[10] conversation 2

5.1K 396 10
                                    

Axel terdiam sejenak, merasa seperti disambar petir oleh pertanyaan Vanilla yang begitu langsung. Sebelumnya, gadis itu selalu terlihat malu-malu saat menanggapi pertanyaan Axel. Namun, keberanian Vanilla kali ini membuat Axel tidak ingin mundur. Dengan mengangguk pelan, Axel memutuskan untuk terus melanjutkan pembicaraan yang sudah mereka mulai.

"Lo sanggup melanjutkan pembicaraan ini? Karena kalau iya, maka pembicaraan ini harus sampai tuntas," Axel menegaskan, suaranya rendah namun penuh ketegasan. Matanya tidak pernah lepas menatap Vanilla, menunggu jawaban yang akan diberikan gadis itu.

Vanilla merasa nafasnya tertahan selama sepersekian detik. Tatapan Axel yang dalam seakan-akan memerangkapnya. Ada getaran halus di tubuhnya, campuran antara ketertarikan dan rasa takut. Dia menyadari betul bahwa Axel tertarik padanya, tapi di sisi lain, Vanilla juga belum siap menghadapi kenyataan ini. Bibirnya yang semula terkunci rapat akhirnya terbuka, meski dengan suara yang hampir tak terdengar, "Lanjutkan."

Axel menatap Vanilla lebih dalam, seakan memastikan ketulusan jawaban yang keluar dari bibir gadis itu. "Gue bermaksud ngajak lo ke dalam suatu hubungan yang tadi lo bilang nggak bisa. Tapi itu kalau lo mau dan nanti juga ada kontrak yang harus disepakati."

Vanilla terdiam, matanya melebar. Pernyataan itu membuatnya tercekat, tangannya mulai berkeringat. Dia menggenggam erat ujung bajunya, berusaha menenangkan diri. Jantungnya berpacu lebih cepat, membuatnya sulit untuk tetap tenang. Sementara itu, Axel tampak begitu tenang, namun tatapannya tidak bisa menutupi keseriusan yang tersembunyi di balik ucapannya.

"Sejak kapan Kak Axel punya keinginan itu?" Vanilla berusaha mencari nafasnya yang hilang. Bibirnya bergetar saat pertanyaan itu meluncur, seakan-akan berharap jawaban yang diberikan Axel hanyalah gurauan.

"Malam saat kita sampai di Bajo," jawab Axel dengan suara rendah namun jelas. Ekspresi wajahnya tidak berubah, namun tatapannya mengunci Vanilla di tempatnya berdiri. Vanilla terdiam, mencoba mencerna informasi yang baru saja diterimanya. Axel sudah memikirkan hal ini sejak malam itu? Dia tidak pernah membayangkan Axel akan memikirkan hal semacam ini, apalagi untuk waktu yang cukup lama.

Vanilla mencoba mengalihkan tatapannya dari Axel, namun gagal. Axel terlalu memikat untuk diabaikan. "Teman-temanku banyak yang cantik, Kak. Kenapa Kak Axel pilih aku?" suaranya terdengar lemah, seperti gadis kecil yang mencoba mencari alasan untuk menghindar.

Axel tersenyum tipis, tapi tatapannya tetap serius. "Karena gue hanya tertarik sama lo."

Vanilla merasa darahnya mengalir lebih cepat. Pernyataan Axel begitu jujur, begitu langsung, hingga membuatnya sulit bernafas. Dia mencoba menelan ludah, namun tenggorokannya kering. Ada perasaan senang yang merayap di hatinya, namun bersamaan dengan itu, rasa takut juga ikut menghantui. Bagaimana mungkin dia bisa menghadapinya?

"Tapi itu semua tergantung pada keputusan lo. Kalau lo gak bisa, gue nggak akan memaksa," Axel melanjutkan, suaranya terdengar tenang namun penuh kepastian. Axel mengamati setiap gerakan kecil yang dilakukan Vanilla, berusaha membaca apa yang ada di balik pikiran gadis itu.

Vanilla merasa bingung, tatapannya kosong menatap Axel. Kepalanya berputar dengan berbagai pikiran yang bertabrakan satu sama lain. Axel adalah pria yang sulit ditebak, dan tawarannya ini membuatnya merasa lebih bingung.

"Aku jadi nggak bisa mikir, Kak. Kak Axel tiba-tiba banget, dan sejujurnya aku sama sekali belum siap untuk hubungan seperti itu," kata Vanilla, suaranya bergetar. Dia ingin Axel memahami kekhawatirannya, bahwa ini semua terlalu cepat dan dia belum siap untuk menghadapi konsekuensinya.

Axel menghela nafas panjang, lalu bangkit dari tempat duduknya. "Ayo gue antar pulang," katanya sambil mengambil kunci mobilnya yang tergeletak di meja. Axel merasa percakapan ini belum selesai, namun dia tidak ingin memaksakan apa pun pada Vanilla. Dia menyadari bahwa gadis itu butuh waktu untuk memikirkan semuanya.

FanàticoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang