2. Jones: Tetangga Tidak Terprediksi

9 0 0
                                    

Luna melemparkan dirinya ke kasur sambil melenguh panjang. Bibirnya mengerucut di depan ponsel yang menampilkan wajah Monik, ibunya. Luna tidak habis pikir. Baru dua hari dia menempati kontrakan minimalisnya ini dan Monik sudah memintanya pulang. Sayang banget uang pesangon dari hasil kerjanya di tempat lama jika tidak digunakan dengan maksimal. Terbiasa menghitung untung rugi sebagai kasir, Luna tidak ingin dirugikan sebagai pelanggan.

"Malu Luna," sergah ibunya dengan nada jengkel. "Kalau kamu nggak ikut rangkaian acaranya, nanti dikiranya kamu iri karena sepupumu yang LEBIH MUDA nikah duluan."

Harus, ya, ibunya menekankan kata lebih muda? Luna mengusap wajah dan berjengit saat telapak tangannya kini dipenuhi minyak.

"Mama, kan, tinggal bilang kalau aku sibuk kerja. Lagian dari dulu aku nggak terbiasa ikut acara-acara begituan," gerutu Luna. "Malah aneh kalau sekarang aku tiba-tiba muncul terus."

Luna mengembungkan pipinya melihat mata Monik melotot. Dia menjangkau sisi kepala ranjang untuk menyalakan kipas angin. Gerah. Selain pikiran dan hatinya, badan Luna sebenarnya sudah berteriak minta disegarkan. Padahal, dalam perjalanan pulang, Luna sudah berencana untuk memanjakan diri dengan bodycare barunya. Namun, telepon ibunya menghambat rencana me time Luna.

Sebenarnya, Luna bisa saja mengabaikan dan berpura-pura tidak mendengar dering ponselnya. Tetapi, dia tidak ingin dicap anak durhaka. Lagi pula, Luna sadar, dia belum sepenuhnya menjadi anak berbakti.

"Pokoknya kamu harus ikut semua rangkaian acara nikah Denise. Untuk seminggu ke depan, pulang pergi harus ke rumah. Dandan yang cantik. Bang Jenni udah Mama suruh buat antar-jemput."

Kali ini Luna yang melotot. "Aku bawa motor, lho, Ma!" protesnya.

"Iya, Mama tahu. Dan Mama juga tahu kalau kamu itu lelet. Makanya jodohnya juga lelet."

Luna mencoba menahan diri untuk tidak membanting ponselnya begitu Monik mematikan sambungan video. Sabarkan aku, Ya Allah. Luna mengelus dadanya. Satu minggu ke depan dia harus bersiap menerima pertanyaan kapan menikah? Kapan menyusul? Kapan bawa calon? Dan kapan, kapan lainnya yang selalu Luna jawab kapan-kapan saja terserah dia.

Ah, telinga Luna sudah kenyang sebenarnya menerima segala macam komentar tentang statusnya ini. Bahkan komentar paling menyakitkan sekalipun sudah mampir ke telinganya. Tentang karir dan jodohnya yang tidak semulus saudara-saudara sepupunya yang lain. Luna tidak habis pikir. Memangnya orang-orang mengekspektasikan Luna berkarir apa, sih? Sekertaris yang kerja di kantor-kantor atau jadi presiden perempuan nomor dua di Indonesia? Dalam urusan jodoh pun, Luna merasa belum setua itu. Usianya bahkan belum melebihi seperempat abad.

Tidak mau terus memikirkan hal yang berpotensi membuatnya overthinking, Luna mengambil bodycare dari tasnya. Dia harus membersihkan diri dan pikirannya dari bacotan netizen. Namun, suara ketukan pintu menghentikan langkah Luna menuju kamar mandi. Perempuan yang menggelung rambutnya asal itu terdiam sejenak. Apa ibunya sudah meminta abangnya menjemput paksa Luna sekarang?

Mengentakkan kakinya kesal, Luna bersiap untuk menyemprot dan mengusir abangnya pulang. Dengan tarikan kasar, Luna membuka pintu menampilkan wajah ditekuk. Ketika dia sudah siap mengeluarkan sumpah serapah, senyum culas pria -yang ternyata bukan abangnya- itu membuat mulut Luna tertahan setengah terbuka.

"J-Jongos?" Luna mengerjap tidak percaya.

"Assalamualaykum, Jodohku!" katanya percaya diri sembari memamerkan deretan giginya yang rapi. "Kamu percaya peribahasa 'jodoh nggak kemana?' nggak?" Tanpa perlu menunggu jawaban Luna-yang memang tidak akan menjawab-dia melanjutkan, "Exactly ... Itulah kita."

Jomlo Ngos-Ngosan ketemu Jomlo NgenesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang