#10 Tragedi Balas Dendam Lampor

617 31 10
                                    

Bima mulai menangis di pangkuan ku, ia di pindah alihkan oleh mas Iman dan berusaha terlihat kuat, tegar dan sabar di depan Bima.

"Sayang, Bima yang kuat ya! Bima harus sabar, hapus air matanya."

***

Niat hati menjenguk sahabatnya, karena telah lama kehilangan kabar, dan berniat untuk membawa mereka ikut bersamanya ke kota, namun kenyataan tidak seperti yang dipikirkan.
Rencana indah, seakan semuanya berbalik dari yang kita inginkan.

"Apakah, Ramli mempunyai musuh disini?"

Iman tiba-tiba melontarkan kata itu kepada Sundari.
Dia terdiam dan hanya menggelengkan kepalanya.

Karena setau wanita berpenampilan sederhana itu tentang suaminya, suaminya tidak pernah mempunyai musuh.

"Aku melihat dari sakitnya, ada orang yang tidak suka padanya!" sambung mas Iman sedikit lantang.

Aku terkejut mendengar kata-katanya.
Sebenarnya aku tidak mau berprasangka buruk kepada siapapun.

Namun apa mungkin?

Tapi siapa dia?

***

"Bima tau! orang yang membenci bapak. Dia adalah bapak Dedi!" ucapnya menyambar.

Aku langsung memberikan kode kepada Bima, agar ia diam. Bagaimana jika prasangka itu akan membawa  fitnah?

"Bima, apakah bapak Dedi itu berbadan kekar, tinggi dan berkulit hitam?"

"Ya," jawabnya.

Tiba-tiba mas Iman memintaku untuk mengamankan Bima dari perbincangan kami.
Aku meminta Bima untuk membelikan kopi hitam ke warung mbok ijah.

Setelah itu Bima pun berangkat dengan menggenggam uang yang di berikan.

***

"Apaa?"

Aku terkejut dengan bola mata setengah melotot, setelah mendengar pengakuan Iman tentang suamiku, mas Ramli.

"Ramli di San*** bapak Dedi. Itulah sebabnya sakitnya tidak wajar, dan tentunya dengan penyiksaan yang  lama."

Ini permainan bapak Dedi menyiksa nyawa suamiku!

Kenapa bapak Dedi begitu kejam?
Kenapa bapak Dedi begitu jahat?

_____________________________________

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” 

_____________________________________

Tangisku menggebu, hatiku ingin sekali untuktidak mempercayai ini, tapi apa yang di katakan mas Iman, seperti nyata dan benar adanya.

"Aku akan kembali besok pagi. Karena hari ini sudah menjelang sore. Aku pamit pulang, jaga sebaik mungkin Ramli, aku tidak tega membangunkannya, Aku berjanji akan kembali lagi besok, dengan membawa seseorang yang bisa membantu meruqyahnya!"

Aku menganggukan  kepala, ku saksikan permohonan mas Iman kepada mas Ramli, ia berjanji akan kembali lagi esok pagi.

***

***

"Bapakk! jangan tinggalkan Bima dan ibu sendiri!" histerisnya.

Ku peluk tubuh kecilnya, malam ini mas Ramli menghembuskan nafas terakhirnya.
Kini ia tidak lagi merasakan sakit, tetapi kenapa harus berakhir seperti ini?

Mas Iman meninggalkanku di saat ada janin di perutku.
Bima masih terlalu kecil untuk kehilangan sosok ayah.
Aku juga belum bisa hidup tanpamu, mas, tapi apa boleh dikata.
Semuanya di paksa oleh keadaan, aku tidak bisa menolak takdir ini.

***

Rasanya begitu sangat menyedihkan.
Kini aku sendiri, tanpa seorang suami, menghidupi anakku dan janin di perutku ini.

Aku marah, namun aku bisa apa.
Aku tidak bisa menyimpan rasa benci di hatiku, aku berjanji pada diriku sendiri, aku tidak akan menyimpan dendam sedikitpun kepada orang yang telah menghancurkan keluarga kecilku.

****

Semenjak meninggalnya mas Ramli.
Kehidupanku memprihatinkan. Apa saja pekerjaan aku lakukan meskipun dalam kondisi hamil besar.
Terkadang lelah ini, membuat aku berkecil hati untuk melanjutkan hidupku ini, namun aku harus tetap kuat, semangat dan terus berjuang meskipun sendiri.

***

Hingga datang di saat hari kelahiran anakku yang kedua.
Dia adalah Fathiya, bayi perempuan yang lahir tanpa seorang ayah.

Masih sangat jelas sakit persalinan, kami di beri kejutan oleh bapak Dedi dan warga sekitar tentang tuduhan Fitnah kejam itu.

Aku buruk di mata mereka, keluargaku hancur berkeping-keping setelah rasa sakit yang ku derita, mereka tambahkan lagi sakitnya.
Bukan hanya sakit hati, namun fisik juga yang ku rasa.
Beratnya hidupku ini.

***

Kenapa Fitnah itu bisa datang, dan semuanya bisa percaya?

Inilah detik-detiknya.

"Sundari, Ramli sahabatku telah tiada.
Jujur saja, aku masih mencintaimu semenjak kamu menolak lamaranku dahulu.
Izinkan aku untuk menjadi pengganti suamimu, menghidupi kalian.
Ramli pasti akan setuju. Aku tidak tega melihat kalian bertiga disini.
Aku berjanji akan membahagiakan mu dan anak anak!"

Itulah kata kata mas Iman.
Ia berniat menjemputku untuk dia nikahi.
Niatnya baik, namun enggan rasanya menghianati cinta Mas Ramli, meskipun ia telah tiada.

Aku terharu dengan niat baik mas Iman, namun aku tidak bisa menjalin hubungan tanpa rasa cinta di hati.

Meskipun keadaan ku sulit, aku tidak ingin menikah lagi. Biarlah pahitnya hidup ini, aku saja yang menanggung nya. Aku tidak mau melimpahkan beban kepada siapapun. Apalagi kepada mas Iman.

Dia adalah orang yang pernah melamar ku dahulu, namun aku menolaknya.
Dia tidak pernah mendendam meskipun ia tau, sahabatnya lah yang menjadi calon suamiku.

****

Entahlah mengapa warga bisa menuduhku berbuat tidak senonoh dengan seorang lelaki.

Apakah mas Iman, yang mereka maksudkan?

Begitu buruk kah pandangan warga terhadapku?

Semenjak aku menolak kedua kalinya niat baik mas Iman, ia pulang dengan raut wajah kecewa, seperti halnya dahulu. Wajah itu kulihat lagi saat ini.

Selang beberapa jam, bapak Dedi beserta warga mengepung gubuk kami, mereka seenaknya menuduh tanpa bukti, ia menjadi pemimpin hukuman deraan tanpa mendengarkan penjelasanku terlebih dahulu.
Sejak itulah penyebab kami terusir dari tempat tinggal sendiri.

***

#BERSAMBUNG*****

Next?

TRAGEDI BALAS DENDAM LAMPORWhere stories live. Discover now