MELODI : Sebuah Denting Penantian

20 13 13
                                    

Selasar dan lorong-lorong ramai dengan orang berlalu-lalang. Ubin yang berbaris rapi seakan rela diinjak oleh mereka dari pagi hingga pagi. Menyaksikan wajah-wajah bahagia, sedih, takut, dan putus asa adalah kesehariannya. Matahari yang sudah sepenuhnya menyembunyikan wajah membuah angin dingin perlahan berembus. Menyapu seluruh area rumah sakit yang mulai diterangi oleh lampu-lampu besar.

Makin larut, aku lupa sudah berapa jam berkeliling mengecek perkembangan pasien. Tiba di pasien terakhir yang harus kuperiksa. Ruang VIP dengan pintu bertuliskan angka 207 terbuka, aku mengetuknya perlahan. Memastikan kondisi di dalam baik-baik saja.

"Halo, Bibi, bagaimana perasaan bibi hari ini?"

Wanita yang hampir menyentuh kepala enam itu tersenyum. "Dokter, kapan aku bisa pulang?"

"Kalau bibi mau menghabiskan makanan setiap jam makan, pasti akan segera pulang."

Dari balik pintu toilet, muncul seorang pria, tersenyum padaku. "Dokter Ruhi, bagaimana keadaan Ibu?"

"Kita akan membicarakannya nanti. Oh iya, jangan lupa menutup pintu setelah dari luar, apalagi di malam hari. Udara sangat dingin."

"Oh benar. Maaf, Dok. Aku baru saja kembali setelah mengambil makanan. Sepertinya yang kupesan terlalu banyak. Kuberikan satu untukmu." Ia menyodorkan satu kantong plastik padaku.

Sudah enam hari, pria ini menemani ibunya. Hampir enam hari itu pula kami selalu bertemu. Aku menatapnya dengan tangan tersodor padaku. Rambut hitamnya menutupi sebagian dahi, mata yang tajam, hidung lancip, bibir tipis, dan badan yang tegap. Ah, apa yang kamu pikirkan Ruhi? Kutarik jiwaku agar kembali ke kenyataan, berusaha menutupi rasa gugupku dengan menerima makanan itu. Kemudian aku keluar dan diikuti olehnya.

"Sean, perkembangan jantung Bibi dalam empat hari pertama cukup bagus. Dua hari terakhir, kulihat ada penurunan. Besok akan kuminta dokter kepala untuk memeriksa keadaannya."

Kulirik ia sekilas, bibir tipisnya itu berusaha tersenyum, lalu tertawa sumbang. "Aku tidak siap kehilangan dia."

Apa yang harus kulakukan selain menepuk barunya dua kali? Kata-kata semangat tak akan bekerja untuk situasi seperti ini.

"Dokter Ruhi, aku punya sesuatu untukmu. Aku memicingkan mata. Karena kita sudah sempat bertukar nomor, aku akan mengirimnya lewat chat." Ia merogoh ponsel di saku, menari-narikan jemari di permukaannya dalam beberapa detik.

Kemudian ponsel di saku jasku berdenting, sebuah pesan darinya. Sean mengirim sebuah audio, kudengarkan dengan saksama. Suara piano dengan alunan yang indah, mendayu, ada emosi yang kuat, dan perasaan yang meluap-luap. Ini musik yang indah, tetapi terhenti secara tiba-tiba.

"Ini adalah Melodi Soul, tapi aku belum menyelesaikannya. Akan kuselesaikan untukmu."

"Sungguh?"

"Tentu. Jika kamu suka, aku akan cepat menyelesaikannya untukmu."

Tiba-tiba suara derap langkah menghentikan percakapan kami. "Senior Eric? Kenapa ada di sini?" Dia adalah seniorku ketika di universitas. Di usianya yang masih muda, berhasil menjadi Dokter Spesialis Jantung di rumah sakit ternama ini.

"Mari kita makan malam!"

"T–tapi, aku masih harus—"

"Oh, kamu sudah membawa makanan rupanya." Senior Eric melirik pada Sean. Aku sudah bisa menduganya, aksi Senior dalam mengejarku masih belum berakhir.

Belum sempat aku mengatakan apapun, Sean sudah angkat bicara, "Aku akan menemani ibuku, sampai jumpa, Dokter." Kemudian dalam beberapa detik, sosoknya sudah menghilang di balik pintu.

"Kamu lebih memilih dia? Sedikit pun kamu tidak luluh terhadap semua lamaranku?"

"Senior, aku menghargaimu. Tolong jangan ribut di sini, kamu seorang Dokter Kepala, jangan—"

"Tidak masalah jika aku kehilangan posisiku, semua untukmu, Ruhi."

Bagaimana pun, menolaknya lebih awal akan sangat baik daripada memberinya harapan kosong yang menyakitkan. Aku menghela napas, "Senior, maaf aku sudah punya orang yang kusukai." Tanganku yang bergetar kusembunyikan dalam saku. Aku akan kembali untuk istirahat sebentar. Kulihat wajahnya yang kecewa.

Baru beberapa kali aku melangkah, sebuah teriakan membuat kami berdua mengalihkan pandangan. Seorang perawat keluar dari pintu ruangan 207 yang memanggil kami. Tidak, tidak akan terjadi apapun pada bibi, ia harus selamat. Aku sudah berjanji pada Sean untuk membantu bibi sembuh dari penyakitnya. Dengan kalap aku berlari menuju ruangan itu diikuti Senior Eric, ada Sean yang panik sambil memanggil nama ibunya berkali-kali. Aku mencoba menenangkan dan mengajaknya keluar dari ruangan.

"Dokter Ruhi, ibuku akan selamat, bukan?" tanyanya setelah menyeka air mata dengan kasar.

"Kami akan berusaha, Sean. Aku harus masuk dan membantu."

"Kamu sudah berjanji padaku."

Apa aku sudah memberinya harapan selama ini? Bagaimana jika aku gagal? Pikiranku mulai tidak jernih, tetapi aku mengangguk dan meninggalkannya di luar. Berjam-jam berusaha semaksimal mungkin bersama beberapa dokter hebat lain. Berjam-jam debat dengan pikiran sendiri bahwa semua akan baik-baik saja.

"Waktu kematian, 23.48 WIB," ucap Senior Eric.

Detik itu juga aku seperti tenggelam. Bibi adalah pasien pertama yang meninggal di bawah penangananku, dadaku terasa dihimpit dua dinding. Beberapa kali aku menghela napas, berpikir bagaimana caranya untuk menyampaikan kabar duka ini pada Sean. Tidak! Aku tidak mengkhianatinya. Aku sudah berusaha semaksimal mungkin. Aku sudah berusaha menyelamatkan Bibi, bukan?

Senior Sean merangkul bahuku. "Kamu sudah berusaha, setiap kematian sudah ditetapkan oleh Tuhan. Kembalilah ke ruanganmu."

Bukannya menuruti perkataannya, justru aku memberanikan diri menemui Sean. Dia duduk dengan harap-harap cemas sambil merapal doa, berharap ibunya selamat. Namun, aku tahu itu semua sia-sia. Semua sudah terjadi di luar kehendak kami semua. Aku memanggilnya pelan, "Sean, maaf, aku tidak bisa menyelamatkan Bibi."

"Jangan menakutiku, Dokter Ruhi!" ia mengharapkan jawaban lain dariku, tetapi aku hanya bungkam. "Kamu sudah berjanji padaku! Kamu tidak bisa mengingkarinya! Kalau kamu memang punya masalah denganku, katakan, jangan lakukan hal ini pada ibuku!" bentaknya.

"Jaga ucapanmu, Ruhi adalah dokter kami." Dari belakang, senior ikut membentak.

"Ruhi adalah dokter kalian atau Ruhi adalah milikmu?" tanyanya sinis.

"Anda tidak tahu seberapa keras kami berusaha, seberapa berat beban yang ditanggung oleh Ruhi sendiri. Betapa tak beradabnya Anda mengatakan itu!"

Aku menghentikan teriakan Senior yang menggema di lorong, pandanganku beralih pada Sean. "Aku tahu kamu kecewa, Sean. Tapi apakah kamu tak sedikit pun punya perasaan untukku? Katakan, apa kamu tidak pernah sedikitpun menyukaiku?"

"Tidak! Sedikit pun tidak."

Ada sesuatu yang besar menghantamku, menghancurkan hatiku hingga tak berbentuk. Kukira Sean benar-benar menyukaiku. "Lalu, Melodi Soul yang kamu tunjukkan untukku?"

"Apa itu penting, Dokter Aruhi?" Kamu sudah menghilangkan nyawa orang. Permisi. Sean mulai melangkahkan kakinya meninggalkan kami.

"Senior ... maksudku, Eric!" teriakku agar Sean mendengar, "aku menerima lamaranmu. Kita akan segera menikah. Persetan dengan Melodi Soul."

#SeptemberRAWSCeritainAja

30 September 2021

@pirdaacindy

@rawscommunity

Di bawah masih ada satu cerita lagi loh, coba diintip dulu>_<

MelodiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang