BOCAH HINA

67 16 10
                                    

Ben menatap temannya datar. "Ada apa?"

Temannya yang juga seorang prajurit istana menjawab,"kamu dipanggil Baginda Raja ke ruangannya. Ada yang mau disampaikan."

Ben berdebar dalam hati, ia khawatir kalau kejadian di mana Teresa keluar itu ketahuan. "… baiklah," ujarnya dengan perasaan yang berdebar, seolah sedang menghadapi maut. Bagi Ben, dirinya tidak masalah jika harus menghadapi Ayah Teresa yang kejam, namun ia jauh lebih khawatir jika Teresa akan dihukum atau semacamnya.

"Ah, sial, tampaknya pikiranku melayang terlalu jauh," batin Ben.

Ben sendiri berjalan santai, lebih tepatnya sepelan mungkin agar ia tidak perlu sampai dengan cepat ke ruangan kebesaran sang Raja. Pikirannya dipenuhi oleh berbagai kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi, dan sialnya, sekeras apapun Ben berusaha menepis pikiran itu, pikiran buruk itu tetap muncul seenaknya, seolah dengan sengaja menghantui Ben.

Pria itu akhirnya sampai di ruangan tempat sang Raja berada, dia dengan perlahan membuka pintu itu, kemudian menatap punggung sang Raja yang membelakanginya. Si Baginda itu memutar pandangannya dan menatap Ben dengan tatapan dingin.

"Ben, kau terlambat hampir setengah jam, apa ada yang menghalangimu tadi?"

Ben menelan liurnya dengan susah payah, kemudian menggeleng.

Sang Raja menetak-netakkan jarinya di atas meja sembari menatap Ben dengan tatapan aneh. "Ben, apa menurutmu akhir-akhir ini Teresa ada keluar dari kamarnya?"

'Sial!' batin Ben, pria itu sudah menduga akan ada pertanyaan semacam ini yang keluar dari mulutnya. Ben terdiam sejenak, memikirkan jawaban apa yang akan ia keluarkan. "Ekhhm, tidak, Tuan," jawab Ben, berusaha percaya diri walau sebenarnya ia dipenuhi dengan keraguan ketika menjawabnya.

"Kau yakin?" tanya si Baginda dingin.

Ben menghela napas, kemudian mengangguk. "Ya, Tuan, saya yakin!"

"Baiklah, aku percaya padamu, Ben. Aku tahu kau takkan mengkhianatiku." Raja  menghela napas. "Aku harus pergi selama setidaknya satu bulan ke luar untuk berkunjung ke negeri lain, aku ada urusan penting, lalu aku ingin memerintahkanmu melakukan satu-dua hal."

"Saya siap menerima perintah anda apapun itu, Tuan," sahut Ben penuh keyakinan.

Si Raja tersenyum tipis. "Bagus," ujarnya, lalu melanjutkan. "Aku mau kau menjaga Teresa, tentunya juga tidak boleh membiarkannya keluar kamar, dan tidak hanya itu, kau harus menemaninya kontrol ke tabib."

Ben kembali menghela napas. Perintah yang sama, lagi. "Baiklah, Tuan, akan saya kerjakan."

"Bagus," sahut Raja. "Itu saja."

"Baik Tuan."

Ben pun beranjak keluar dari ruangan yang memiliki aura mencekam itu, dalam hati, Ben bersorak bahagia karena kebohongannya tidak terbukti. Ia segera pergi menuju kamar Teresa, untuk menemaninya selama sang Ayah pergi.

"Tuan Putri!"

"Apa?" tanya Teresa yang membuka pintu cepat-cepat.

"Ayahanda pergi."

"Sungguh?"

"Ya, sebagai gantinya aku disuruh untuk menjagamu dan mengantarmu rutin ke tabib."

***

Beberapa hari setelah kepergian sang Ayah, tibalah waktunya Teresa untuk pergi mengontrol penyakitnya kepada tabib kerajaan. Sepanjang perjalanan, Terasa hanya diam, abai sepenuhnya kepada Ben karena ia terfokus pada buku yang ia pegang.

FORGOTTEN VALLHALLAWhere stories live. Discover now