[14] Sheets of hate and regret

436 73 250
                                    

{Disarankan untuk mendengarkan lagu di mulmed untuk menemani membaca.}

"Ini semua terasa seperti keinginan yang sia-sia. Hatiku terasa terkoyak begitu menyadari bahwa aku telah menorehkan luka yang terlalu dalam pada hatimu."

🎶|Mulmed: I Will Go To You Like The First Snow by Ailee|🎶

🎶|Mulmed: I Will Go To You Like The First Snow by Ailee|🎶

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

Ada yang berganti, tapi bukan musim. Secercah harapan membawa alasan baru untuk seseorang bertahan dengan kehidupannya yang pahit dan dipenuhi pilu. Ibarat kata luka hati dibawa mati, jika tidak bisa menyembuhkan setidaknya jangan menambah parah. Biar bagaimanapun manusia harus memiliki alasan──meskipun hanya satu──untuk tetap bertahan.

Jimin masih termenung di meja makan sambil mengaduk-aduk kopi dalam cangkir yang dibuatkan oleh Jeongyeon beberapa saat lalu. Kopinya sudah dingin, dan jam di tangannya sudah bergeser dua puluh menit sejak menit pertama ia duduk di depan meja makan. Mata Jimin memejam selama beberapa detik, seiringan dengan napas yang ia tarik agak kencang tanpa beraturan.

Apakah ada yang bisa mendengar suaraku? Jimin menarik napasnya lagi, lalu menatap punggung wanita yang sedang sibuk berkutat dengan bahan-bahan dapur. Jimin pikir ia sudah tenggelam terlalu dalam, sampai ia tidak bisa merasakan semua hal manis yang berusaha Jeongyeon berikan terhadapnya. Sejak dahulu hingga kini ia tetap berada di tempat yang sama, dengan tubuh serta kepribadian yang sama, tapi mengapa keadaan terasa jauh berbeda?

Jeongyeon berbalik badan dan berjalan menuju meja makan dengan membawa dua piring makanan, satu untuknya dan satu lagi untuk sang suami. Dengan gerakan perlahan Jeongyeon melepaskan apron dari tubuhnya dan mengaitkannya pada gantungan serbet. Lalu setelahnya Jeongyeon kembali berbalik, kali ini ia duduk di kursi yang berada di seberang sang suami.

Jimin masih seperti semula, diam melamun dan mengaduk-aduk kopi yang sebenarnya sudah dingin. Jeongyeon berpikir meskipun Jimin tidak mengatakan apa pun, tapi sorot matanya mengungkapkan perasaan dingin. "Jangan mengaduk-aduk kopi seperti itu. Ayo minum." Tapi Jimin justru tersenyum kecil sambil mengangguk pelan setelah mendengar intrupsi Jeongyeon. Lalu Jimin meminum kopi tersebut, hanya setengah yang habis, setelahnya ia meletakkan kembali cangkir yang telah bersentuhan dengan bibir tebalnya di atas meja.

Kembali lagi, Jeongyeon pandangi Jimin. Sikapnya sangat mudah berubah-ubah, dan senyuman singkat yang diberikannya sebelum menenggak separuh kopi tadi menunjukkan dengan jelas bahwa masih ada yang mengganjal dalam otaknya.

Dua bulan satu minggu sudah pernikahannya dengan Jimin berjalan, setiap hari Jeongyeon dapati diri Jimin yang kosong dan kehampaan yang kian membuncah. Bahkan saat ini, saat ia memutuskan untuk berdamai, kehampaan itu tetap tidak bisa menghilang. Jeongyeon akui ia merindukan kenangan masa lalu bersama Jimin yang sangat manis, mendengarkan segala ungkapan Jimin saat masih sama-sama remaja dahulu, tapi semuanya terasa telah terhapus dan berganti menjadi lembaran-lembaran kebencian dan penyesalan.

Can You Hear Me? ✓Donde viven las historias. Descúbrelo ahora