Hari Pertama

29 7 3
                                    

“Yang dipermasalahkan, tidak ada satu pun siswa yang berpakaian seperti ini, Pak. Saya takut, nanti putri Bapak merasa dibedakan,” tutur seorang lelaki paruh baya—Septo Darmajaya—Kepala Yayasan SMA Darmajaya.

Ya Allah ... tolong mudahkan urusan hamba. “Insyaallah, saya siap menanggung semua risikonya, Pak,” tegas Jihan.

Umar—Abba Jihan—menoleh ke arah Jihan. Melihat kegigihan putrinya mempertahankan apa yang sudah ia putuskan sejak sebulan lalu, membuat Yusuf sangat bahagia.

“Kalau kamu memang merasa sanggup, baiklah, saya izinkan,” ujar Septo seraya memberikan beberapa surat yang harus diisi oleh murid baru.

Umar dan Jihan tersenyum lega. “Alhamdulillah. Terima kasih banyak, Pak.”

“Iya, sama-sama. Oh, iya, besok kamu bisa mulai sekolah, ya, Jihan. Besok pagi, kamu datang ke ruangan saya dulu. Nanti kamu akan diantar ke kelas.” Septo menyerahkan beberapa seragam sekolah yang memang hanya cukup untuk satu murid di ruangannya. Sisa tahun lalu, dia belum sempat memindahkan ke ruang tata usaha.

“Baik, Pak. Sekali lagi, terima kasih banyak, Pak.”

***

“Alhamdulillah. Semoga hari ini menyenangkan. Sekolah baru, teman baru, lingkungan baru. Huh, jadi nggak sabar aku.” Jihan bermonolog di depan cermin. Hari pertama sekolah di tempat baru, semangatnya sangat menggebu. “Tinggal pakai cadarnya. Bismillah, Ya Allah ... tolong bantu Jihan mempertahankan cadar ini, amin.”

Setelah selesai memakai jilbab lengkap bersama cadarnya, perempuan itu berjalan menuruni tangga menuju ruang makan.

“Assalamualaikum, Umma, Abba,” sapa Jihan seraya mencium pipi kanan Umar dan Fatimah secara bergantian.

“Waalaikumussalam, masyaallah, putri Umma cantik banget, Ba,” ucap Fatimah kagum.

Jihan tersipu. “Ih, Umma bisa aja. Jihan jadi malu, nih.”

Baik Fatimah maupun Umar, terkekeh geli melihat tingkah putri bungsunya itu. Jihan terlihat sangat anggun mengenakan cadar. Meski wajahnya tertutup, manik matanya yang berwarna biru tua itu tak bisa menutupi betapa cantiknya ciptaan Tuhan yang satu ini.

“Bang Yusuf di mana, Ma? Jihan diantar Abang, kan?” Jihan bertanya. Biasanya—Yusuf—abang kandungnya sudah lebih dulu berada di ruang makan.

“Masih di kamar. Tadi habis salat Subuh kayanya dia tidur lagi. Bangunin, gih.”

Kening Jihan mengerut. “Tumben. Nggak biasanya Abang tidur habis subuh. Semalam Abang begadang, Ma?”

Fatimah menggeleng pelan. “Ntah.” 

“Ya sudah, deh, Jihan ke atas dulu, bangunin Bang Yusuf.”

***

Tok tok tok!

“Assalamualaikum, Bang Yusuf!” Jihan berteriak. Gadis itu terus mengetuk pintu kamar abangnya. Namun, masih tak kunjung mendapat sahutan dari dalam sana.

Ceklek

“Nggak dikunci? Ah, masuk aja, deh,” ucap Jihan seraya melangkah masuk ke kamar Yusuf.

Jihan menggeleng pelan melihat Yusuf yang masih nyaman tertidur di atas kasur empuknya. “Abang, bangun! Abang! Nanti Jihan telat ke sekolah!”

“Apa sih, Dek? Abang masih ngantuk.” Akhirnya lelaki itu bersuara. Mana tahan Yusuf dengan bising yang didengar karena teriakan nyaring Jihan.

“Bang, habis salat Subuh, kan, nggak boleh tidur lagi. Rasulullah melarang hal itu, Bang. Abang lupa?” omel Jihan.

Mata Yusuf membuka separuh, sadar bahwa ucapan Jihan ada benarnya. “Astagfirullah, iya, tapi Abang ngantuk banget, Dek.”

“Makanya sana mandi, biar matanya seger. Eum ... atau mau Jihan ambil air dari kamar mandi, terus Jihan siram ke wajah Abang lagi?”

Sontak mata Yusuf membelalak sempurna. Jangan sampai Jihan melakukan hal gila itu lagi. Terakhir kali, peristiwa yang sama, Yusuf sulit dibangunkan. Jihan merasa geram hingga ia berinisiatif mengambil air satu ember, kemudian menyiramkan air itu ke wajah Yusuf. Akibatnya, Yusuf harus membenahi kamarnya yang sudah seperti terkena tsunami.

“Sana keluar, Abang mau mandi.” Yusuf bangkit dari kasur, kemudian segera menuju kamar mandi. Jihan membalikkan tubuhnya, kembali ke ruang makan.

***

Mobil Yusuf berhenti tepat di depan gerbang SMA Darmajaya. Lelaki itu menyodorkan tangannya kepada Jihan, meminta untuk disalami. “Belajar yang bener.”

“Iya-iya. Eh, Bang, tapi ...,” ucap Jihan menggantung.

“Tapi apa?”

“Jihan takut,” lirih gadis itu seraya menatap dirinya yang tertutup rapat.

Yusuf menghadap tepat di depan Jihan. Ia tersenyum tulus kepada sang adik. “Inget, Allah selalu bersama kita. Jihan nggak ngelakuin kesalahan, kan? Terus, kenapa takut? Takut dibilang aneh? Ah, mereka yang aneh. Masa, pakaian sexy yang dipakai artis yang nggak se-terkenal Sayyidati Aisyah ditiru, sedangkan pakaian Sayyidati Aisyah yang namanya tercatat dalam sejarah Islam, istrinya kekasih Allah, dan panutan bagi seluruh wanita muslim malah dihujat? Siapa yang aneh?”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 08, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dua Sisi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang