BAB 3

70 46 255
                                    

Duduk menunggu di tengah pasar sungguh bukan hal yang menyenangkan. Seperti orang dungu. Memperhatikan proses tawar menawar, yang kadang memberi atau menawar harga tak masuk akal.

Ketika Ayudina mulai jemu, ia memutuskan untuk melangkah tanpa tujuan. Menyusuri lorong-lorong pasar yang penuh bau dus, sembako, peralatan rumah tangga, kain atau baju eceran, dan keringat orang pasar.

Bagian sayur atau daging wajib ia hindari, sebab tempat-tempat itu akan lebih padat pembeli dan kotor. Menurut Ayudina, jika tak ada keperluan lebih baik menghindarinya saja.

Ada toko perhiasan. Satu-satunya yang berdiri sendiri—di daerah ini. Tempat sepi yang hampir terbengkalai. Sebuah kios kecil dengan cahaya lampu kuning yang redup.

Toko perhiasan lain kebanyakan tak terlihat di sini. Ayudina pikir titik berkumpulnya tempat toko-toko perhiasan itu ada di dekat lobi masuk gedung pasar, ternyata ada lagi.

Seorang nenek tua keturunan Tionghoa terlihat sibuk dengan kacamatanya, kemudian menyadari kedatangan Ayudina. Ia tersenyum, menyambut hangat, membuat Ayudina membalas senyumnya secara natural.

"A'i, perhiasan di sini lebih keliatan unik daripada yang di depan, ya. Aku boleh liat-liat dulu, kan?" Ayudina memuji sedikit, sembari mendekati rak kaca tembus pandang lalu memandangi gemerlapnya perhiasan yang tersusun rapi. "Sambil nunggu temanku belanja sayur, dia lama banget."

"Ah! Iya 'nci, lihat-lihat dulu saja. Sambil duduk loh, nunggu temennya pasti lama."

Ayudina menurut. Ia duduk di kursi tinggi yang telah sengaja disediakan untuk calon pembeli, setelah mengangguk dan kembali tersenyum pada si Nenek. Tanpa disuruh pun, ia memang berniat ingin meminang satu di antara perhiasan-perhiasan cantik yang dipajang.

Namun, dari antara puluhan—atau mungkin ratusan—cincin dan kalung yang terpajang, fokus Ayudina selalu jatuh pada sebuah kalung emas putih dengan liontin hitam—dikelilingi bingkai lapis emas sederhana. Terlihat minimalis. Tak ada yang spesial.

"Suka yang ini?" tanya Nenek itu tiba-tiba sambil mengambilkan sebuah kalung emas berliontin angsa dengan manik berlian, mengira Ayudina terus menatap kalung yang itu. Kelihatannya mahal, tapi ... kurang menarik.

"Emm, tolong ambilkan yang di belakangnya saja, A'i," seraya menunjuk kalung berliontin hitam tersebut. Ayudina tersenyum—kali ini senyum agak dipaksa.

Ayudina mengangkat dan membolak-balikkan kalung itu—memperhatikan apa yang membuatnya terus tertarik dengan kalung tersebut. Rasa penasaran terus berputar di kepalanya.

Tak lama setelahnya, terdengar suara cempreng Embun memanggil Ayudina dari belakangnya. "Woi. Din. Gue cariin ternyata ke sini."

"Eh, tunggu bentar, Bun. Udah kelar lo?"

"Iya, gue duluan ke mobil deh. Cepetan nyusul, ya."

Sambil menenteng kantong belanjaan yang diisi dengan macam-macam kebutuhan pokoknya—atau mungkin lebih—Embun melangkah menjauh. Ia terlihat kewalahan mengangkat beban yang cukup berat di tangannya. Tiga kantong besar yang padat, dan satu kantong kecil yang mungkin berisi obat titipan kakeknya.

Ayudina masih ragu dan menimbang-nimbang apakah ia akan membelinya atau tidak. Bukan karena harganya, tetapi karena dia masih heran dengan hatinya yang terus mendorongnya untuk membeli kalung tersebut. Apa istimewanya? Apa uniknya? Apa bagusnya? Kenapa terus ada perasaan ingin beli kalung ini?

"Aku mau beli ini aja deh, A'i. Transfer m-banking aja, bisa 'kan?"

-----

"Lalu sejak malemnya, gue terus pakai 'ni kalung. Dan mulai dari situ, gue mimpiin mereka. Yakin, lo? Gara-gara kalung?"

Dendam Dalam Mimpi (⏸)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora