Satu

9 0 0
                                    

Gadis itu menangis sambil menyeret kopernya menuju gate penerbangan di bandara. Dia tak peduli beberapa orang menatapnya dengan wajah kasihan.

Hatinya pedih mengingat segala kejadian yang telah terjadi sebelumnya.
Sambil duduk termenung, ia mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang telah dialaminya.

"Pa, aku hamil," kata Chloe pagi itu.

"Hamil?" teriak Andy dengan mata membulat menatap putrinya seperti tidak percaya akan apa yang baru saja di dengarnya. "apa kau bercanda? Bahkan kau belum menikah."

Chloe diam seribu kata. Dia tak mampu menjelaskan peristiwa yang telah dialaminya. Kebodohan yang membuatnya jatuh dalam penderitaannya.

"Keluar kau dari rumah ini!"  Andy mulai kehabisan kesabarannya melihat putri tunggalnya hanya diam membisu tanpa suatu pembelaan, tanpa mau menceritakan apa yang telah dialaminya.

"Tapi pa, Chloe harus kemana?" gadis itu menangis terisak. Ia menangis semakin keras.

"Papa tidak ingin kau menginjak rumah ini lagi!"

Ditatapnya putri yang telah dibesarkannya dengan tangan baja itu. Apakah selama ini dia telah salah mendidiknya sehingga dia menjadi seorang pemberontak?

Andy diam selama beberapa saat untuk meredakan emosinya dan berpikir. Andy tak ingin reputasinya hancur hanya karena anak tunggalnya yang telah hamil tanpa menikah. Tapi di sisi lain, ia tak ingin kehilangan putri tunggalnya.

Bagaimanapun juga, dialah pewaris usaha yang dengan susah payah dirintis dan dibesarkan olehnya.

"Kau, berangkatlah ke Singapore. Temui aunty Rosie. Lahirkanlah bayi itu disana!" katanya kemudian. "Papa tidak mau kau melahirkannya di Indonesia.

Seharusnya kau tahu, bagaimana cara menjaga nama besar keluarga kita."

Ah ~ lagi-lagi nama besar. Setiap kali melakukan kesalahan, selalu yang disinggungnya adalah nama besar keluarga. Apakah puteri semata wayangnya ini begitu tak berharga jika dibandingkan dengan perusahaannya?

Chloe mengingat kembali petualangannya sebulan yang lalu. Peristiwa yang menjadi titik balik penderitaan yang harus ditanggungnya kini.

Chloe Adams, meneguk kembali minuman dari gelasnya. Mereka benar - benar merayakan hari kelulusan sekolah mereka.

Sesekali ia melirik ke lantai dansa. Sementara musik begitu keras berbunyi. Sang DJ bergerak dengan aktif menghadirkan irama musik yang atraktif.

"Guys. Kita bersenang-senang sebentar yuk." Chloe mengedipkan matanya sambil menarik tangan teman-temannya.

Stephanie, Andrew, Lauren dan Martin teman - teman SMA nya turut bersama dia.

Chloe bergerak tanpa terkontrol hingga ke meja bar. Ia menabrak seorang pria sedang duduk menikmati minumannya di sana.

"Siapa kau? Kenapa kau begitu tampan? Apakah kau seorang aktor?" Chloe meracau tak jelas.

Sang pria hanya memandangnya dengan pandangan sinis dan aneh.
"Kenapa ada gadis SMU di sini?" tanyanya pada sang bartender.

"Heh! Dengar. Aku sudah bukan siswi SMU. Kami sudah lulus!" teriaknya. Stephanie segera menghampirinya, menarik gadis itu kembali ke meja mereka.

"Aku masih ingin menari. Menari bersama aktor tampan itu!" Chloe menunjuk ke arah pria yang duduk di meja bar.

"Sebaiknya aku pulang, sebelum aku jatuh tak sadarkan diri." kata Lauren. "Martin, apa kau masih sanggup mengemudi pulang?"

Martin yang wajahnya tertelungkup di meja, hanya mengangkat tangan.

"Astagaaa, berapa banyak yang sudah kau minum."

"Kalau begitu apa kita semua bubar saja?" tanya Stephanie. "kita harus segera pulang sebelum Chloe semakin kacau."

"Aku... pantang... pulang... sebelum... botolnya... kosong..." Andrew menjawab bersama bunyi ceguk yang mengganggu.

"Mari kita pulang, Chloe." tawar Stephanie yang tak menyukai alkohol.

Chloe meletakkan gelasnya dengan keras di meja. "Dunia akan kiamat jika aku pulang ke rumah. Ayahku pasti akan sangat marah."

Chloe tertawa terkekeh sambil menuang kembali minuman berwarna merah itu ke dalam gelasnya.

"Lalu apa yang akan kau lakukan? Aku tak mungkin meninggalkanmu di sini dan aku juga tak mungkin membawamu ke kamar kos ku yang sempit." kata Stephanie.

Chloe terkekeh. "Kalau begitu aku menginap di sini saja. Aku bisa menari dengan aktor ganteng itu semalaman. Atau aku akan tidur di jalanan?"

"Ah... kalian benar-benar membuat aku pusing. Bukankah sejak semula aku sudah tak setuju kita merayakannya di sini." kata Stephanie mulai kesal.

Chloe terkekeh melihat wajah sahabatnya yang kesal dan kebingungan itu.

Stephanie melihat sekelilingnya. Ah, sungguh berisik dan gelap. Dia benar - benar tak menyukai suasana di tempat itu. Terlalu berisik dengan musik yang memekakkan telinga, gelap dan bau minuman yang menyengat.

"Sudahlah, kita pulang dulu." kata Lauren. "Aku akan memesan taxi online untuk mengantar Martin lebih dulu."

"Martin! Bangunlah. Kita harus menunggu di luar." kata Lauren sambil menepuk kasar pipi Martin.

Perlahan Martin bangkit dari duduknya dengan badan yang limbung. Martin berjalan keluar dengan terseok-seok karena berusaha menyeimbangkan tubuhnya.

"Oh~ kenapa semuanya bergoyang-goyang. Apa ada gempa?" cerocosnya.

"Diamlah!!  Kalian semua berisik!"

Stephanie menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menghela napas panjang melihat ulah teman-temannya.

"Andrew! Sayang. Ayo aku antar kau pulang." kata Stephanie sambil menepuk pipi Andrew.

Sekali lagi Andrew menyilangkan tangannya di udara. "Tidak... Aku ... masih ... ingin ... minum."

"Sudahlah, kau sudah sangat mabuk. Minuman juga sudah habis. Pesta sudah usai, Andrew." kata Stephanie sambil menarik tangan pria itu.

"Ayo Chloe! Setidaknya kamar hotel lebih nyaman bagimu." kata Stephanie sambil menyeret kedua temannya yang sedang mabuk itu keluar.

Stephanie segera memasangkan sabuk keselamatan pada badan Andrew yang duduk di kursi depan. Sementara Chloe terbaring di kursi belakang mobilnya.

Stephanie segera menginjak gasnya dan mengantar teman-temannya. Ia memarkirkan mobilnya di loby hotel dan memesan sebuah kamar bagi Chloe. Sebuah suite room cukup untuk semalam saja, ya setidaknya cukup untuk malam ini.

Tapi ketika Stephanie kembali ke mobil, Andrew muntah di mobilnya. Stephanie sangat panik dan ingin segera membersihkan muntahan itu. "Kau benar - benar menyebalkan," katanya dengan kesal.

"Chloe, ini akses kamarmu. Bisakah kau ke sana sendiri? Kamarmu berada di lantai 3. Lalu kau belok kiri. 3 kamar dari sana adalah kamarmu. Aku perlu membereskan Andrew. Ah ~ dia benar-benar seperti kerbau kalau mabuk." keluh Stephanie.

"Baiklah Steph, terima kasih atas tumpangannya." kata Chloe sebelum turun dari mobil.

Dengan badan sempoyongan gadis itu berjalan menuju lift. Ia menekan tombol angka 3 setelah masuk ke dalamnya. Semuanya terasa bergoyang-goyang. Ah-- benar-benar pusing.

"Lalu belok ke kiri kamar ketiga." katanya sambil mendorong pintu kamar yang ternyata tidak terkunci.

"Sungguh hotel yang ceroboh, bagaimana bisa kamar ini tidak terkunci." katanya sambil melemparkan badannya dengan posisi terlentang di atas kasur hotel yang empuk itu. "mungkin mereka baru mengecek kenyamanannya untukku."

Daniel Richie, baru saja selesai mengadakan meeting di kantor cabang. Ia tergesa - gesa masuk ke kamar hotel yang telah di pesannya. Ia segera mandi dan bersiap untuk beristirahat, ketika dilihatnya tubuh seorang gadis cantik sedang terbaring terlentang di hadapannya.

Gaunnya setengah terbuka naik ke atas, menampilkan sepasang paha yang putih menggoda.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 25, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

My CEO's BabyWhere stories live. Discover now