladak kapal terasa dingin di malam hari. Guncangan lembut dari ombak yang terbawa angin menjalankan kapal mereka menuju arah yang tak pasti. Sanji duduk sendiri dengan selimut tebal menyelimuti pundaknya. Tangan kanannya memegang sebatang rokok sementara yang satu lagi menggenggam pemantik api. Iris birunya menjadi kelam di tengah sunyi senyap malam. Ia menengadah, memperhatikan ribuan bintang yang bertebaran membentang di atas samudera. Sekali lagi ia menghisap rokoknya. Jujur saja ia tidak bisa tidur. Entahlah, kepalanya sakit dan berdenyut. Mungkin ia harus memeriksakan diri ke Chopper.
Mendadak decit pintu terdengar nyaring. Sanji menoleh, melihat si hijau keluar dengan wajah masih setengah mengantuk. Ia sempat membuat kontak mata dengan iris biru namun memilih tidak peduli dan pergi ke kamar kecil. Marimo sialan, pikir Sanji.
Beberapa menit kemudian ia keluar lagi dan berjalan turun ke dek kapal. Kemungkinan besar tujuannya adalah menara observasi. Sanji memperhatikan dengan seksama ketika Zoro menaiki tangga dan menghilang naik ke menara beratap bundar. Sanji menghembuskan napas, memperhatikan hembusan yang terlihat di depan wajah saking dinginnya malam itu. Ia merapatkan selimutnya dan sedikit menggigil. Giginya bergemeletuk tanda badannya sudah tidak kuat berada di suhu rendah. Buru-buru ia memasuki dapur.
Sanji mengambil cangkir dan menyeduh teh hangat. Awalnya ia menyiapkan teh untuk dirinya sendiri. Namun kemudian Sanji teringat kepada bola lumut yang tengah latihan di atas menara observasi. Ragu-ragu ia menarik satu cangkir lagi.
Tahu-tahu ia juga membuat beberapa onigiri untuk Zoro. Kebiasaan sebagai seorang koki ini nampaknya tidak bisa dihilangkan bahkan kepada orang yang paling ia benci di kapal. Sanji berpikir sejenak, apa prilakunya terlalu berlebihan? Apa ia habiskan saja sendiri? Si pirang menarik napas dalam. Ia menggeleng dan mengangkat nampan, pergi menuju menara.
Matanya disambut oleh pemandangan Zoro tanpa atasan, seperti biasa. Kulit tan-nya bersinar dibawah lampu dengan otot-otot menyembul karena mengayunkan stik besi. "Hei," sapa Sanji. Zoro hanya balas mengangguk. Si pirang mempersilakan dirinya sendiri masuk dan duduk di bangku, memperhatikan latihan Zoro sambil bertopang dagu.
Zoro yang merasakan tatapan dari Sanji akhirnya menghentikan latihannya. Ia meletakkan besinya dan duduk di samping Sanji. "Sudah selesai?" tanya Sanji.
Zoro mengambil satu onigiri dan memakannya dengan tenang. "Menurutmu?" ia balik bertanya. Sanji tidak menjawab dan memilih menghisap nikotin di tangannya. Mereka terdiam ditelan kesunyian malam. Karena tidak ada topik untuk dibicarakan, Sanji memilih pergi meninggalkan Zoro. Tapi mendadak ia rasakan sebuah tangan melingkari lengannya, memaksanya tetap tinggal.
"Apa?" tanya Sanji.
"Aku mau dengar pendapatmu tentang bintang jatuh,"
Sanji mengangkat alisnya. Ia kembali duduk di sebelah Zoro walau masih setengah heran. "Bintang jatuh? Kau tertarik dengan bintang jatuh ya?" tanya Sanji.
"Di tempat asalku tidak pernah ada bintang jatuh," ia melirik jendela dengan ribuan bintang yang bersinar di luar sana. Beberapa redup beberapa lagi terang. "Tapi kami suka melihat bintang."
Sanji terdiam ketika melihat segaris senyum terpatri di wajah samurai pedang. "Aku sempat tinggal bersama Vinsmoke sebelumnya," ia menggaruk belakang kepalanya. "Tidak pernah ada kesempatan untuk menikmati bintang, tapi kemudian Zeff membawaku tinggal di Baratie... langit di atas laut benar-benar dipenuhi bintang, semuanya terlihat jelas,"
Zoro mengangguk. Benar kata Sanji, bintang di atas laut adalah hal paling menakjubkan yang pernah ia lihat. "Ah! Dulu aku sering dengar kau bisa memohon pada bintang jatuh," seru Sanji. "Permohonan apa saja akan terkabul asal kau tidak menyebutkannya."
Permohonan ya.
"Kau pernah buat permohonan?"
Sanji tersenyum bangga dan menunjukkan dua jari. "Dua kali malah," katanya.
Zoro terkekeh. Koki kapal mereka ini terkadang memaksa dirinya untuk terlihat dewasa di mata awak kapal lainnya. Pria itu mampu bertingkah tenang dengan pembawaan diri yang tergolong baik. Dia sosok yang optimis dan idealis dalam waktu yang bersamaan. Ia bertingkah layaknya seorang pujangga di depan setiap wanita. Rayuannya manis dan sedikit bodoh walau ketika balik dirayu ia malah berakhir merah merona. Kedewasaannya terkadang luntur ketika ia berbicara mengenai hal yang ia suka. Sosoknya menjadi lebih kekanakan dengan impian yang begitu besar.
Zoro suka itu. Ia suka segala hal mengenai Sanji.
Mendadak Sanji menarik lengan Zoro pelan. "Ayo keluar, siapa tahu kita bisa lihat bintang jatuh," tawarnya. Dan sisi baiknya ini.
Zoro mengikuti Sanji turun menuju geladak kapal setelah mengenakan pakaiannya. Mereka duduk bersandar pada pinggir kapal dengan selimut dan badan yang saling berdekatan, meminimalisir kemungkinan temperatur tubuh turun. Sanji menunjuk ribuan bintang yang tersebar, berkerlip menaungi keduanya. "Lihat, banyak kan?" ia bergumam dengan nada takjub. Si hijau tidak berkata apapun. Ia terlalu terkesima oleh pemandangan langit malam. Kemudian maniknya menangkap cahaya yang bergerak cepat dengan ekor bintang.
"Itu bintang jatuh?" tunjuknya.
"Ah kau harusnya buat permohonan dalam hati ketika melihatnya! Ayo kita lihat lagi... Hmm..." Sanji melihat sekeliling. Dunia mereka seakan berpendar sekarang di bawah kerlip bintang. "Itu! Ayo buat permohonan," ia menepuk bahu Zoro kencang sambil menunjuk sebuah bintang.
Zoro melirik Sanji yang mengatupkan kedua tangannya dengan kedua mata memejam. Ia mengikuti si pirang dan mulai memohon dalam hati.
Aku berharap bisa terus bersama dengannya.
Deburan ombak kembali terdengar. Sanji menahan napas dan kembali melihat langit. Terlalu banyak bintang untuk dihitung. Semilir angin laut juga berhembus membuatnya sedikit menggigil. "Huwah dingin sekali!" ia memeluk tubuh.
Zoro memperhatikan Sanji. Rambut pirangnya bergerak lembut tertiup angin, iris birunya berpendar menjadi hitam pekat dengan taburan bintang di bawah langit. Zoro meraih tangan Sanji dan meletakkannya di antara tangannya sendiri. Ia menggosoknya pelan dan meniup tangan tersebut. "Tanganmu dingin,"
Sanji tidak bereaksi. "Aku kedinginan," hanya itu yang mampu ia ucapkan.
Zoro kembali menghangatkannya. Posisi yang sama, namun lebih hangat dan lebih intim. Tidak ada yang merusak momen tersebut bahkan ketika beberapa bintang jatuh lewat menerangi malam.
~•-•~
Di daerah desa biasanya banyak bintang. Dulu pas tk sering bgt bikin permohonan ke bintang jatuh bareng temen satu kampung, tp pas sd terpaksa pindah ke kota haha.
Anyway, makasih banyak buat vote dan komennya ^^
YOU ARE READING
Stiletto Merah
FanfictionSepasang stiletto merah memang cocok di kaki si tukang masak itu. Setidaknya begitulah yang Zoro pikirkan. Malam hari mereka di dek kapal tidak pernah membosankan, apalagi dengan pemandangan kaki putih dibalut sepatu bertumit runcing itu. Kumpulan o...