Sepanjang perjalanan pulang, aku khawatir bagaimana respon Hera jika anak spesialnya sudah tak ada lagi di dunia. Ah, aku tidak bisa membayangkan bagaimana hancur dan rapuhnya istriku ini.
Sesampainya di rumah, kami disambut hangat oleh mertuaku atau orang tuanya Hera. Hera bingung kenapa orang tuanya bisa ada di rumah.
"Mas, kok Ibu ada di rumah, sih? Uni di mana? Katanya Uni di rumah Ibu?"
Aku menggigit bibir, bingung harus jawab apa. "Sebaiknya kita turun dulu, Ra." Hera mengangguk. Aku membantunya melepaskan seat belt, lalu keluar dari mobil.
"Mama ...." Atqia berlari dari dalam tahu ibunya pulang. Hera langsung memeluk anak sulung kami itu penuh kerinduan. "Qia kangen Mama," ucap gadis cantik itu.
"Mama juga kangen Qia," balas Hera. Aku dan Ibu mertuaku saling pandang cemas. Kami tak siap dengan apa yang akan terjadi setelah ini.
"Ra, ayo kita masuk dulu." Aku menuntun wanita yang kucintai itu ke rumah. Atqia dan Ibu mertua mengekor di belakang.
"Uni ... mama pulang, Nak," seru Hera. Dadaku merasa tertusuk belati tajam mendengar Hera memanggil anak bungsu kami, padahal dia sudah tak ada lagi. Mataku menghangat saat teringat bagaimana tangan ini yang menurunkannya ke liang lahat.
Hera hendak berderap ke lantai dua, tetapi kutahan langkahnya. Menghadapkan tubuhnya ke depanku, kuusap-usap lengannya, kutatap matanya selembut mungkin. "Ra, maafin aku gak bilang dari awal. Uni ... udah gak ada. Dia gak bisa tertolong."
Mata Hera membulat. "Maksud kamu apa, Mas? Jangan sembarangan ya kalau ngomong!"
"Ra, kita harus ikhlasin Uni."
Hera menghempaskan tanganku dari lengannya. "Mas jangan bohong! Jangan nakut-nakutin aku kayak gini dong!" sentaknya. Seketika matanya berair, rahangnya mengeras seperti tengah menahan tangis.
Hera berderap ke lantai dua, mencari Seruni seperti orang kesetanan. "Uni ... Uni ... ini mama pulang, Sayang, kamu di mana, Nak? Mama kangen," seru Hera.
Aku dan Ibu mertua saling pandang perih. Hera memeriksa seluruh ruangan mencari keberadaan anak kesayangannya itu. Nihil. Hera menyerah, dia kembali ke hadapanku.
"Mas, bilang sama aku, di mana Uni!?" ucap Hera tajam, menarik-narik kemejaku. Aku menelan ludah. "Ra, kamu harus percaya sama aku, aku gak bohong. Uni udah gak ada."
Genangan embun dalam mata Hera meluncur ke pipi. Tubuhnya gemetar, bibirnya pun gemetar seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi tak ada satu pun kata yang terlontar dari sana. Mungkin saking syoknya.
Kutarik tubuh Hera yang sehalus kapas ke dadaku. Kudekap dengan lembut, semoga pelukanku ini bisa menguatkannya, tetapi tak lama setelah itu, Hera terkulai lemas, dia jatuh pingsan.
Atqia dan Ibu mertua menghambur pada Hera. "Bawa Hera ke kamar, Bian!"
"Iya, Bu."
"Mama ... Mama ..." Atqia menangis. Aku menggendong Hera ke kamar, merebahkan tubuhnya ke atas ranjang, melepaskan jilbabnya, dan mengurut-urut kakinya dengan kayu putih agar dia segera sadar.
"Bian, kita hubungi dokter Awan aja. Ibu takut Hera kenapa-napa, dia baru aja pulih."
Aku mengangguk, lantas mengambil ponsel di saku celanaku, lalu menelepon dokter yang menangani istriku selama di rumah sakit. Namun, nada sambung itu tak kunjung berakhir. "Enggak diangkat-angkat, Bu."
"Coba nanti telepon dia lagi."
"Iya, Bu. InshaAllah Hera gak apa-apa, Bu. Dia cuma syok aja." NIbu mertua menghela napas berat. Aku tahu dia sangat khawatir pada putri sulungnya ini.

YOU ARE READING
Beda Istri Beda Rejeki
RomanceHanya demi nafsu sesaat, aku membuang berlian demi sebuah kerikil. Cerita ini banyak unsur 21+ nya. Jadi yang di bawah umur harap skip cerita ini.