2. Si Cantik Bermata Runcing

39 9 0
                                    

Untuk tuju kemunca, majenun mesti mundur jauh ke belakang. Ke zaman asal cerita diawali.

Penting ini kisah daripada perjalanan majenun mengitari dunia, lebihlebih ke juwita yang barangkali berada dimana saja. Ini kisah mengenai seorang demigod -yang nyata adanya, hidup, dan unik.

Disini, akan aku rawikan kisah dua insan, si majenun dan juwitanya. Kisah mula yang kudu mereka lewati sebelum raih bahagia.

...

Bagi majenun, segala dari juwita adalah hal yang patut diingat. Tidak boleh lupa, tidak boleh abai.

Rupanya indah segar bagai embun pertama di fajar. Kulitnya licin, matanya kilau. Suaranya bak debur ombak yang majenun cintai.

Suci dan sakral itu asma miliknya. Tidak bisa sembarang sebut.

Kalau boleh ia catat ke jeluang emas, lapisi dengan berlian, lalu gantung dan sembah itu asma.

Indah kali, bisa sakau kalau dengar ribuan kali. Bisa buat tegang, bisa buat candu. Rasanya jua majenun sampai berkali-kali hanya dengar asmanya.

Kala pertama majenun dengar asma juwita, Carsten jejak bentala setelah berbulan-bulan arungi samudra.

Ufuk sudah petang berjam-jam yang lalu. Hujan serbu kapal milik Carsten, cemeti dewa cambuk udara. Topan tak kalah beringas jatuhkan mereka.

Buru-buru awak kapal tepikan Gold O' Wick -Nama kapal milik mereka- ke pelabuhan, tanpa aba meloncat menjejak basah. Carsten tak peduli dengan krunya yang mengacir hilang, dengan santai melenggang masuk ke bar reyot yang merintih diterpa angin.

Meski begitu, hangat dijumpai Carsten. Kurvanya menerawang gelap. Mencari celah cahaya yang mungkin hinggap dimana saja.

Ada di ujung ternyata, kebetulan mampir setelah susah payah dicari. Cahaya itu kurang ajar hinggap di gundukan besar milik juwita kala itu. Lalu pelan naik ke rupa mulusnya, yang kecil, putih dan cantik. Bak mutiara yang baru dipanen.

Majenun pikir ia berhalusinasi, atau bahkan sudah mati, karena kaget melihat dewi berdiri di hadapan ainnya, masuk ke relung hati dan otak. Lalu enggan pergi dari pikiran.

Oh Ibu Lautan, apa Engkau yakin menciptakan juwita yang indah melebihi Aphrodite ini?

Carsten sejak itu paham dia kehilangan kemampuannya berpikir. Kehilangan akal sehatnya. Kehilangan segala kendali diri karena terbuai oleh keindahan juwita.

Pelupuk matanya mengerjap cepat, kembalikan diri setelah lama menjelajah angan. Majenun temukan juwita tengah senyum manis. Lembayung tatap hitam dalam-dalam sebelum akhirnya keluar nada dari belah bibirnya.

"Ada yang bisa kubantu?" Merdu sekali. Telinga majenun bisa berubah jadi emas kalau boleh berlebihan.

Jantung melayut suara, takut-takut juwita tangkap itu. Majenun angguk kepala gugup. "Sake," katanya.

Duduk tak jauh di situ, majenun kini terang-terangan jatuhkan pandangan ke lekuk tubuh juwita ganal bajak laut berengsek lain-lain. Bikin liur tumpah ruah kala bokong juwita terpampang dalam balutan kain putih resik.

Angannya kembali bermain. Bayangkan tapak tangannya membekas merah di sisi kulit juwita, yang rupanya kepanasan berkeringat, ainnya menangis.

Jelijih diam-diam ia teguk sendiri. Majenun alihkan atensi pada benda mati lainnya.

Jari-jari halus juwita letakkan gelas kayu di depan majenun. Tak sangka letakkan piring detik berikutnya. "Untukmu," katanya. Majenun tak ambil pusing dengan itu, sedangkan juwita bisa saja anggap dirinya gembel yang tak mamah nasi berhari-hari.

"Kau, pelaut kan?" Juwita tiba-tiba angkat suara. Pecahkan hening yang lama menyelimuti. Majenun mengangguk, "iya, tepatnya aku bajak laut."

"Kau tahu, aku selalu membenci lautan." Tatapan heran majenun layangkan, "kenapa?" tapi hanya serengit yang juwita lemparkan, mengundang kebingungan lebih banyak pada diri majenun.

Jarak perlahan dihapus, diganti dengan tekanan yang melayang. "Aku memang membenci lautan, tapi tidak untuk isinya."

Juwita naik ke pangkuan sang tuan, menempelkan awak intim.

Bibir merah darah pelan-pelan maju hampiri bibir lain. Detik berikutnya sudah saling tempel, lumat ringan sambil jamah tubuh satu sama lain.

Remas, elus, barangkali sudah ada sepuluh menit mereka seperti itu.

Jembatan saliva tercipta kala jarak memberanikan diri menyela.

Majenun tenggelam dalam tatap lembayung juwita, yang pelan ubah tangan cantiknya jadi cakar panjang, siap tikam majenun. Sesekon sebelum cakar sentuh tengkuk majenun juwita berhenti kala dengar kalimat aneh.

"Cantik,"

Juwita jelas kebingungan, majenun ini hanya diam sambil tatap dia.

"Cantik," ulang majenun. Sekali lagi masih tatap juwita.

"Cantik sekali, bak lautan di subuh, bak kabut tipis yang jelajah padang rumput. Kamu, cantik sekali, dengan mata runcing itu,"




Juwita berhenti, jantungnya seakan berhenti berdetak,








Setelah sekian lamanya.

Sea Behind UsWhere stories live. Discover now