The Voice Behind The Cat

18 5 6
                                    

Aku  melihat seekor kucing persia mendekam di ujung taman, bergegas aku mendekatinya. Kepalaku celingukan mencari pemiliknya. Tidak ada. Bukankah jika dibiarkan begitu saja bisa-bisa ada orang yang mengambilnya? Kalau aku bermain bersamanya sebentar, tidak apa-apa  bukan?

    Aku menggelitik dagu kucing tersebut. Bulu yang menutupi lehernya tersingkap. Kalung? Alih-alih menemukan nama si kucing, aku justru mendapati kalung berwarna hitam mengkilat dengan 2 tombol. Apa ini?  Kucoba memencet salah satu tombol. Terdengar nada sambung.
    “Hai, senang rasanya ada yang  menghubungiku.” Terdengar suara. Aku terlompat. 
    “Siapa itu?” tanyaku ragu-ragu.
    “Namaku Soul, itu hanya code name,” jawab suara di seberang sana. Dari suaranya, kutebak dia laki-laki.
    Code name?  Aku menyeringai.
    “Namaku Ruhi, itu juga code name,” jawabku. Tiba-tiba saja aku mendapat ide untuk bermain-main dengan code name. Dan Ruhi adalah nama yang terlintas di kepalaku.
    Suara itu tertawa.“Salam kenal Ruhi.”
    Kucing itu mengeong. Dia mengosok-gosokkan kepalanya ke tanganku, aku tertawa. Tanganku merogoh saku celanaku. Karena aku suka kucing tapi mamaku tidak, jadinya aku selalu membawa camilan kucing kemana-mana. Aku merobek ujung bungkus dan memencetnya hingga makanannya keluar. Kucing itu menjilat ujungnya. Dia nampak menyukainya hingga ....
    “Mochiii!”
    Aku menoleh, terlihat seorang gadis berumur sekitar 17 tahun berlari-lari ke arahku. Saat sampai, tanpa basa-basi dia langsung merebut camilan kucing yang ada di tanganku. Matanya meneliti bungkus camilan yang kubawa.
    “Untung kamu nggak ngasih Mochi yang aneh-aneh,” katanya.   
    Mulutku melengkung ke bawah. Tentu saja, aku ini paham mana makanan kucing yang bagus mana yang tidak. Tapi aku mengerti sih. Kucing persia kan lumayan mahal, wajar saja dia khawatir bila ada anak tak dikenal memberi makan kucingnya. Gadis itu mengambil kucingnya dan tersenyum. Tanpa kata dia berbalik dan meninggalkanku sendiri. Aku bengong, tadi saat dia tersenyum gigi taringnya seperti menyembul di ujung bibirnya. Ah, paling itu hanya imajinasiku saja. Namun aku jadi penasaran, siapa sebetulnya orang dengan code name Soul? Apakah mungkin Soul itu adik gadis yang barusan? Atau kakak Soul itu anak perempuan yang barusan? Ah sudahlah. Bikin pusing dan lapar saja. Aku pulang.

  Esoknya aku kembali lagi. Kucing itu ada di sana. Aku mendekat dan menekan tombol yang ada di kalungnya. Nada sambung kembali terdengar.
    “Halo Ruhi,” sapa Soul seperti tahu itu aku yang menghubunginya.
    “Halo Soul. Yang kemarin menjemput Mochi itu siapa?” tanyaku mengabaikan kenyataan bahwa dia langsung tahu itu aku. Soul tertawa.
    “Oh itu kakakku, Chiara. Mochi ini kucing kesayangannya. Karena Mochi suka kabur-kabur, kakakku sering dibuat lelah mencarinya. Lalu  aku pun iseng meletakkan alat ini di leher Mochi.”
    Aku ber-ooh panjang.
    “Kenapa kamu menggunakan code name?” tanyaku. “Bukankah memperkenalkan diri dengan code name adalah hal yang cukup tidak wajar, bukan?”
    “Karena keren,” jawab Soul.
    Aku menelengkan kepala. Entah kenapa itu terdengar kurang meyakinkan. Walaupun bisa saja alasannya memang hanya itu.
    “Mochiii.”
    Chiara memeluk kucingnya. Sekali lagi, tanpa kata dia berbalik dan meninggalkanku. Kali ini tanpa senyum. Kalau kupikir sih itu sedikit aneh. Namun aku tidak begitu peduli. Saatnya pulang.

    Tanpa kusadari pertemuan singkat di taman itu berubah menjadi rutinitas. Dalam satu minggu aku bertemu dengan kucing itu sebanyak 3 kali. Dari interaksi tanpa tatap muka itu, aku baru tahu kalau Soul menderita penyakit xerodema pigmentosum. Penyakit kulit yang penderitanya tidak boleh terkena cahaya matahari. Akibatnya dia jarang berada di luar rumah. Aku sendiri baru tahu kalau ada penyakit semacam itu. Mungkin karena itulah dia mencari teman melalui benda yang dia pasang di leher Mochi. Ada-ada saja.
  
   Aku jadi penasaran dengan wajah dan nama asli Soul. Selama ini aku hanya melihat kakaknya berjalan pulang. Bagaimana jika besok aku mengikutinya? Tidak sopan sih, tapi aku benar-benar penasaran.

    Esoknya aku mencari kucing itu di taman. Tidak ada. Begitu juga dengan besoknya dan besoknya lagi. Begitu terus hingga tiga minggu. Apakah Mochi sekarang dikurung di dalam kandang? Atau ada sesuatu yang terjadi dengan Mochi? Seandainya saja saat terakhir bertemu, aku sempat membuntuti Chiara dan Mochi. Ah, sudahlah. Lebih baik aku pulang saja.
    “Meong ....”
    “Mochiii ...” Aku nyaris tak percaya. Aku menunduk, terlihat kucing persia berbulu putih kecoklatan itu menggosok-gosokkan kepalanya. Mataku membulat, Mochi! Aku berjongkok dan menggelitik dagunya. Eh, tunggu dulu! Kalungnya tidak ada! Apakah ini bukan Mochi? Tapi dia persis Mochi. Ataukah kalungnya dilepas?
    Hari itu aku merasa puas bermain Mochi. Tak seperti biasanya, Chiara tak kunjung juga datang. Petang menjelang. Aku harus pulang. Namun bagaimana dengan Mochi? Aku mencoba menggendongnya. Ternyata tidak begitu berat. Sekarang bagaimana ini? Kalau kubawa pulang pasti mama alerginya kumat. Aku memicingkan mata. Terlihat sesosok manusia berjalan mendekat. Apakah itu adalah kakaknya Soul? Sepertinya bukan. Karena yang ini terlihat sedikit gendut. Aku memasang kuda-kuda. Aku tidak bisa berkelahi, tapi waspada juga boleh kan?
    “Apakah kamu temannya Mochi?” tanya sosok itu yang sekarang terlihat jelas. Sepertinya dia baru berusia sekitar 25 tahun. Dia kenal Mochi?
    “Maaf Anda siapa?” tanyaku.
    “Aku pembantu di rumah keluarga Chandrawijaya. Setelah kematian Nona Chiara, berhari hari Mochi mengeong siang malam tanpa henti. Kami cukup memaklumi sikapnya. Mungkin Mochi juga merasa bersalah karena menjadi akibat kepergian Nona Chiara. Baru hari ini Mochi kembali pergi ke luar rumah. Aku yang ditugaskan mencarinya,” jawab perempuan itu.
    Apa katanya barusan? Chiara meninggal karena Mochi?
    “Apa maksud Anda Mochi menjadi akibat kematian Chiara?” tanyaku.
    “Hari itu Mochi pergi dari rumah seperti biasanya. Lalu Nona pergi mencarinya. Sepertinya saat Nona mengejar Mochi dia tertabrak sebuah truk. Setelah dirawat di rumah sakit selama beberapa hari, nyawa Nona tidak tertolong. Menurut dokter, pendarahan yang terjadi di kepala Nona cukup parah,” jawabnya dengan raut wajah yang masih tampak menyimpan duka yang dalam.
    Aku menyerahkan Mochi kepadanya.
    “Saya turut berduka cita tentang Chiara. Dan ya, sepertinya Mochi sudah menganggapku sebagai temannya,” kataku. Aku berbalik dan hendak melangkah pulang. Namun tanganku ditahan. Aku menoleh. Ia menyodorkan secarik kertas.
    “Ini alamat rumah keluarga Chandrawijaya. Kamu bisa datang kapan saja untuk bermain dengan Mochi. Tuan muda Avandra juga pasti senang mendapat teman baru. Sampai jumpa.”
    Aku terpaku. “Avandra?  Jadi nama sebenarnya Soul adalah Avandra? Baiklah Avandra Chandrawijaya. Luna Pranadipa akan membuat kejutan untukmu.



Selesai... Jadi saat mepet deadline. Fyuh.

Has llegado al final de las partes publicadas.

⏰ Última actualización: Sep 30, 2021 ⏰

¡Añade esta historia a tu biblioteca para recibir notificaciones sobre nuevas partes!

The Voice Behind The CatDonde viven las historias. Descúbrelo ahora