Semusim - 01

42 0 0
                                    

( bukan pemilik foto, diambil dari pinterest

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

( bukan pemilik foto, diambil dari pinterest. terima kasih siapapun itu. )

Semusim — 01

Surai hitam pekat gadis dengan pasang kenari coklat itu kian terangin-angin. Putih pucat kulitnya tidak berkeluh walau sudah mulai berpeluh. Dan Jakarta, kota dimana banyak kepala berharap menjadi lebih bahagia padahal sebaliknya, kamu akan kehilangan dia.

Binar Lintang Kawula.

Segaris nama yang pemiliknya menyesal terlahir ke dunia. Serupa jiwa yang selalu ingin kembali ke masa saat dia tidak ada. Karena jika penderitaan mendekap erat sejak kamu lahir, berarti untuk bahagia kamu harus mati. Gadis berparas sayu itu ungkapkan dalam pengandaian, karena ia belum juga mati.

Mematung, ia biarkan sukma dari raga yang akan ditinggalkannya menangkap sedikit memoir atas Jakarta. Sedikit saja, tidak boleh banyak apalagi sampai mendekatkannya pada sesak rasa sesal. Namun tidak akan juga.

Sumbang suara tawanya mengudara, parau bibirnya terbuka tanpa kurva. Dengan segala bentuk doa yang masih dipercaya, ia meminta:

Jangan lahir lagi, Kawula.

Semoga jagat raya berbaik hati membuka telinga untuk doa terakhir dari raga yang tengah bersiap untuk melompat, terjatuh, dan mati dalam sekian detik saja. Semoga.

"Kamu tahu ada berapa bintang lahir setiap detiknya?"

Satu langkah lagi dan semuanya menemui akhir. Namun kemudian suara rendah yang terdengar datar untuk disebut peduli, masuk dan si gadis beri atensi.

"Empat ribu bintang," lanjut suara asing itu tanpa menunggu Kawula.

Kaki tak beralas itu gagal pada langkah terakhirnya. Ruang kepala yang sudah ia kosongkan kembali sedikit terisi untuk memutar pertanyaan dan jawaban yang baru didengarnya. Tidak penting tapi terlanjur menyita pendengarannya yang semula hanya pada angin.

"Yang itu altokusmulus," dengan perbedaan ketinggian dimana mereka berdiri, Kawula masih bisa dengan jelas melihat telunjuk asing itu mengarah pada segumpal awan di hadapan. Menengadah netranya mengikuti.

Seolah terbawa dalam dialog bicara, Kawula tiba-tiba saja bersuara juga. "Kamu tahu berapa tinggi mercusuar?"

Telunjuk yang tadi bisa gadis itu lihat oleh ekor matanya, sekarang sudah turun. Kemungkinan masuk ke dalam saku celana pemiliknya.

"Belum."

Satu hembusan nafas singkat terdengar oleh pemuda barusan. Pikirnya gadis yang berencana mati itu kecewa dan ia memang benar.

"Andai bisa bawa mercusuar ke sini."

"Kenapa tidak kesana?"

"Mercusuar terlalu jauh buat orang yang akan mati sebentar lagi."

"Kalau gitu sia-sia, kamu juga tidak memperjuangkan mati."

Pada akhir kalimat yang mengudara, Kawula menemukan hal aneh setiap bibir asing itu terbuka dan bersuara. Karena ternyata, tanpa arahan sadar dari tuan kepala, dirinya masih saja mau mendengarkan setiap kata.

"Dan kenapa harus?"

"Karena kamu mati untuk hidup, tapi matipun tidak kamu perjuangkan."

Mati untuk hidup.

Manusia itu, sosok asing yang melontarkan beberapa kalimat saja dan dengan jahatnya sudah merangkum sempurna hidup Kawula dalam tiga kata : mati untuk hidup, katanya.

"Mati untuk hidup? " pelan si gadis mengulang lalu terdiam, masih terpesona oleh tiga kata barusan. "Mati untuk hidup."

Detik kemudian yang membawa kanvas nabastala semakin jingga, membiarkan juga Kawula terduduk begitu saja. Masih di bagian tertinggi gedung ini, tepat di samping sepasang sepatu dan selimut bernama kaos kaki.
Jangan tanya kenapa. Karena Kawula hanya ingin memikirkan tiga kata baru kesukaannya lebih lama.

Si pemuda menyabitkan bibirnya tipis, masih mengarahkan pandang pada gadis di hadapan. Punggung lebarnya kemudian tersandar pada dinding dimana Kawula terduduk di atasnya. Setidaknya ia bisa menyapa bagian samping dari wajah Kawula dengan cukup jelas akibat surai yang tertiup angin.

"Kenapa lepas sepatu?"

"Supaya jatuhnya sedikit lebih lama."

"Karena?"

"Biar puas Tuhan menontonnya."

Dari posisi duduknya, pasang kenari coklat Kawula mampu memotret kesibukan kota.
Hawa panas yang gadis berparas sayu itu yakin lebih banyak berasal dari keluhan daripada asap kendaraan, semakin lama, semakin tergeser oleh berisiknya klakson tidak sabar. Kawula tidak akan menyalahkan. Mereka, orang-orang yang sudah jelas dirinya tidak kenal, pasti ingin pulang dan menyapa nyaman yang mereka tanam pada sebentuk rumah. Mungkin ada yang masih tinggal dalam kontrakan butut, atau seorang turis yang harus pulang ke dalam kamar bernomor urut. Namun yang paling jelas yang dirinya tahu, mereka punya tujuan untuk pulang setelah pergi yang melelahkan dan panjang.

Lalu sebuah pertanyaan, apa Kawula punya?
Tentu, ada. Namanya Tuhan, katanya. Maaf Kawula tidak yakin karena ia tidak pernah bicara berdua denganNya. Tidak ada validasi baik yang membuat ia mau untuk mengiyakan.
Begitupun jagat raya, dirinya masih percaya bahwa Tuhan pasti ada. Sekali lagi Kawula tidak akan menyalahkan karena sepertinya, kemungkinan besar, Tuhan terlalu sibuk untuk hanya bicara dengan hamba yang tidak ada guna seperti dirinya.

"Tapi berarti sekarang Tuhan kecewa," Kawula melanjutkan setelah sekejap melamun.

"Atau mungkin senang," timpal pemuda itu.

"Kamu enggak bisa menilai hubungan seorang hamba dengan Tuhannya dalam kurang dari tiga puluh menit."

"Aku punya konsep Tuhan ku sendiri," pemuda itu selalu punya jawaban. "Di kepalaku, Tuhan tidak pernah begitu."

Dan sekali lagi, telinganya dengan senang hati mendengarkan walau kalimat yang ditujukan padanya itu sudah jelas bertentangan.
Ada magis super jahat di tiap kata yang pemilik suara rendah itu sambung, Kawula sadar.

Diam kemudian hanya diam. Liar angin sore itu membawa sebalut raga kalut kembali. Lewat si asing yang memunggungi, diam tak bersuara Kawula berdialog sendiri.

Dunia yang baik, kamu sudah banyak mengenalkan pada orang yang tidak paham. Namun sekali ini, barisan akhir kalimat yang sudah seharusnya, kenapa satu suara saja bisa membuat dirinya berpikir dua kali untuk hal yang ia damba.

"Seperti hidup, mati juga percuma kalau tanpa makna."

Sosok yang masih berparas abu itu, Kawula rasa mulai melangkah jauh. Ekor matanya sudah kehilangan bayang sosok si pemuda. Sampai dimana, dirinya sadar kembali sendiri di atap ini.

"Seperti hidup," pelan Kawula mengulang kalimat yang ia dengar belum lama tadi. "Mati juga percuma kalau tanpa makna."

Si gadis mendekap dirinya.

Suatu hari Kawula ingin istirahat saja. Istirahat yang panjang sekali tentunya.

Namun bukan hari ini,

hari itu.

dari jari,
☁︎ anothersirius

.
.
.

catatan :

bagian pertama ditulis cukup lama. banyak pertimbangannya, banyak cari kosa kata yang diharap cukup menggambarkan mereka. juga karena cerita ini sangat intim, sangat dekat dan lekat, jadi setiap gerak, bicara, bahkan diam mereka adalah apa yang selama ini jadi rahasia kepala. mereka mewakilkan setidak-tidaknya sesuatu yang selalu tertahan.

SemusimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang