27 : Dalam Diam

725 100 2
                                    

Jeffry setengah berlari melewati koridor rumah sakit. Mengabaikan beberapa panggilan perawat dan staf yang menegurnya. Hingga tibalah pria itu di depan sebuah pintu salah satu ruangan. Menghela nafas panjang mencoba mengatur deru nafasnya. Ketika ia hendak membuka pintu, netranya menangkap sosok Tian yang terduduk di samping ranjang.

Pria itu menyeka wajah Jemima yang nampak terlelap. Membuat Jeffry terdiam dan mengurungkan niatnya untuk masuk. Cukup lama ia hanya diam memperhatikan hingga pada akhirnya mengambil beberapa langkah mundur. Jeffry menghela nafas panjang kemudian berbalik dan melangkahkan kakinya menjauh.

Sementara di dalam sana, sepasang mata yang terpejam itu perlahan membuka. Mengerjap beberapa kali berusaha menyesuaikan dengan terangnya cahaya lampu langit-langit ruangan bernuansa putih itu.

"Kamu uda sadar?"

Sebuah suara yang terdengar familiar membuat Jemima lantas menoleh keasal suara. Tian menghela nafas lega begitu wanita itu mengangguk pelan menanggapi pertanyaannya. Ia lantas bangkit dari duduknya begitu melihat Jemima yang berusaha duduk.

"Uda rebahan aja Je."

"Aku uda gak apa kok mas."

Sahutnya tersenyum tipis. Pria itu pun mengangguk mengerti dan kembali duduk.

"Asam lambung kamu naik."

"Pantesan rasanya gak enak banget."

"Kamu gak makan teratur?"

Jemima tersenyum dan menggeleng pelan. Wanita itu kembali terdiam dengan tatapan kosongnya hingga Tian berdehem pelan membuat Jemima kembali menatapnya.

"Aku uda denger dari mbak Alin."

"Apa?"

"Tentang papa kamu."

Ujarnya singkat sementara Jemima menghela nafas panjang.

"Kenapa kamu gak cerita?"

"Apa yang mau kamu denger dari aku? Kenyataan kalo mas Jeff gak selingkuh? Atau fakta memalukan tentang papa aku yang jadi dalang dari perceraianku? Apa menurut mas aku harus ceritain hal kayak gitu?"

Pria itu terdiam kini. Apa yang di katakan Jemima adalah sebuah kebenaran. Tak peduli sedekat apa hubungan mereka, ia pribadi tak akan menceritakan hal seperti ini jika berada di posisi Jemima.

Sebuah ketukan pelan dari arah pintu membuat kedua orang itu sontak menoleh dan mendapati sosok Alin yang datang dengan menggendong Rania. Jemima tersenyum sumringah dan merentangkan kedua tangannya menyambut kedatangan puteri kecilnya.

"Rania tadi ngerengek mau ketemu kamu. Jadi aku gak ada pilihan selain bawa dia sama aku."

Ujar wanita itu sembari meletakkan barang bawaannya ke atas nakas.

"Sayangnya mama gak sekolah?"

Rania menggeleng pelan menjawab pertanyaan Jemima. Melayangkan kecupan singkat di pipi wanita itu.

"Cama mama."

Bisiknya nyaris tak terdengar. Melihat momen menggemaskan kedua ibu dan anak itu membuat Tian tak mampu menyembunyikan senyumnya. Ia mengusap lembut puncak kepala Rania seraya bangkit dari duduknya.

"Mau kemana mas?"

"Karena uda ada mbak Alin, aku mau balik dulu ke kantor. Kameraku ketinggalan. Nanti sore aku kesini lagi."

"Hati-hati mas."

Sahut Jemima sembari melambaikan tangan. Sementara Alin menuangkan bubur ke dalam mangkuk dan mendinginkannya.

"Aku uda bawain bubur buat kamu. Bentar lagi di makan ya Je."

Ucap ibu dua anak itu seraya duduk dan bersiap mengupas buah yang dibawanya. Sedangkan Jemima hanya mengangguk menangkapi ucapan kakak iparnya. Netra wanita itu bahkan tak beralih dari Rania yang kini sibuk menonton tayangan kartun dari ponsel miliknya.

"Aku uda ngabarin papa kalo kamu masuk rumah sakit."

Senyum di bibir Jemima memudar begitu mendengar kelanjutan kalimat yang Alin ucapkan. Ia beralih memandang wanita itu dengan tatapan tak sukanya.

"Tapi kamu tenang aja. Papa gak bakal kesini. Aku uda bilang kalo kamu baik-baik aja dan bakal pulang hari ini juga."

"Mbak ngapain sih?"

"Papa juga berhak tau apa yang terjadi sama kamu. Terlepas dari apa yang uda papa lakuin."

"Mama?"

"Aku juga uda ngabarin mama. Besok mama yang bakal jemput kamu pulang."

Jemima mengangguk mengerti mendengar penjelasan Alin.

"Je, soal papa.."

"Jangan minta aku buat memahami ataupun ngelupain apa yang uda papa lakuin mbak. Karena aku gak akan pernah bisa lupa."

"Mbak tau. Mbak juga akan sama kecewanya kalo hal itu terjadi sama mbak. Tapi Je, tolong jangan terlalu ngebenci papa ya? Biar gimana pun dia tetep orang tua kamu."

"Orang tua mana yang bakal ngelakuin hal bejat kayak gitu ke anaknya mbak? Cuma papa aku. Orang yang paling aku kagumi, paling aku percayai melebihi apapun di dunia ini. Cinta pertamaku sekaligus penyebab patah hati pertamaku."

Mendengar ucapan adik iparnya itu, Alin hanya dapat terdiam kini. Ia sangat memahami betapa besar kekecewaan yang Jemima rasakan saat ini.

"Buburnya uda gak panas. Makan ya?"

Ujarnya berusaha mengalihkan pembicaraan. Sementara Jemima hanya mengangguk menanggapi perkataan kakak iparnya.

-

Jeffry meletakkan setangkai bunga mawar putih dan juga boneka yang di bawanya di atas batu nisan Kayla. Hal yang tak pernah ia lewatkan setiap harinya. Bahkan pusara mendiang puterinya itu telah di penuhi boneka yang selalu pria itu bawa setiap harinya.

Dengan senyum manis serta tatapannya yang selalu meneduhkan, ia mengusap lembut batu nisan di hadapannya. Kali ini pria itu tak membawa buku dongeng seperti biasanya. Ia telah kehabisan stok buku miliknya karena telah selesai membacakan semua dongeng yang di milikinya.

Cukup lama Jeffry terduduk di hadapan pusara Kayla. Mengenang banyak hal yang dahulu mereka lalui bersama. Dengan senyuman yang tak pernah memudar dari wajah tampannya. Lain halnya dengan netranya yang kini memerah berusaha menahan buliran bening itu agar tak jatuh dari pelupuk matanya.

Sore itu suasana makam lebih sepi dari biasanya. Hanya dirinya lah pengunjung satu-satunya saat ini. Dengan di temani semilir angin yang berhembus lembut dan dedaunan yang berjatuhan. Hingga suara derap langkah yang semakin jelas terdengar membuat pria itu menoleh keasal suara.

Senyum di bibirnya perlahan memudar begitu Jemima berdiri di hadapannya, hanya berjarak beberapa langkah darinya. Cukup lama mereka hanya saling memandang tanpa bergeming sedikitpun hingga Jeffry bangkit dan memandang wanita yang kini menatapnya sendu. Tatapan yang sedikit berbeda dari yang biasa ia dapatkan dari mantan isterinya itu.

"Je."

~~~

Sajak Tentang Memaafkan [END]Where stories live. Discover now