Bab 3

2.3K 241 1
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

"Memulai hubungan sakral, tidak hanya bisa diucapkan begitu saja, harus ada niat yang berasal dari hati kita."

∆∆∆

Oups ! Cette image n'est pas conforme à nos directives de contenu. Afin de continuer la publication, veuillez la retirer ou télécharger une autre image.

∆∆∆

Mencintai diam-diam memang hak setiap orang, jatuh cinta, juga kita tidak bisa memilih akan jatuh kepada siapa.

Perasaan yang ada, sejak dimasa kecil, hingga tumbuh menjadi cinta saat dewasa, memang terkadang sulit dikendalikan oleh hati kita. 

Syahwat selalu tiba-tiba datang, apalagi, kalau sudah berduan. Setan, akan dengan senang menghasut kedua insan, untuk melakukan sesuatu yang dilarang.

Naudzubillah, hal-hal seperti itulah, yang sering ditakutkan oleh setiap orang tua, tidak termasuk oleh Umma Fiya, bukannya ia tidak percaya kepada putranya, akan tetapi, melihat sorot mata Ibrahim saat menatap Briana, Umma Fiya, melihat ada rasa cinta yang begitu dalamnya.

"Yesha," panggilnya pada Yesha yang sedang membereskan meja makan, sebab makan malam telah usai.

"Iya Umma?"

Umma Fiya menatap jam dinding di ruangan, sudah jam sembilan malam. Tetapi, Ibrahim juga belum pulang. Sungguh, ia merasa khawatir. Sebab, tidak biasanya sang putra telat pulang, dan tidak ada kabar.

"Kamu telpon Abang, dia kalau semisal ada kerjaan yang harus diselesaikan bisa dibawa pulang, Umma takut terjadi sesuatu dengan Abang kamu ...." lirihnya, disambut senyum tipis Yesha, seraya merangkul bahu Umma Fiya, berusaha menenangkan Ummanya.

"Umma ... Abang udah dewasa, dia bisa jaga diri baik-baik. Yesha percaya kalau Abang—"

Umma Fiya menggeleng pelan, "Umma tau sayang, tetapi ... Umma hanya khawatir, Umma—"

Yesha mengangguk paham, dan menuntun Umma Fiya untuk duduk disofa ruang keluarga.

Sungguh, Yesha yang terlahir tanpa Abi, sangat tahu, dimana sang Abi meninggal karena kecelakaan. Yesha memahami perasaan Ummanya, saat Abangnya pulang tidak tepat pada waktunya. Bahkan tidak hanya Abangnya, ia pun juga, kalau pulang terlambat dan tidak ada kabar. Pasti Ummanya, akan sangat mengkhawatirkannya dirinya.

"Minum dulu Umma, sudah jangan khawatir, Yesha coba telpon Bang Ibra dulu," tuturnya dibalas anggukan oleh Umma Fiya.

Yesha mengambil ponselnya disaku gamis, dan mencoba menghubungi nomor Ibrahim.

Di percobaan pertama tidak tersambung, Yesha tidak menyerah, ia mencoba menelpon kembali.

"Assalamu'alaikum Dek?"

Yesha bernafas lega, saat nada deringnya tersambung.

"Wa'alaikumsalam Bang, Abang dimana? Umma khawatir banget, Abang gak pulang-pulang dari tadi. Kalau mau selesaikan pekerjaan kantor, diselesaikan dirumah aja Bang, Um—"

Izinkan Aku Menghalalkanmu [END]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant