19.2 Gilang's POV

6.8K 492 6
                                    

"Dan lo! Gilang! Lo juga jangan pasang muka so suci! Lo juga sama bejat nya sama ini cewe! Gue gak habis pikir sama kalian, malu maluin, mencemari nama kelas ini!" semprot Rangga saat aku dan kawan kawan memasuki kelas.

Salah gue apa?

"Lo jangan asal ngomong dong ya! Apa maksud lo?" semprotku yang akhirnya sadar ada Tifah di situ. Yang kemungkinan abis disemprot juga sama Rangga.

"Halah, jangan pura pura gatau gitu lo!"

"Ini ada apa?" Bentak Pak Heidi, kepala sekolah. Lah? Pak Heidi?

"Dan kalian, Latifah dengan Gilang ikut saya ke kantor, sekarang!" perintah kepala sekolah. Alhasil, dengan kebingungan dan kegendokan yang berada di otakku aku pun mengikuti Pak Heidi.

"Kalian anak muda macam apa sih?" bentaknya ketika aku dan Tifah duduk di depan meja beliau. Tifah pun mengangkat tangan dan pak Heidi mengizinkan dia untuk berbicara.

"Maaf pak sebelumnya, tapi apa yang telah saya perbuat?" ucapnya, Pak Heidi pun tampak bingung. Entahlah, dia seperti sangat kaget, bingung, marah, kesal, dll.

"Apa maksud kamu?" tanya Pak Heidi dan dia seperti... melunak. Tidak ada bentakan yang tadi Pak Heidi lontarkan.

"Entah kau yang pintar menyembunyikan ekspresi mu, atau memang kalian sedang tidak sedang berbohong, tapi saya ingin bertanya, apa maksud dari gambar ini, dan gambar yang beredar di mading? Jawab saya!" bentaknya lagi dan melempar sejumlah foto.

Foto aku dan Tifah, yang sebenernya terjadi dalam Foto itu ialah aku yang membisikan itu ke Tifah dan ya entah mengapa jadi seperti itu.

Terlihat seperti aku yang sedang menciumnya.

"Pak, ini bukan yang sebenarnya terjadi," ucapku dan Pak Heidi berdeham.

"Jelaskan!"

Akupun menjelaskan semua dengan detail. Tapi aku tidak menceritakan apa yang dibisikanku padanya. Ya iyalah, bisa dihardik kalo aku bilang itu.

Setelah aku menjelaskan semuanya, pintu ruangan ini pun diketuk dan Pak Heidi mempersilahkan masuk. Ternyata bu Jeha, ibu Pembimbing Konseling.

"Bawa kedua anak ini ke ruangan ibu, dan periksa mereka." Tegas pak Heidi dan Bu Jeha pun menyuruh kami mengikutinya. BK, seperti replika dari neraka. HA.

Akhirnya kami sampai ke ruang BK, dan kami di bawa di ruangan kosong yang cukup menyeramkan, ada satu mesin setahuku itu mesin pendeteksi kebohongan. Kata ayah, di MAN NF ini memang ada pendeteksi kebohongan.

"Jelaskan semua sekarang!" perintah Bu Jeha, dan Tifah hanya berdeham deham. Dia batuk? Ya sudahlah, aku saja yang menjelaskannya.

Aku pun menjelaskan semuanya, tapi Bu Jeha tampak kebingungan.

"Tidak ada nada kebohongan yang terdeteksi di mesin ini," ucapnya.

"Mau bersumpah demi Allah? Agar kalian menerima konsekuensi jika berdusta," tawar Bu Jeha dan kami mengangguk mantap.

"Saya bersumpah, demi Allah, kemarin  saya tidak mencium Lathifah," ucapku dan kini gilirannya.

"Saya bersumpah, demi Allah, kemarin saya tidak dicium Gilang," ucapnya dan itu mengakhiri semuanya. Bu Jeha memerintahkanku untuk keluar terlebih dahulu.

Agar tidak menyebarkan fitnah. Itu kata Bu Jeha.

Aku rasa Tifah akan semakin membenciku.

***

"Kalian kira, saya lebih bodoh dari kalian?" Ucap pak kepala sekolah, kami-seluruh siswa MAN NF- sedang dikumpulkan di lapangan upacara. Dan yang lebih memalukan, aku dan Tifah tengah berdiri di depan semua orang.

Boarding School [Editing]Where stories live. Discover now