You Left Me Again

884 195 11
                                    

Ada sebuah pigura baru berwarna putih dengan ukuran cukup besar yang Changbin sematkan di dinding ruang keluarganya. Di pigura itu kulihat ada foto mendiang majikanku yang tengah duduk di atas rumput dan tertawa luas ke arah kamera. Wajahnya terlihat begitu sehat. Mata bulatnya, bibir ranumnya, serta hidung bangirnya membuat siapa saja yang melihat akan berdecak kagum dan memuji jika ia cantik seperti anak perempuan.

Sayangnya kini ia hanya tinggal kenangan.

"Ayolah, Chan ... jangan begini. Aku tahu kau kecewa, tapi ini adalah saat terakhirnya bertemu denganmu, dan juga begitu untukmu."

Changbin terus berusaha membujukku yang tak mau bergerak sama sekali dari sofa tempatku duduk. Aku bahkan tak menggeser barang satu inci pun. Tapi dia tetap bersikukuh mengajakku untuk pergi ke acara pemakaman ... Minho.

Aku tak mau menyebut namanya. Aku sakit hati. Aku kecewa. Ia membohongiku. Changbin membohongiku. Tuhan pun sama, membohongiku. Kenapa semuanya jahat sekali, memang apa salahku?!

Changbin berjongkok di depanku, ia menghela napas panjang; nyaris menyerah untuk membujukku. "Chan, kumohon kali ini saja, untuk yang terakhir, aku takkan meminta apa pun lagi darimu. Kumohon, temui Minho untuk yang terakhir kalinya, sebelum ia benar-benar pulang dan kau takkan melihatnya lagi."

Aku meneteskan air mata, kupandang iris teduh Changbin yang terlihat sendu dan sedikit sembab itu. "Kau tega sekali mengatakan itu padaku, apa kau tak tahu seberapa sakitnya hatiku saat ini?" Aku menggerutu, tapi anehnya ia malah terkekeh lucu.

"Kau tahu? Aku suka melihatmu mengeluarkan suara-suara konyol seperti itu. Sangat lucu, dan kupikir ini juga alasannya kenapa Minho mau merawatmu dulu," katanya.

Aku mendengus mendengarnya. "Kau ini bagaimana sih? Dulu kau bilang aku aneh, tapi sekarang malah bilang aku lucu. Tidak konsisten sekali jadi manusia. Aku jadi berpikir, apa kukutuk saja dirimu agar jadi hewan sepertiku juga?" balasku.

"Ayolah, Chan," mohonnya.

Baiklah, jika sudah begini mana bisa kutolak? Aku sungguh tak sanggup melihat wajah memelas kasihannya itu. Menggelikan sekali

"Hhhh ... baiklah, siap atau tidak, ayo kita berangkat," katanya sebelum menautkan tali pada kalung di leherku, dan mengajakku pergi.

***

Hanya menempuh perjalanan tak sampai 30 menit, kami pun tiba di rumah duka.

Aku melihatnya. Berbaring di dalam peti mati dengan menggunakan setelan tuxedo rapih. Ia juga menggenggam sebuket bunga putih di depan tubuhnya. Wajahnya diberi riasan hingga menimbulkan kesan yang cukup manis, tak pucat seperti sebelumnya. meskipun begitu kurasa percuma saja, sebab ia takkan pernah bangun lagi dari tempatnya berbaring kini. Mata cantik itu takkan pernah terbuka lagi.

Banyak pelayat yang datang, kurir pengantar bunga pun hilir mudik silih berganti. Tapi sayangnya di antara banyaknya orang tak juga kutemukan adik tirinya itu. Dia tak datang bahkan meski ini adalah terakhir kali untuk menemui kakaknya, dan aku benar-benar kecewa.

Cukup lama aku memandangi tubuh mendiang majikanku itu, sampai proses pemakaman pun akhirnya berlanjut. Aku ikut turut serta mengantarkan jenazahnya ke tempat peristirahatan terakhirnya. Aku melihat bagaimana peti berwarna putih bersih tersebut diturunkan perlahan ke dalam liang kubur sebelum ditimbun dengan tanah.

Serta merta dengan Minho di sana.

"Semoga amal ibadah mendiang selama hidup di dunia diterima, dan diberikan tempat yang layak di sisi Penciptanya," ucap seorang pelayat sembari menaburkan banyaknya kelopak bunga di atas gundukan tanah basah itu. Ia kemudian melantunkan doa, puji-pujian pada Yang Esa, sebelum pamit dan lalu pergi meninggalkan pemakaman bersama yang lainnya.

Ya. Semuanya pergi. Satu per satu mereka tinggalkan tempat ini hingga yang tersisa hanyalah aku dan Changbin saja.

"Sudah sore," katanya. Ia lantas mengulurkan tangan hendak mengajakku pulang, tapi aku justru mundur menjauhinya. "Ayo pulang, Chan," ajaknya.

Aku memandangnya sendu selama beberapa waktu, setelah itu justru lebih memilih duduk ketimbang menuruti ucapannya.

"Ayolah, Chan. Aku tahu kamu kecewa, aku juga tahu kamu ingin terus bersama dengannya. Tapi tidak begini juga," pintanya dengan sedikit memohon; berjongkok di depanku dan mengusap buluku.

"Bin, kau saja yang pulang, aku tidak mau. Kalau aku pulang nanti Minho sendirian tak ada yang menunggu, dia pasti kesepian," sahutku.

"Jangan katakan padaku kalau suara menggumam barusan itu adalah penolakanmu untuk ikut pulang denganku," terkanya.

"Memang," jawabku seketika.

"Hhhh ... Chan, Minho takkan bangun lagi. Percuma kau terus ada di sini menunggunya," cakapnya kemudian.

"Aku tahu," sahutku singkat.

"Ayo pulang," ajaknya lagi sembari menarik kalungku sedikit memaksa.

"Kubilang gak mau, ya gak mau!" Tapi aku justru menggonggong kencang padanya.

Changbin terlihat kaget, bingung, namun juga tak tahu harus bagaimana. Ia diam sesaat memandangku lalu menatap langit selama beberapa waktu.

"Baiklah, aku takkan memaksamu lagi. Aku tahu kamu bukan anjing yang akan menuruti ucapan orang lain selain majikanmu sendiri. Tapi dia sudah pergi ke tempat yang lebih baik di alam sana, dia takkan bangun lagi."

Aku tak tahu apakah kalimat itu mengartikan jika dirinya menyerah denganku, atau bagaimana. Tapi kemudian kulihat ia melepaskan pengait tali dari kalungku dan kembali berdiri.

"Kalau memang ini keputusanmu untuk tetap setia menjaganya meskipun ia sudah tiada, baiklah, aku menyerah untuk membujukmu pulang. Tapi besok aku akan datang lagi. Jadi, jangan pergi ke mana-mana, diam di sini. Kau mengerti, bukan?" ucapnya.

Baiklah, Changbin nyatanya menyerah juga untuk membujukku dan lebih memilih pergi ketimbang menemaniku di sini.

Gguk!

Aku menggonggong sekali tanda paham, dan Changbin memberiku usapan di atas pucuk kepalaku sesaat, setelahnya ia pun pamit untuk pulang.

Aku terdiam memandang punggungnya yang semakin menjauh dari tempatku ini, sebelum melirik dan menatap sendu pada nisan mendiang majikanku. Minho.

Ah ... Honey, pada akhirnya kau pergi meninggalkanku lagi, dan kali ini ke tempat yang jauh sekali, kau takkan pernah kembali. Tapi tidak denganku, Honey. Aku takkan meninggalkanmu. Aku akan terus di sini menjagamu.






















 Aku akan terus di sini menjagamu

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.
SiberiChan ✓ [Banginho] (Sudah Dibukukan)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora