[7] Roses & Old Lover

539 58 8
                                    

Cahaya mentari pagi memaksa masuk melalui tirai jendela yang masih tertutup. Willona meregangkan otot-ototnya sebelum membuka mata dan bersiap menjalani aktivitas. Memandangi cahaya mentari di ujung kamarnya, pikirannya kembali sejak pertama ia datang ke tempat ini.

Hari ini, tepat satu bulan ia tinggal di tempat ini.

Banyak hal memenuhi pikirannya, tentang kedua orang tuanya yang tidak diketahui keberadaannya, mengapa ia bisa tinggal di tempat ini mengingat alasan yang dikatakan Ezra kemarin, kebohongan-kebohongan yang ia buat pada teman-temannya, dan apa yang harus ia lakukan selanjutnya.

Pintu kamarnya diketuk dan menampilkan pelayan yang ada di rumah ini. Ia tidak tau harus dengan apa pelayan ini disebut, ia hanya ditinggalkan dengan tanda tanya di kepalanya.

"Selamat pagi, Nona. Biar saya bantu merapikan tempat tidur dan Nona bisa siap-siap."

"Luna."

Pelayan itu menatapnya bingung. Willona tersenyum tipis dan menunjuk dirinya, memperkenalkan diri. "Nama saya Luna, Mbak?"

Akhiran tanda tanya itu membuat perempuan yang sepertinya berusia tidak jauh lebih tua darinya tertawa. Ia menunduk dan mengangguk menjawab ucapannya.

Pelayan itu kemudian mengacuhkannya dan mulai membersihkan kamar Willona yang sebenarnya tidak terlalu berantakan.

Ia menghela napasnya panjang kemudian berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Sebelumnya ia memandang pantulan dirinya di cermin, menatap dalam-dalam matanya.

Seluruh penghuni kediaman Ezra selalu meninggalkan tanda tanya pada dirinya, hingga ia sempat berpikir kalau ada yang salah dengannya. Tapi sepertinya memang itu ciri khas rumah ini sehingga Willona tidak bisa berbuat banyak selain memahaminya.

Setengah jam berlalu, Willona selesai membersihkan dirinya setelah mandi busa dengan aroma lavender yang menyerbak. Pelayan mengatakan padanya untuk menggunakan semua yang diberikan Ezra untuknya.

Cepat-cepat ia menggunakan pakaiannya untuk berangkat ke kampus. Menuruni anak tangga, mengabaikan lift yang tersedia. Ia sedikit tertegun saat di penghujung puluhan anak tangga, tatapannya berfokus pada seorang yang ada di meja makan tak jauh darinya.

Seorang itu Ezra, pria yang ia kenali sebagai penculik dirinya. Pria itu fokus menatap tab yang ada di atas meja, jemarinya menelusuri seluruh layar dan matanya bergerak lihai seolah yang ada di hadapannya adalah santapan istimewa.

Baru ia sadari kalau pria itu selalu tampil rapi bahkan di pagi hari. Ezra selalu menggunakan kemeja lengan panjang, dan saat duduk di kursi atau sofa, jas selalu ada di belakangnya. Selama ini ia tidak memperhatikan detail kecil ini, kalau Ezra tidak pernah menggunakan pakaian santai di hadapannya. Selalu setelan kemeja panjang.

Wajahnya mungkin tidak terpahat sempurna, dengan tampilan yang lembut dan tak kaku namun tidak menghilangkan aura maskulinnya. Rahangnya tidak nampak jelas, terpahat halus seperti ciri khas orang Asia Timur. Ia sendiri tidak yakin apakah Ezra orang Asia Timur asli atau campuran, karena wajahnya seperti perpaduan berbagai ras.

Satu hal lain yang baru ia perhatikan sejauh ini, Ezra tidak tampak seperti manusia. Kulitnya pucat bagaikan mayat hidup. Rambut hitamnya ia biarkan jatuh tanpa menggunakan pomade namun tetap rapi.

SAVIOR • PCYWhere stories live. Discover now