04. Adaptasi

24.6K 2.4K 27
                                    

"Aku terlalu mencintaimu, sehingga Aku lupa bahwa rasa sakit datangnya tiba-tiba tanpa notifikasi"
.
.
.
Happy reading

" Ruly di sini enggak ada AC atau kulkas gitu? Panas banget!" Tangan Ima melambai didepan wajah, mengipasi untuk mengurangi hawa panas.

"Namanya di pondok. Di sini kita di tuntut untuk menjadi seseorang yang sederhana, mandiri, menghargai kekurangan atau kelebihan orang lain dan peduli dengan sesama. Sabar ...  ini baru permulaan, belum perang kok udah nyerah." Nurul menjelaskan karena tahu benar Ima baru di pondok.

"Buset ini bukan perang bangsat, mbayangin aja udah bikin gue ngeri. Di sini selama satu tahun? Oh tuhan aku ingin pulang!" Ima langsung heboh.

Nurul hanya mendengkus karena sudah menduga jika Ima akan seperti itu. Hidup mewah di thmah mewah membuat Ima tak tahan dengan kehidupan pesantren.

"Udah, udah,  kok malah ngobrol? ayo kita bantu beres-beres, " cetus Myswa yang tak ingin mendengar keributan.

Ima hanya menghela napas. Ya, di sinilah kamarnya sekarang. Ia harus memulai beradaptasi. Di sini tanpa AC, TV, bantal, dan kasur yang empuk , rasanya kayak cacing kepanasan. Di kamar ini ada dua pintu. Pertama, pintu selatan yang dekat dapur, biasa juga buat pintu untuk keluar masuk. Kedua, sebelah timur, itu pintu untuk ke kamar Fatimah Dua.

Akhirnya, Ima memilih tempat tidur yang paling pojok, dekat dengan Ruly. Di pondok ini asrama putri memiliki 35 kamar, hanya kamar Fatimah satu yang isinya cuma tiga orang. Sedangkan yang lainnya ada sembilan sampai sepuluh orang. Katanya sih pada takut di kamar Fatimah satu, dan hanya Ruly dan Myswa yang berani menempati.

"Bismillah semoga apa yang orang tua gue inginkan yang di titipkan di bahuku bisa terwujud," ucap Ima dalam hati, lalu melihat ponsel di tas

"Ima kamu bawa hape?" Tanya Ruly padaku sambil melihat ponsel di tangan Ima.

"Iya lah, bisa bosen gue tanpa hape," jawabnya enteng.

"Tapi kan, Ima, disini gak boleh bawa hape," sanggah Myswa memperingati

"Nanti kalau di sita dan di hancurin loh, Ima, kan sayang. Kayaknya ini hape mahal," tambah Ruly.

"Gak akan ketahuan kalau lo gak ngadu. Awas aja ngadu, gue pijik pijik lo." ancam Ima.

"Tapi sayang lo, Ima, apalagi nanti kalau ketahuan," ucap Ruly yang sayang dengan ponsel mahal di tangan Ima.

"Iya juga si, ini kan baru seminggu, masa udah di hancurin? ini kan kiriman dari Daniel," ungkap Ima.

"Daniel, siapa itu Im?" tanya Ruly yang merasa asing dengan nama itu.

"Sepupu sepersusuan gue. Dia putih bersih, tinggi, baik, pokoknya bikin melayang deh. Tapi, dia sekolah di Amerika sama ayahnya"

"Boleh itu buat aku." mata Ruly berbinar menatap Ima.

"Halu mu gak lucu tau, Rul. Jam berapa sekarang?" tanya Ima tiba-tiba.

"Jam setengah lima, ayok mandi. Nanti keburu telat ke masjid, dihukum lagi," ucap Ruly teringat dengan waktu salat.

"Eh aku ke dalem dulu, ya? orang tua aku ke sini." Myswa buru buru pergi.

Imam Impian (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang