Empat belas

3.6K 431 3
                                    

Haidan membuka pintu rumahnya dengan brutal, motor Hanan sudah terparkir di depan, yang artinya Hanan sudah pulang. Ia langsung naik menuju lantai atas, tanpa aba-aba Haidan langsung membuka pintu kamar Hanan.

Terlihat Hanan sedang duduk diatas kasurnya seketika menoleh, ia sedikit terkejut dengan bunyi bantingan pintu kamarnya.

“Dan, ketuk pintu dulu bisa, 'kan?” ketus Hanan sembari memegang dadanya yang sedikit berdenyut nyeri karena terkejut.

Haidan mengabaikan ucapan Hanan, ia langsung menghampiri Hanan. “Kenapa lo bisa kenal sama Tirta?” tanya Haidan to the point.

“Gue gak kenal sama Tirta, gue juga gak tau kenapa tiba-tiba dia whatsapp gue buat minta ketemu.” jelas Hanan.

Haidan mengacak rambutnya frustasi. “Ck, dia dapat informasi darimana, sih?!”

“Dan, soal omongan Tirta—

“Itu gak bener, dia cuma salah paham.” jawan Haidan cepat.

“Jelasin, Dan.”

Haidan menghela napas. “Dulu, gue pernah balapan sama temennya Tirta, terus dia kecelakaan sampai meninggal.” lirih Haidan.

Hanan hanya diam menatap Haidan, memberi kode kepada Haidan untuk melanjutkan ceritanya.

“Tirta pikir gue yang nyelakain dia, dia nuduh gue sengaja bikin dia celaka, padahal gak, Nan. Justru temen dia yang berniat nyelakain gue pas di arena, mereka yang pengin gue mati.”

“Waktu itu, kita lagi ngebut-ngebutnya, dia berniat nyelakain gue, tapi malah motor dia yang oleng dan berakhir dengan dia yang jatuh sampe keseret beberapa meter dari sana. Bahkan gue turun buat nolongin dia, tapi dia meninggal, di depan gue."

Hanan melihat tangan Haidan mulai bergetar.

“Tirta dateng, dan langsung nuduh gue yang udah nyelakain temennya. Padahal bukan gue, Nan, bukan gue!”

“Bahkan polisi udah nyelidikin semua itu, dan itu murni kecelakaan tunggal, Nan. Tapi, semenjak itu Tirta selalu cari masalah sama gue dan juga temen-temen gue yang lain, dia cuma pengin balas dendam sama gue.”

“Bahkan sekarang dia udah berani nyari informasi tentang lo. Gue minta lo jangan pernah sekalipun berhubungan sama dia, itu semua biar jadi urusan gue,”

Haidan terlihat gusar, ia hanya takut Tirta akan menggunakan Hanan sebagai ancaman untuk balas dendam dengan dirinya. Ia takut jika Tirta berani menyentuh Hanan.

“Haidan tenang! Oke gue percaya sama lo, bukan lo pelakunya.”

Hanan memegang kedua pundak Haidan, berusaha menenangkan anak itu. Hanan ingat bagaimana ketika Haidan terkena serangan panik saat ia di rawat beberapa waktu yang lalu, sekarang Hanan tahu, ketakutan apa yang membuat Haidan seperti ini.

“Lo percaya, 'kan, gue bukan pembunuh, Nan!”

“Gue percaya sama lo.” jawab Hanan.

“Lo gak bakal datang ke arena, 'kan?” tanya Hanan menatap tajam kearah sang kembaran.

“Gue bakal dateng, gue udah terlanjur setuju, lagian gue mau buktiin kalau gue emang gak salah. Biar temen-temen gue yang lain juga gak diganggu terus sama geng mereka.”

“Dan, gak usah dateng ya? Gue takut kalau Tirta bakal ngelakuin sesuatu sama lo,”

“Gak bakal, gue udah berkali-kali balapan sama dia, gue selalu menang.”

“Kali ini apa perjanjiannya?”

“Kalau gue menang, mereka gak bakal gangguin temen-temen gue lagi.”

Lost | Jeno Haechan✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang