1. Jongos ketemu Jones

9 0 0
                                    

Luna menyimpan jari telunjuknya di mulut saat Intan, sahabatnya, misuh-misuh. Sembari mendorong koper dan beberapa tas ke kontrakan baru Luna, wanita yang secara ajaib diizinkan suaminya me time bersama sahabat-sahabatnya itu, menilai apa yang dilakukan Luna sungguh tidak berguna.

"Di dunia ini nggak ada sesuatu yang nggak berguna," sahut Luna sok bijak. "Bahkan upil yang nyangkut di bulu idung lo aja berguna, sekadar mengingatkan." Luna tertawa berharap Terry dan Aisha yang membantu merapikan barang-barang tertulari tawanya. Namun, tatapan mereka yang seolah menyiratkan kalimat, "Nggak salah, sih, tapi gue udah nggak ngerti lagi dengan jalan pikiran lo," itu, membuat bibir Luna kembali mengatup.

"Jujur aja. Lo cuma mau kabur, kan?" telisik Terry sambil mengusap-usap perutnya yang terisi janin berusia enam bulan. Terry yang terlihat kelelahan itu memutuskan duduk di ujung ranjang. Luna ngeri sendiri. Membayangkannya saja membuat tubuh Luna terasa berat.

"Apa salahnya, sih, kalau gue mau nyari suasana baru?" Luna mengangkat Juan, anak lelaki Aisha yang baru berusia satu tahun. Dia menempelkan hidungnya yang bangir dengan hidung si bayi yang memiliki mata cerah tanpa beban itu. Luna merasa iri. Enak sekali menjadi Juan, dia belum dibebankan dengan standar sosial A, B, C yang terus tidak berujung sampai Z. "Lagian, bukannya kalian yang selalu nyuruh gue mulai liar?" Luna menatap sahabat-sahabatnya memperingatkan.

Aisha berdecak. Dia mengambil Juan yang mulai bergerak tidak nyaman di pangkuan Luna. "Apanya yang suasana baru? Lo tetap kerja di supermarket yang sama dengan titik lokasi berbeda aja." Aisha menyembunyikan kepala Juan di balik kerudungnya. Kali ini Luna meringis, ngilu sendiri membayangkan dirinya di posisi itu.

"Terus lo mau gue jadi sekertaris presiden, gitu? Mana bisa! Emang, ya, apa yang gue lakuin itu selalu salah. Kayanya, gue idup aja salah," kata Luna berlebihan, membuat Intan langsung menoyor kepala sahabatnya itu.

"Gini, ya, Luna cantik. Yang nggak gue, Terry, Aisha, dan keluarga lo ngerti itu kenapa lo harus ngontrak segala, sih? Jarak dari rumah ke tempat kerja sekarang aja cuma dua puluh lima menit." Intan menggeleng. "Lo juga bawa motor! Otak lo kena factory reset? Buang-buang duit aja." Intan benar-benar tidak lagi mengerti jalan pikiran Luna. Padahal, sewaktu mereka sekolah, otak Luna paling bisa diandalkan.

Luna menghela napas. Dia menatap ketiga sahabatnya itu dengan melas. Mau tidak mau mereka berhenti mengomeli si anak gadis yang mencoba melarikan diri dari masalahnya itu. Terry yang sedang dalam kondisi emosi tidak stabil langsung memeluk Luna sambil beberapa kali mengelap sudut matanya. Ya, sebenarnya mereka tahu alasan Luna. Namun, tetap saja cara Luna memecahkan persoalannya itu terbilang nyeleneh. Minimal kalau dia bilang ingin hidup mandiri, ya, ke luar kota lah.

Sementara Luna merasa keputusannya ini sudah paling logis. Dia tidak pernah kepikiran untuk meninggalkan tempat kelahirannya. Dia hanya perlu menghindari orang-orang di kompleks rumahnya, bukan di seluruh kompleks kabupaten Bandung Barat. Asalkan tidak ada yang mengenali dirinya, maka Luna aman. Ya, aman dari pertanyaan kapan menikah? Atau aman dari nyinyiran perawan tua yang pemilih. Tapi, apakah Luna akan benar-benar aman dengan cara hidup baru yang dipilihnya?

***

Tyan mengunyah nasi padangnya dalam diam, mencoba mengabaikan ejekan Ale dan Tora yang menyebalkan. Dia bahkan menepis tepukan Tora di pundaknya. Rasanya begitu menyedihkan. Baru saja terjadi, dia melihat Anis, perempuan yang selama satu bulan ini dekat dengannya. Awalnya Tyan tentu saja senang melihatnya. Mereka sudah satu minggu tidak saling berkabar. Namun, melihat siapa yang bersisian dengan perempuan itu, membuat nyali Tyan langsung ciut. Anis berjalan ke kantin kantor bersama pria dari bagian divisi pemasaran dengan jari saling bertautan. Garis bawahi, jari saling bertautan.

Jomlo Ngos-Ngosan ketemu Jomlo NgenesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang