Remedy (dalam versi dewasa)

4K 212 46
                                    

Kim Junkyu sebagai Alexander Joan
Park Jihoon sebagai Baleandra Juska














Joan membawa secangkir teh hangat di tangannya, berjalan dari arah dapur lurus ke depan, melewati pintu utama, dengan senyum lebar terpatri di wajah rupawannya.

Sang ibu menoleh padanya, membalas senyum. "Letakkan di sini." Suara lembut ibu yang menua terdengar merdu di telinga Joan. Pun sorot matanya yang dikelilingi keriput membuat perasaan Joan tenang. Beliau menepuk sisi kursi di sebelahnya. "Dan duduklah...temani ibu."

Joan memiringkan kepalanya, dan terkekeh pelan.  Sudah menjadi kebiasaan sang ibu di sore hari menjelang Maghrib begini, duduk bersantai di teras besar di depan rumah mereka. Mengamati satu persatu kendaraan yang lalu lalang di depan rumah, tergesa-gesa melaju setelah sehari penuh berkutat dengan mata pencaharian mereka.

Sang ibu hanya akan duduk diam, entah apakah menikmati kendaraan yang berdesakan di jalan raya di depan rumah mereka ataukah justru pikirannya berkelana ke suatu tempat. Joan kadang diberitahu tentang itu, namun seringnya tidak.

Joan tidak berkomentar lebih, atau menanyakan perihal sesuatu yang mengganggu pikiran ibu. Sebelum bergabung di teras, Joan hanya perlu membuatkan secangkir teh melati hangat dan wangi kesukaan ibunya. Kemudian dengan langkah lebarnya ia mendekati ibu, menaruh secangkir teh buatannya di atas meja bundar berbahan kayu jati dan mendudukkan dirinya di samping perempuan paling berharga sedunianya itu.

Selalu begitu kebiasaannya, sudah berjalan lebih dari lima tahun dan Joan bersedia mengulangi setiap sorenya dengan kegiatan yang sama bahkan hingga seratus tahun ke depan.

Maka ketika sang ibu menepuk kursi kayu jati di sebelahnya, dan secara langsung menyuruhnya duduk...Joan merasa sedikit aneh dan lucu. Karena tanpa disuruh pun ia memang akan melakukannya. Itu sudah jadi kebiasaannya, menemani sore harinya sang ibu. Mengapa pula harus disebutkan oleh ibunya?

Joan kurang mengerti maksud hati sang ibu sore ini.

Dalam duduknya, Joan menarik telapak tangan ringkih ibunya, memijatnya pelan. Ia pandang lembut ibunya yang kini justru memilih menatap sibuknya jalan raya di depan rumah mereka.

Sang ibu biasanya membalas tersenyum lembut pula, setelah itu mulai menyesap sedikit demi sedikit teh melati. Kemudian akan mulai bercerita tentang banyak hal kejadian hari ini.

Namun sore hari ini agaknya sedikit berbeda sebab sudah lebih dari sepuluh menit ibu tetap dalam kediamannya. Ketika beliau menatap jalanan pun, bukan senyum yang Joan temukan namun Joan tau pikiran ibu tidak pada saat ini.

Pikiran ibu melayang jauh entah kemana tempatnya, entah kembali ke masa yang mana.

"Joan....," panggil sang ibu lembut, tatapannya masih tak berpindah dari jalanan di depan mereka.

"Hmm...," gumam Juna antusias. Ia rasa mungkin sang ibu berkenan membagi kegusarannya hari ini. Joan meremas pelan jemari sang ibu. lebih dari siap menerima segala bentuk kegelisahan beliau.

"Joan umur berapa ya, sekarang?."

Senyum Joan makin lebar, tahu akan berkelana kemana percakapan dengan sang ibu sore hari ini.  "Tiga puluh dua, ibu."

Sang ibu mengangguk. Wajah beliau makin gusar, seiring desahan napas panjang yang ia keluarkan.

"Ibu sangat sayang sama Joan, Joan tau itu?," tanya sang ibu, pandangannya tetap tertuju pada jalanan yang penuh klakson kendaraan.

"Joan adalah permatanya ibu, mataharinya ibu, dunianya ibu. Joan tau itu, bukan?," lanjut sang ibu, dengan Joan yang mengangguk di sebelahnya.

"Kebahagiaannya Joan adalah kebahagiaannya ibu." Ibu memberi jeda sebentar, menoleh untuk menatap wajah tampan Joan dari dekat. Senyum masih mengembang di wajah sang putra. Membuat hatinya teriris perih lagi. Oh....betapa inginnya ia menumpahkan tangis yang ia simpan dalam-dalam ketika memikirkan nasib putranya itu.

Our Transversal (kyuhoon)Where stories live. Discover now