1. Legenda Sang Garuda

220 31 11
                                    

Sang Kesatria Garuda! Putra yang digadang-gadang akan menyelamatkan Nusantara dari kehancuran. Meliputi Jawa, Andalas, dan Malaya. Sekian ribu tahun setelah Sang Garuda meninggal dunia, Sang Putra Garuda bangkit. Itu merupakan pertanda baik sekaligus pertanda buruk!

Pertanda baik bahwa Nusantara mendapat seorang pehalawan baru, pertanda buruk bahwa Nusantara berada di ambang kehancuran.

Hingga pada tahun Nusantara 7881, sesosok bocah ingusan bernama Kala Piningit mendapat anugerah terbesar dari semesta. Diutus menjadi Kesatria Garuda! Dibekali oleh kekuatan-kekuatan yang seniman lain tidak bisa dapatkan, dibekali ilmu memandai dari gurunya yang bernama Akhza, dan dilindungi orang-orang terkasih.

Hingga pada suatu hari yang cerah, di kaki Gunung Loro Kembar di pulau Jawa, seorang bocah bernama Kala hidup di dalam gubuknya. Hidup sebatang kara sejak perempuan tua ibu angkatnya mangkat. Sebatang kara dalam artian yang sebenarnya, tidak ada orang lain dalam jarak yang sangat-sangat jauh dari gubuk Kala.

Dia tinggal sendirian, benar-benar sendirian, bukan tinggal di dalam desa ataupun suatu pemukiman. Dia tinggal di kaki Gunung Loro Kembar sendirian, di tengah hutan yang seolah tak berujung.

Hanya dari alam dirinya makan, hanya dari alam dirinya hidup. Itulah Kala Piningit, yang memingit dirinya jauh dari kehidupan bermasyarakat. Ada kenangan buruk yang menjadi landasan mengapa Kala memingit dirinya sendiri, kenangan yang selama-lamanya terkenang tanpa bisa terlupa.

Suatu ketika pada hari yang sudah disebutkan sebelumnya, Kala mendengar gelegar suara keras dari arah Gunung Loro Kembar. Saat itu dirinya baru saja selesai menanak nasi. Kala mendongak ke atas hingga terlihat jakun di lehernya, awan-awan tersapu oleh sesuatu yang tidak terlihat, membentuk lingkaran tanpa awan di sekitar puncak Gunung Loro Kembar.

Secara tiba-tiba dan tidak pernah dinyana oleh Kala, gelombang angin mengempas dirinya ke belakang. Kuat sekali. Kala terlempar lima depa ke belakang. Pohon-pohon mengeluarkan suara yang mengerikan, sebagian terbawa angin, sebagian rubuh. Daun-daun terempas pula hingga di tanah sekitaran itu tiada lagi ada daun yang berserak.

Kala berdebam dan berguling-guling di tanah. Dengan luka lebam yang luar biasa parahnya di bagiam punggung. Dengan telinga  berdengung akibat suara keras dan tekanan angin yang sama kerasnya. Kala mencoba bangkit, melihat sekitarnya. Oh astaga, gubuknya runtuh!

Begitulah pada hari itu juga, Kala meringkuk, menangisi gubuknya yang hancur. Hidup sebatang kara sudah membuatnya miskin, kini gubuknya harus hancur pula, saat itu juga dirinya resmi menyandang gelar anak gunung yang miskin papa!

Sampai Kala kembali mendengar suara debam. Sangat kuat untuk disebut berdebam saja, suara itu mirip suara ledakan. Saat Kala mengangkat wajahnya yang semula terbenam di antara dua lutut, ia melihat pasir-pasir berterbangan. Itu berarti, ledakan terjadi di dekatnya!

Kala dengan rasa penasaran dan rasa sedihnya berkeliling untuk memastikan nyawanya tidak terancam oleh sesuatu yang misterius. Sampai ia akhirnya ia melihat suatu lubang, yang mengepulkan asap tebal. Kala mendekat, tak sengaja menyentuh asap, rasanya dingin. Aneh. Kala melihat ke dalam lubang dengan penasaran. Samar-samar di balik tebalnya asap, ia melihat sesosok tubuh ringkih meringkuk dan berbaring.

Sebenarnya itu tidak mudah dipercaya, tentang bagaimana seseorang bisa membuat lubang dalam waktu singkat seperti itu. Kala tidak melihat ini ada sebelumnya. Maka ia coba turun ke bawah, mengambil sosok tubuh itu dan mengangkatnya ke atas. Ternyata seorang pria tua, usianya mungkin 80 tahunan dengan tubuh kering ringkih, wajah penuh keriput dan janggut putih panjang.

Tentu saja pria tua itu sudah tidak sadarkan diri, dirinya tidak bergerak saat Kala mengangkat tubuhnya. Kisah tentang pertemuan bocah itu dengan pria tua itu terlalu panjang, ada pembahasaan di kisah sebelumnya yang aku tulis.

Singkat cerita, orang tua itu bernama Akhza, penyebab ledakan yang ada di Gunung Loro Kembar karena pertarungannya dengan pak tua lain yang bernama Satrya. Kisahnya dengan Satrya ini sungguh mengharu biru, tidak akan kujelaskan juga di sini.

Akhza itu menjadi guru bagi Kala, tempat pelatihannya adalah puncak Loro Kembar yang saat itu telah berkabut tebal abadi. Tentang kabut abadi yang menyelimuti Gunung Loro Kembar itu tidak aku jelaskan di sini, rangkaian ceritanya menyangkut juga dengan kisah Akhza dan Satrya.

Setelah lima tahun lamanya, pada tahun Nusantara 7886, Kala selesai menjalani masa pelatihan. Bakat Garuda yang Kala miliki membuat ia bisa dengan cepat menyerap ilmu dan menyatakannya. Lima tahun latihan sama dengan dua puluh tahun latihan bagi Kala.

Saat itu nyawa Akhza meninggalkan raga. Kala menangis, mengumpat semalaman. Yang akan ia tahu bahwa mengumpat itu tidaklah baik, karena mengutuk Tuan yang telah mengatur nasib. Kala turun ke gunung, memulai petualangannya. Bertemu Maheswari; mendapat teman seperjalanan baru bernama Kaia yang kemudian hari menjadi pujaan hatiku; bertemu Cassandra yang mengajarkan Kala Pencak Silat; dan memiliki hubungan baik dengan sejumlah perguruan dan perkumpulan seniman.

Kisahku ini akan kusambung. Agar orang-orang di masa mendatang tidak salah mengira tentang sikapku sebagai Kesatria Garuda, tidak salah kaprah tentang kisah perjalananku. Pastilah perjalananku ini ditulis juga oleh penyair jalanan lainnya, sungguh mereka baik hati mau membagikan cerita dengan bayaran sedikit, aku menulis kisah ini untuk meluruskan kisah tentang diriku yang semakin hari akan semakin melenceng dari kenyataan.

Akan kusambung ceritaku dengan cerita sebelumnya. Kali ini aku menggunakan sudut pandang diriku sendiri ketimbang aku harus menuliskan nama Kala setiap aku menyebut diriku sendiri. Karena mulai saat bagian terakhir di kisah yang lalu, aku mulai sedikit mengetahui apa yang terjadi di luar perjalananku saat itu, bahkan sampai sekarang, karena di masa itu konflik mulai terlihat dan segala kabar dirahasiakan.

Kusambung dari saat terakhir aku berpisah dengan Cassandra, di mana aku telah diberikannya ilmu Pencak Silat serta pakaian ajaib. Mengenai Cassandra, aku hanya tahu sedikit mengenai dirinya. Namanya saja sudah aneh bagiku. Bahkan sampai sekarang pun tidak kuketahui siapa dia sebenarnya. Nama yang sering digunakan peradaban dataran paling utara. Mungkinkah diriku berpindah tempat sampai ke dataran utara? Itu menjadi pertanyaan besar bahkan saat aku menulis ini. Sila dinikmati kisahnya, dan jikalau tidak menikmatinya, aku mohon maaf karena tugasku sungguh bukan untuk menghibur orang.

***

Aku mendapati diriku tengah tertidur di atas kasur yang empuk. Kepalaku terasa sedikit pening. Apa yang terakhir kali aku ingat adalah diriku berpisah dengan Cassandra, perempuan memberiku ilmu Pencak Silat. Dan ingatan yang lebih lama lagi adalah diriku bertarung dengan tabib yang kesetanan setelah melihat Keris Garuda Puspa milik guruku yang berharga.

Setahuku, aku terluka berat dan tak sadarkan diri sebab lawan yang kulawan bukanlah seniman tandinganku. Tetapi semangat untuk melindungi Kaia yang terbaring sakit membuatku bisa memenangkan pertarungan, tentu ada harga yang harus dibayar.

Aku merasa tubuhku yang awalnya penuh luka kini dibebat. Namun, dari balik bebat itu tidak kurasakan luka sedikitpun. Tidak butuh pintar untuk menebak bagaimana ini dapat terjadi, Cassandra sepertinya telah menghadiahkan kesehatan padaku.

Di sampingku adalah Kaia. Kepalanya dibaringkan ke atas kasur kasur, sedangkan badannya terduduk di bawah kasur. Mata Kaia terpejam, napasnya damai. Tanda dirinya tertidur. Aku senang melihat Kaia sudah pulih, jauh lebih senang mengetahui hal ini ketimbang mengetahui bahwa diriku berhasil selamat dari maut.

Has llegado al final de las partes publicadas.

⏰ Última actualización: Sep 16, 2021 ⏰

¡Añade esta historia a tu biblioteca para recibir notificaciones sobre nuevas partes!

Seni Bela Diri Sejati : Perang JawaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora