Bab 58 ~ Batu Bercahaya

262 88 2
                                    

Bulan demi bulan berlalu. Di penghujung musim semi Ailene melahirkan putranya di rumah Vilnar yang terpencil di salah satu anak sungai Ordelahr.

Vilnar memberi nama putranya Vahnar, yang berasal dari kata vahennarre, istilah dalam bahasa Hualeg yang berarti 'batu bercahaya'; sebutan untuk batu permata yang paling keras dan paling indah.

Keberadaan batu semacam itu hanya mitos, tetapi Vilnar memberi nama itu dengan harapan agar putranya nanti bisa menjadi lelaki tangguh yang mampu menerangi orang-orang di sekitarnya.

Nama Vilnar sendiri berasal dari kata villenarre yang berarti 'batu hitam', dan konon batu bercahaya memang hanya bisa diasah dari batu hitam terbaik. Sudah jelas, Vilnar menginginkan putranya kelak menjadi lelaki yang lebih baik daripada dirinya.

Sekarang sudah empat tahun sejak Vilnar pergi dari desanya di Hualeg, dan ia telah menikmati kehidupan barunya. Walaupun kadang terbersit kerinduan pada kampung halamannya di utara, semakin lama keinginannya untuk kembali ke sana semakin redup.

Jika teringat pada istri dan anaknya, rasanya ia tidak ingin lagi hidup sebagai prajurit atau semacamnya. Sejak menikah tak pernah lagi ia menyentuh kapak perangnya. Senjata menakutkan itu kini sudah tersimpan di dalam peti tertutup di dalam kamarnya.

Namun Vilnar paham, bagaimanapun ia berusaha melepaskan dirinya, ia tetaplah seorang Hualeg. Ia memiliki akar yang tak mungkin dicabut. Akar yang membuatnya bertahan selama ini.

Seperti halnya keganasan dalam bertempur yang akan muncul dengan sendirinya walau telah terkubur sekian lama, suatu hari nanti akan ada hal-hal yang bisa memaksanya kembali ke negerinya. Mungkin, pada saat musim panas kembali datang, saat ini.

Bagi sebagian orang Hualeg, terutama mereka yang masih muda, musim panas berarti kesempatan untuk keluar dari negerinya dan pergi menjelajah ke selatan. Sebaliknya bagi di orang-orang di selatan yang justru menjadi khawatir, apalagi setelah terjadinya serangan Rohgar pada musim panas lalu. Rohgar memang sudah mati, tapi siapa yang bisa menjamin tak ada lagi orang-orang Hualeg lainnya yang bakalan datang menyerang.

Vilnar khawatir karena kini ia sudah memiliki keluarga. Kalau saja ia masih sendiri, ia tak akan takut pada siapa pun. Untung saja letak rumahnya cukup jauh dari aliran sungai utama, sehingga ia yakin orang-orang Hualeg takkan bisa menemukannya.

Tetap saja, hampir sepanjang musim panas ia memilih menemani keluarganya untuk berjaga-jaga. Baru di akhir musim ia berani berperahu ke selatan untuk menjual mantel-mantel kulitnya.

Ia lega, karena ternyata sepanjang perjalanan ke desa-desa di selatan tak sekali pun ia melihat keberadaan orang-orang Hualeg. Satu minggu sudah ia melakukan perjalanan dan kini ia hampir tiba kembali di rumahnya. Perahu telah kosong sebagian, mantelnya sudah terjual, digantikan oleh obat-obatan atau barang-barang keperluan rumah tangga.

Ia mendayung sambil bernyanyi-nyanyi kecil, dan hampir berbelok masuk ke anak sungai tempat rumahnya berada, ketika matanya melihat sebuah perahu lain jauh di utara.

Vilnar terkesiap. Seluruh keriangannya pupus seketika. Ia segera menepi dan bersembunyi di balik semak di tepi sungai. Jantungnya berdebar kencang kala ia mengamati perahu yang datang. Perahu itu langsing namun panjang sampai dua puluh kaki.

Perahu orang-orang Hualeg, yang datang langsung dari utara. Biasanya perahu sebesar itu bisa mengangkut sepuluh orang, tetapi kali ini hanya ada tiga laki-laki di atasnya.

Ada dua orang yang mendayung, paling depan dan paling belakang. Sementara laki-laki yang di tengah berdiri tegak sambil memandang jauh ke depan, seolah mencari-cari sesuatu. Rambut laki-laki itu berwarna kuning keemasan yang diikat dua di belakang. Janggut tebalnya diikat kecil di bawah dagu. Tubuhnya jangkung dan gagah, sedikit lebih gempal dibanding Vilnar.

Vilnar mengenalinya. Itu Kronar, kakak sulungnya.

Ia hampir bersorak. Kakak sulungnya adalah saudara yang paling disayanginya dibanding dua saudaranya yang lain. Kronar berumur sepuluh tahun lebih tua, dan dialah yang dulu mengajari Vilnar memainkan pedang dan kapak, dan yang pertama kali pula memberinya kepercayaan untuk ikut bertempur melawan musuh-musuh mereka di utara.

Vilnar ingin segera berteriak memanggil, tetapi lalu menahan diri. Kakaknya itu adalah orang yang paling dipercayainya selain ayahnya sendiri, tetapi waktu empat tahun telah berlalu. Segala sesuatu bisa berubah. Vilnar tak tahu apa yang terjadi di Hualeg selama ia pergi, jadi sebaiknya untuk sementara ini ia berhati-hati.

Setelah perahu itu lewat agak jauh, Vilnar keluar dari persembunyian. Ia mengikuti perahu dari utara itu. Didorong rasa ingin tahu ia menunda keinginannya untuk langsung pulang. Ia harus tahu lebih dulu untuk apa Kronar kemari. Rasanya tidak mungkin kakaknya itu hendak menjarah kalau hanya pergi dengan dua orang anak buah.

Lagi pula, menjarah bukan kesukaan Kronar.

Matahari terbenam. Perahu Kronar menepi untuk beristirahat. Vilnar ikut menepi. Setelah menyembunyikan perahunya Vilnar berjalan menyusuri tepian sungai untuk mendekati mereka.

Kronar dan dua prajuritnya sudah duduk mengelilingi api unggun dan membuka persediaan makanan mereka.

Satu, dua, tiga.

Kali ini Vilnar bukan sedang menghitung jumlah orang, melainkan berapa kali ia memilih untuk mengintip dari balik semak-semak saat melihat orang-orang Hualeg. Pertama saat ia menemukan Ailene, kedua saat ia menemukan Rohgar yang tengah bertarung dengan para kesatria, sekarang ketiga saat menemukan kakaknya sendiri.

Ia tersenyum kecut. Padahal ia orang Hualeg, tapi tindakannya bersembunyi jelas menunjukkan ketidaknyamanannya ketika bertemu orang-orang sebangsanya itu.

Seorang prajurit berkata, "Sudah berminggu-minggu kita mencari, bahkan mengambil resiko datang ke beberapa desa. Kau masih mau melakukan ini?"

Tampaknya ia bertanya pada Kronar.

"Ia sudah pergi selama empat tahun," kata prajurit lainnya. "Ia bisa berada di mana saja, bahkan mungkin di tempat yang sangat jauh."

Kronar menggeleng sebagai jawaban. "Kita sudah dekat. Dia ada di sekitar sini. Cerita yang kita dapatkan dari beberapa orang cukup jelas."

"Walaupun berputar-putar di sini kita tak mungkin menemukannya kalau ia sengaja bersembunyi. Mungkin ia memang tidak mau pulang."

"Kita lihat dulu satu minggu ini,"jawab Kronar. "Jika kita tetap tidak menemukannya, kita pulang. Sebentar lagi musim gugur, lalu musim dingin; salju akan turun dengan cepat dan sungai-sungai akan membeku. Masih beberapa bulan lagi, tapi kita tidak akan bisa lewat kalau salju mulai turun."

Mendengar pembicaraan itu Vilnar langsung yakin bahwa mereka tengah mencari dirinya. Walaupun ia belum tahu kenapa Kronar mencarinya, ia lega karena kakaknya datang bukan buat merampok.

Tanpa berpikir panjang ia keluar dari balik persembunyiannya dan berseru, "Kakak! Aku di sini!"

Kronar dan kedua prajuritnya terlompat kaget sambil meraih senjata mereka. Vilnar sempat ragu begitu melihat reaksi mereka. Ia juga takut, karena tidak membawa kapaknya kemari.

Namun begitu wajah Vilnar perlahan diterangi cahaya api unggun, kakaknya itu akhirnya sadar dan mengenalinya.

Serta merta Kronar membentangkan kedua tangan dan berseru dengan suaranya yang mengguntur, "Vilnar! Bajingan kecil! Kemari kau!"

Northmen SagaМесто, где живут истории. Откройте их для себя