Sang Ratu Tempat Sampah

38 19 30
                                    

Sungguh, tempat sampah tidak akan pernah cocok menjadi latar ceritaku! Bau busuknya, serangga sialan yang berdenging di sekeliling sampah organik, lalu kucing dekil yang menggeram saat kudekati tempat menjijikan itu. Tak hanya padaku, dia menunjukkan taring pada sesamanya. Yang malang adalah kucing yang mengeong lemah. Tubuhnya tampak seperti kerangka yang diselimuti bulu kuning. Pada kondisi itu, si kerempeng kalah pada duel maut dengan si penguasa tempat sampah. Apakah ini yang dinamakan premanisme?

Ah, padahal sebelumnya aku tak perlu menyaksikan hal begini. Aku selalu berada di rumah yang lebih pantas disebut istana. Para pembantuku rajin. Semua perabotan dibuat mengkilap. Tentu, mereka melakukannya karena takut padaku. Selalu kupastikan, pekerja tidak becus tak akan bertahan lama.

Aku menikah dengan lelaki yang sepuluh tahun lebih tua, seorang pengusaha muda yang baru terjun dalam dunia politik. Dia tampan dengan rambut klimis dan jas mahal. Saat berbicara, dia terlihat cerdas dan berwibawa. Tatapannya menghipnotis orang, termasuk aku. Entah apa yang dipikirkannya saat menerima tawaran menikahi gadis yang belum tamat SMA. Aku memang cantik, lelaki satu desa mengakuinya. Akibat bergaul dengan biduan di sana, aku jadi bisa berdandan. Katanya, wajahku yang dipoles terlihat lebih dewasa. Terlihat 3-5 tahun lebih tua. Barangkali, itulah yang membuatnya tidak merisaukan adanya isu pernikahan dini dalam kehidupan politiknya. Masalah KTP? Gampang! Dia kan orang berpengaruh. Tinggal sodorkan beberapa lembar pada pegawai capil, tahun lahirku pun berganti lima tahun lebih awal.

Pernikahan ini tak lepasnya dari peran ibu kami. Ibuku dan ibunya adalah kawan lama. Dipertemukan kembali di satu masa. Ibuku punya anak perempuan empat dan nasibnya miskin melarat. Sementara ibunya adalah janda dan hanya punya anak lelaki yang amat kaya. Ibuku yang licik mendapati peluang untuk menaikkan strata sosial. Ibunya yang lugu menyetejui ide perjodohan itu. Aku tak pernah lupa bagaimana Ibu membuangku di hari pernikahan. Katanya, "Kamu bakalan hidup enak, tak susah lagi. Wajar kalau nantinya kamu betah di rumah mewah. Tak apa bila tak pulang ke desa. Tapi, jangan lupakan jasa orang yang telah mengantarkanmu ke sana. Ibu sudah membuat rekening kalau-kalau kamu memerlukannya."

Bapak dan adik-adikku sama saja. Mereka bahkan terlalu abai untuk menyiapkan kalimat perpisahan. Barangkali mereka bersyukur beban keluarga berkurang satu dan jatah nasi per orang bertambah.

Pada malam pertama, dia tidur membelakangiku. Tak melakukan apa-apa. Aku bersyukur, karena bagaimanapun, mentalku masih anak SMA. Ada hal-hal yang tak bisa kuubah dalam semalam. Hari berikutnya sama saja. Kami tak pernah benar-benar mengobrol, kecuali saat membahas cuaca. Dia memanggilku Kishika dan bukan Ruhi. Biar beda, katanya. Aku paham dia berharap banyak pada itu. Sebagai suami, dia butuh simbol yang menandakan bahwa aku adalah miliknya. Namun, alih-alih panggilan kesayangan, aku malah merasa terasingkan. Tak ada orang terdekatku yang memanggilku dengan nama belakangku.

Tahun pertama mampu kulewati karena dia menjadikanku "nyonya". Baik bisnis atau jabatan politiknya sukses besar. Dia memberiku kewenangan atas sebagian hartanya. Istana inilah yang kukendalikan penuh. Setiap kali aku kesal karena Ibu mengocehkan soal uang transferan di telepon, kuhancurkan sebuah perabotan, menyalahkan seorang pembantu atas perbuatanku. Suamiku protes, aku terlalu sering mengganti pembantu. Namun, dia menyerah sendiri entah karena kuabaikan atau karena aku yang makin memesona setiap hari. Tentu saja, uangnya kupakai untuk mempercantik diri. Makanya, kulitku yang mulus dan dibalut pakaian mahal tak cocok berada di belakang restoran remang, kan?

Tahun kedua, setelah saling mengenal, rasa cinta tumbuh. Bagiku, itulah hari-hari terbaik. Waktu aku menungguinya pulang kerja benar-benar mengiris hati, tapi ketika dia datang walau bau keringat, aku memeluknya erat. Berkatnya, aku tak memusingkan telepon dari Ibu. Dia obat dari segala obat. Aku benar-benar di mabuk cinta!

Namun, kesenangan itu hanya bertahan enam bulan. Kecupan mesra dia ganti dengan tamparan, belaian manja dia ganti dengan pukulan—aku pasrah saja, takut semua kemewahan ini dia ambil. Malah ibu mertuaku yang memberi penjelasan, katanya ada masalah serius di dalam pekerjaannya. Dia stres. Pelampiasannya jatuh padaku.

Aku muak dan hendak minggat. Tak apa, aku sempat mencuri uang dan emas-emasnya. Namun, aku ketahuan. Kukira dia akan marah, tetapi tidak. Dia memohon-mohon sambil menangis. Dia mengulangi penjelasan ibunya. Aku diminta untuk mendukungnya. Sayang, hatiku sudah mati. Sejak itu, hubungan kami lebih buruk dari tahun pertama.

Selang beberapa minggu, ATM-ku di blokir. Istanaku disita. Dia dipenjara. Aku sempat diperiksa dan ditanyai banyak hal. Intinya mereka ingin tahu bagaimana caraku menghabiskan duit dan apakah aku mencurigainya melakukan tindakkan pidana. Hei, kau pasti tahu, sejak awal aku dungu. Otakku tak memusingkan soal asal-usul uang yang dia punya. Yang penting perutku kenyang dan keinginanku terpenuhi.

Ibu mertuaku ikut ditahan, karena terlibat. Hakim menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara pada suamiku dan 4 tahun penjara pada ibunya. Aku jadi tak memiliki tempat tujuan. Pulang ke desa tak menjadi pilihan, aku sudah dibuang. Untunglah, aku sempat membawa jam tangan mertuaku yang bersih dari uang korupsi. Aku hidup darinya. Hasil penjualannya lumayan. Aku bisa menginap di hotel dan berfoya-foya. Hanya sebelas hari, uangku ludes. Masa sewa kamar habis.

Di saat terdesak, aku mengingat si biduan. Saat kudatangi, dia tampak bersiap keluar. Mau nyanyi keluar katanya. Dia membolehkanku tinggal, hanya saja tak ada makanan di sana. Selama seminggu aku hanya minum air. Boro-boro mencari pekerjaan, tubuhku lesu dan mengecil, penglihatan pun jadi tidak normal. Pernah kudapati suamiku babak belur dan memberiku banyak uang. Aku juga melihat Ibu datang mengantarkan makanan. Hingga aku tahu, itulah yang disebut halusinasi.

Tanpa sadar, instingku membimbingku ke belakang restoran. Bergelut dengan kucing preman demi sesuap nasi. Akhirnya, dia mati terlindas truk—aku melemparnya ke jalan. Di titik ini, aku salah karena mengira telah menang. Sesaat setelah itu, tubuhku ambruk. Kehabisan tenaga.

Belum semenit aku jadi pembunuh, kematian datang menyusulku. Karma instan.

Eong!

Sesuatu menjilati pipiku. Bulu-bulunya menggelitiki hidung. Si kucing kerempeng?

Dia menyundulkan sepotong daging padaku. Daging yang tampak kotor dan tidak layak konsumsi, sudah ada bekas gigitan dan cakarannya. Aku terpaku. Dia menyuruhku memakannya? Tapi, aku (mantan) orang kaya, tak mungkin memakan makanan bekas kucing. Namun, tangan dan mulutku lain. Mereka langsung menyerobot dan mengunyahnya.

Ternyata, rasanya tak seburuk yang kubayangkan. Agak kosong, tetapi lidahku mampu mentoleransinya. Perutku seperti mendapatkan euforianya setelah seminggu tak kuberi jatah. Tenagaku berangsur-angsur pulih. Kulirik si kerempeng, ah, si penyelamat yang tengah menggosok-gosokkan kepalanya padaku.

"Kau... mau dipanggil Soul?"

Tertanda

ChiciUzm

29 September 2021

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 29, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Sang Ratu Tempat SampahWhere stories live. Discover now