Ibu? Ayah? Aku Tidak Mau Sendirian

9 1 0
                                    

 Aku mendorong kursi dan meletakkannya di bawah jendela kamarku. Aku membuka jendela, aku melihat kembang api indah dengan warna yang beragam menghiasi langit kota. Aku turun dari kursi setelah menutup kembali jendela dan mengambil sebuah kardus bekas. Aku membuat sebuah rumah kecil dari kardus itu dan menghiasnya dengan krayon-krayonku. Aku menulis namaku di bagian depannya. Emran Yaseer, itulah namaku, walaupun aku masih berumur lima tahun aku sudah bisa menulis namaku sendiri. Aku berhenti menghias rumah kardusku ketika ibu dan ayahku masuk ke kamarku untuk menyuruhku tidur. Aku meminta izin kepada orangtuaku untuk tidur bersama Meong, kucingku di dalam rumah kardus buatanku. Dan, ibuku mengizinkanku.

Ketika aku masih bermimpi indah di dalam tidurku, aku merasakan tubuhku berguncang hebat. Aku mendengar ibuku berteriak memanggilku dan meminta tolong, aku tidak mendengar suara langkah kaki ayah yang berusaha menolong ibu. Ada suara barang-barang pecah, dan suara ledakan keras, suara orang-orang berlarian dan berseru histeris terdengar sangat jelas. Aku takut, aku ingin menolong ibuku dan menjawab panggilannya, tapi, aku terlalu takut. Ayah dimana? Kenapa ayah diam saja? Apa yang terjadi? Aku hanya memeluk Meong dan menangis di dalam rumah kardusku.

Tak lama, guncangan itu berhenti. Saat aku berharap hari ini ini adalah hari yang diawali dengan pagi yang cerah dan hangat seperti biasa, ternyata aku harus pindah ke sebuah tempat yang dipenuhi tenda-tenda, orang-orang bilang ini adalah tempat pengungsian. Sebenarnya, apa itu tempat pengungsian? Rumahku dimana? Kenapa aku harus berada di sini? Aku tidak melihat ibu atau ayah dimanapun, aku melihat banyak orang berseragam dengan senjata di bahu dan tangan mereka. Aku melihat anak-anak seumuran denganku bersama ibu dan ayah mereka masuk ke dalam tenda-tenda. Aku hanya diam bersama Meong di dalam rumah kardusku. 

Rumah kardusku masih berdiri tegak di atas permukaan pasir di tengah-tengah kawasan pengungsi. Aku mencoba mengamati kawasan itu, aku melangkah keluar dan melipat rumah kardusku, aku meletakkkan lipatan kardus itu di lantai pasir. 

Pemandangan yang bisa aku lihat adalah, seorang laki-laki dengan wajah lesu sedang menggambar sebuah rumah di pasir dengan menggunakan sebatang kayu. Seorang ibu dengan raut letih yang sedang memandikan anaknya. Aku melihat ke arah berlawanan, aku kaget ketika menyaksikan anak-anak yang berumur sama denganku mengambil daun kering dari pohon tumbang dan memakannya. Aku melihat kembang api dari jauh, tapi, kembang api itu tidak mengarah ke langit, melainkan ke bawah tanah. Orang-orang melarikan diri ketika kembang api yang mengarah ke bawah itu menyebabkan suara keras. Kenapa orang-orang berlari?

Angin kencang berhembus, lipatan rumah kardusku terbang mengikuti arus angin. Aku mengejarnya secepat mungkin, melewati tenda-tenda yang berjejer dan bukit-bukit pasir.

 Kardus itu tersangkut di pagar kawat panjang yang berduri. Aku mengambilnya, seketika aku melihat lubang di kawat panjang itu. Aku mulai berpikir. Apakah ini jalan menuju rumah? Jika aku melewati lubang itu, apakah aku bisa bertemu ayah dan ibu? Aku ingin bertemu mereka!

Aku mengambil kardusku dari kawat berduri dan menunduk agar bisa melewati lubang itu. Aku berjalan menyusuri bukit-bukit dan bebatuan, melewati malam, aku terus berjalan.

Ketika matahari mulai terbit dan pagi hari menghadiri semesta, aku masih melangkah melintasi padang pasir bersama Meong. Dengan perut kosong, mata yang penat, dan wajahku yang mencucurkan keringat. Aku ingin berhenti berjalan, tapi, aku ingin bertemu dengan ayah dan ibu.

Aku berhenti sejenak dan mendongakkan kepalaku ke arah langit biru dengan awan-awan putih yang indah. Aku mengamati burung-burung camar yang sedang berterbangan. Aku menoleh ke arah lautan luas yang terbentang di depanku. Laut yang sangat indah. Aku tidak pernah melihat laut bersama ibu dan ayahku, aku ingin mereka melihat betapa cantiknya laut yang ada di depanku ini. Apakah jika aku melewati lautan luas ini aku akan sampai ke rumahku? Apakah ayah dan ibu ada di rumah dan sedang menungguku? Apa yang bisa aku gunakan untuk melewati lautan ini?

Aku mengambil kardusku yang sepanjang perjalanan tadi masih ku gendong. Aku melipatnya menjadi sebuah kapal. Ibu pernah mengajarkanku cara membuat kapal dari kertas saat aku bermain lipat kertas. Seketika, air mataku berlinang saat aku mengingat masa-masa itu.

Kapal dari kardus yang kubuat sudah jadi, aku ingin menggunakannnya untuk melewati lautan ini dan bisa bertemu orangtuaku secepatnya. Aku menaruh kapal buatanku di tepi pantai dan mengajak Meong naik ke kapal bersamaku. Aku sangat sedih ketika Meong menggeleng, aku tidak punya teman lagi, dan aku benar-benar sendirian sekarang. Aku tidak bisa memaksa Meong, jadi, aku naik ke atas kapal dan mulai mendayung kapal dengan tanganku sendiri. Aku mendengar Meong masih mengeong-ngeong kepadaku.

Ibu...

Ayah...

Aku sekarang sendirian...

Meong tidak mau lagi bersamaku...

Ibu? Ayah? Kalian di mana?

Ibu? Ayah? Aku tidak mau sendirian...





Ibu? Ayah? Aku Tidak Mau SendirianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang