Cendala

108 31 53
                                    

Niat sudah tersemat. Aku harus melangkah menyusuri jalan penuh maksiat, demi sebuah misi yang bisa saja menyeretku dalam kubangan pekat, dimana reputasi baik sebagai teladan bagi murid-muridku tak bisa kupertahankan.

Tempat ini seperti surga bagi mereka yang mengagungkan nafsu dunia. Siapa yang tidak akan tergiur saat di hadapannya tersaji hidangan, berupa kue-kue berkesumba merah dengan senyum rekah? Mereka seolah memanggil-manggil untuk segera dijamah. Sedangkan tanganku gemetar, antara harus menyentuhnya atau menelan liur yang terasa ketar.

Seorang perempuan menghampiriku dan langsung bergelayut manja laiknya kekasih yang lama tak berjumpa. Aroma tubuh palsu mereka, mungkin saja berharga sejuta dalam sekali pakai, sangat memabukkan. Aku lebih suka perempuan dengan aroma asap dapur saat menyambutku di depan pintu, seperti setiap kali dilakukan ibuku, lalu mengajakku menikmati hidangan bergizi tanpa kesumba dengan senyum bahagia.

Perempuan itu menggiringku ke ruangan luas penuh pesta berahi. Tak kulihat satu pria pun duduk sendirian. Setidaknya ada satu atau dua wanita menemani mereka, di kanan-kirinya, di pangkuannya, bahkan ada yang bertukar ludah dengan suara desah, ada yang berjalan sempoyongan saling merangkul dan memasuki bilik-bilik yang memang sudah disediakan.

Jika kau pernah mabuk dalam sebuah perjalanan dengan kepala pusing, perut mual, dan mata berkunang-kunang, sekarang aku mengalaminya, mabuk perjalanan untuk menemukan Ruhi.

"Apa ada yang antimainstrem di tempat ini?"

"Oh..., jadi kamu tidak mau menyentuhku karena lebih suka batang? Astaga, nggak sekalian suka sama monyet? Ada tuh di belakang!" jawab perempuan yang menguasai bahu kananku dengan kepalanya, senyum manisnya berubah masam, mungkin kalah pamor, lalu pergi begitu saja dari sisiku.

Belakang yang dimaksud adalah ruangan sesak dengan manusia mengantre, untuk memasuki sebuah ruang khusus. Perlu membeli tiket dengan harga mahal agar bisa berjajar di antrean itu. Aku membeli satu, kemudian kuremas saat melihat seseorang keluar dari ruang khusus, meludah sembarangan sambil memasukkan ujung sabuk ke kolong celana panjangnya. Lalu, seseorang lagi menyerobot masuk bahkan sebelum namanya selesai dipanggil.

Kursi busa yang kududuki tiba-tiba rasanya bagai aspal di bawah terik matahari, panas, membakar napas. Apalagi saat melihat muka-muka semringah penuh kepuasan -yang baru keluar ruangan- menyeringai ke arahku, seolah, aku sama bejatnya seperti mereka. Darahku ikut mendidih.

"Tegang sekali, Bung. Baru pertama kali mencicipi buntut monyet? Jangan takut, aku kasih tahu-"

"Diam!"

Andai tidak ingat Ruhi, dua kepal tanganku sudah melayang menghancurkan hidungnya yang belang itu. Bisa-bisanya ada manusia yang tabiatnya lebih rendah dari binatang. Murid-muridku saja yang benar-benar binatang, masih memiliki naluri untuk menghormati binatang lain. Salah satunya adalah Ruhi, orang utan cerdas dan tidak mau mengambil jatah makanan yang bukan miliknya, kami mengajari itu. Ada lagi Soul, kucing hutan terlatih, sekarang sedang menunggu di luar untuk membantuku.

Sebenarnya, bisa saja aku mengajak murid-murid Sekolah Hutan dari kelas hewan buas mengobrak-abrik tempat ini, untuk menyelamatkan Ruhi. Namun, yang aku takutkan adalah manusia-manusia asusila ini akan semakin brutal, bisa saja mereka melukai dan menculik murid-murid yang lain. Jika seperti itu, akan menjadi fatal. Kami kehilangan murid. Sekolah Hutan pun gagal.

"Kau tahu apa yang paling mengerikan di dunia ini?" Kutatap tajam orang di sebelahku tadi sebelum kulanjut, "Manusia!"

Kemudian aku segera bangkit karena sudah tiba giliranku. Sebelum pintu terbuka dan seseorang keluar, aku merangsek masuk dan menemukan Ruhi terkapar dengan napas memburu. Lelaki yang baru saja menaikkan celananya, menendang kaki Ruhi karena menghalangi jalannya. Aku terbelalak saking terkejutnya. Spontan kepalan tanganku mendarat di hidung belangnya. Lelaki itu misuh sambil memegangi hidung, menatapku remeh, dan menutup pintu dengan kasar.

Keadaan Ruhi begitu mengenaskan. Cairan-cairan kental bercecaran dan sebagian membercak di tubuhnya. Aroma amis menguar di ruang sempit yang sengaja didesain menyerupai kamar pengantin. Kutarik saja kelambu berenda yang menutup satu-satunya jendela, untuk membersihkan tubuh Ruhi yang kotor.

Aku tergugu. Seluruh bulu tubuhnya dicukur, hingga memperlihatkan kulit penuh memar kebiruan dan luka-luka. Di Sekolah Hutan, kami mengajari Ruhi untuk mandi, bersisir, bahkan sangat hati-hati saat memotong kuku-kukunya. Di tempat yang katanya surga dunia ini, Ruhi justru diperlakukan semena-mena.

"Ruhi, maafkan aku yang terlambat menemukanmu."

Matanya yang merah menatapku sayu. Bibirnya bergerak-gerak tak bersuara. Aku tahu, air mata yang meleleh di sudut matanya adalah sebuah kisah panjang dan pedih yang ingin ia ceritakan.

Aku tak sabar ingin membawa Ruhi pergi. Rantai pengikat tangan-kakinya harus segera dilepas, tetapi Soul belum menampakkan diri, entah ia bisa mendapatkan kunci atau tidak. Sudah kucoba mencari sesuatu, namun tak ada yang bisa digunakan membuka gembok. Selang beberapa waktu, barulah Soul mengetuk jendela dan menyerahkan kunci, lalu kuperintahkan berjaga di luar kembali.

Setelah rantai terbuka, kepanikan lain melanda. Satu-satunya jendela untuk jalan keluar ternyata tidak muat dilewati tubuh bongsor Ruhi. Sementara dari arah pintu, ketukan datang bertubi-tubi. Singkat sekali waktu yang disediakan untuk tiket semahal ini. Betapa cendala mereka yang menjadikan Ruhi sebagai objek menghimpun pundi-pundi.

Dengan berat hati, Ruhi harus terluka sekali lagi agar bisa bebas. Tubuh lemahnya dipaksa sekuat tenaga untuk mendesak keluar. Tanganku yang membantunya ikut gemetar. Sementara gedoran pintu terus menggebu, karena sengaja kukunci dari dalam.

"Oh! Ada yang tertinggal!"

Sesuatu yang keberadaannya baru kusadari tatkala kami berhasil menjauhi tempat terkutuk. Tanpa benda itu, kebebasan Ruhi akan sia-sia belaka.

Soul dan Ruhi saling tatap.

"Kamera kancing di kemejaku jatuh. Kau tahukan Soul, apa artinya itu?"*

Lereng GK, 28 September 2021

Jumlah kata: 838 Word.

Terima kasih sudah membaca 🙏😍


Cendalaजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें