Enam🍁

153 28 0
                                    

"Jujur saja, Wildan membutuhkan mereka sekarang, andai ada yang memijat kepalanya, andai tubuh panasnya itu ada yang memeluk."






6. Perhatian

***

Di sebuah kamar, seorang anak laki-laki tengah meringkuk di tempat tidurnya. Tadi sore tubuhnya panas, dan memiliki niat mengambil air hangat di dapur untuk mandi sore. Sangkin panasnya, anak laki-laki itu tidak jadi pergi ke dapur, berakhir hanya kegiatan ganti baju yang dia lakukan. Badannya menggigil, hidungnya sangat susah untuk bernapas. Dia ingin segera sembuh saja dari demamnya. Ini sangat menyiksa!

Wildan menyesal telah bermain hujan. Sekarang, tubuhnya terlihat semakin lemah.

Matanya melirik ke arah jendela. Langit malam yang bertabur banyaknya bintang dan satu bulan sangatlah indah. Wildan jadi teringat akan makan malamnya. Tadi, ada pesan masuk dari Abangnya--Dinar. Katanya, ada acara makan malam bersama.

Biasanya Wildan akan semangat sekali mendengar kabar itu. Bahkan dia menjadi orang pertama yang hadir di meja makan. Namun sangat berbeda sekarang. Untuk sekedar berdiri saja sangat susah. Tubuhnya pegal-pegal dan tidak bertenaga.

"Heh?"

Wildan tidak mampu menolehkan kepala ke pintu kamar. Anak laki-laki itu tidak peduli siapa yang sudah datang ke kamarnya. Berharap, orang yang datang bukanlah orang jahat.

"Kenapa gak datang? Tumben."

Wildan mengenal suara itu, suara yang tadi sore mampu membuat Wildan patuh akan perintahnya.

"Shh ... Wil-dan sa-sakit," jawab Wildan terbata-bata. Posisi tidur sama seperti diawal, meringkuk.

Dinar terdiam sebentar. Bingung akan apa yang harus dia lakukan. Dinar tidak pernah merawat orang sakit.

Tiba-tiba, Dinar teringat dengan perlakuan Ibunya saat Dinar sakit. Ibunya sangat perhatian saat itu. Menyuapinya makan, menemaninya tidur, dan memberi pelukan hangat.

Dinar ingin memanggil Ibunya untuk melakukan itu pada Wildan.  Namun dia mengurungkan niatnya. Melihat perlakuan Ibunya pada Wildan selama ini, membuat Dinar ragu. Ragu jika Ibunya berlaku kasar.

Wildan semakin mengeratkan selimut yang dia pakai. "Belum makan?" Anak itu hanya mampu mengangguk ketika ditanya Kakaknya.

***

Tidur Wildan terganggu, ketika ada sentuhan di kepala. Sejujurnya, sentuhan itu sangat nyaman. Bahkan rasanya Wildan tidak ingin memejamkan mata karena ingin menikmati sentuhan itu.

"Makan dulu, terus minum obat."

Dinar menghentikan elusan tangannya di kepala Wildan. Cowok itu membantu Wildan duduk bersandar di kepala ranjang.

"Masakan Ibu?" tanya Wildan dengan suara pelan. Dinar menggeleng. Makanan yang dia bawa bukanlah masakan Anjani, melainkan makanan yang dipesan Anjani lewat aplikasi.

Wildan menunduk. Padahal dirinya ingin memakan bubur buatan Ibunya. "Kalau begitu aku gak mau makan."

Dinar berdecak sebal. Merawat orang sakit tidaklah semenyenangkan itu. Buktinya Wildan, banyak mau dan banyak penolakan.

"Makan, atau gue biarin lo sakit dan kelaparan!" bentak Dinar. Wildan mengerutkan bibirnya. Keinginan untuk makan bubur buatan sang Ibu gagal karena Kakaknya.

Tidak ada yang bisa Wildan katakan lagi, selain tidak selera karena bubur tersebut bukan lah buatan sang Ibu, Wildan juga memang kurang  nafsu untuk memakannya. Tau lah orang sakit kalau makan apapun akan membuahkan hasil 'pahit' sekali pun itu minum.

"Dikit aja deh." Dinar sedikit tersenyum, sedikit ya enggak banyak. Sampai-sampai Wildan tidak menyadarinya.

Dinar menyaksikan acara makan Wildan, anak itu masih belum juga memakan makanannya. Bagaimana bisa makan, menyuapkan sesendok saja gemetaran gitu.

Cowok yang berstatus sebagai Kakaknya itu lantas langsung merampas semangkuk bubur yang berada di atas bantal, menyodorkan sesendok bubur kepada Wildan yang kini belum juga membuka mulut.

"Buka!"

Setelah lama Dinar menunggu sesendok bubur tersebut telah masuk ke dalam mulut Wildan, kini ia menunggu kembali Wildan untuk membuka mulutnya. Sedangkan anak itu? Ya ... dia jadi tersiksa sendiri, sangat susah untuk hanya sekedar membawa makanan itu ke dalam perut tanpa harus kembali mengeluarkannya.

"Udah Bang, minum." Dinar mengangguk, ajaib. Anak itu nurut-nurut aja tuh di suruh-suruh sama Wildan. Biasanya banyak sekali alasan, keluar dari sana, masuk sini. Itu lah, ini lah.

"Obatnya minum dulu," ucap Dinar masih dengan wajah tripleknya.

Wildan membalikan badannya memunggungi Dinar. Menarik selimut sampai sebatas leher, Dinar pergi ke dapur untuk menyimpan kembali setengah bubur itu, tunggu. Bukan setengah bubur. Tapi bubur itu masih utuh, Wildan hanya memakannya satu suap saja.

Wildan masih berharap, kedua orang tuannya menemui dirinya yang kini tengah meringkuk itu. Menanyakan keadaan, atau bahkan hanya sekedar menemani pun tidak apa-apa. Jujur saja, Wildan membutuhkan mereka sekarang, andai ada yang memijat kepalanya, andai tubuh panasnya itu ada yang memeluk. Memberikan perkataan yang mampu membuat dirinya kembali bersemangat.

Perlahan, obat yang Wildan minum mulai bereaksi. Ya ... mengantuk, Wildan sudah setengah memasuki alam mimpinya. Membiarkan denyutan yang menganggu istirahatnya.

"Pe-peluk."

Dinar, anak itu masih penasaran dengan keadaan sang Adik. Dia masih memiliki jiwa kemanusiaan tentunya, lampu kamar Wildan masih terang. Perlahan Dinar mendekat. Menempelkan punggung tangannya di dahi putih milik Wildan.

Panas. Itu yang Dinar rasakan, beberapa kali ia mendengar racauan Wildan. Sedikit iba, Dinar duduk menunggu Wildan benar-benar tidur. Kantuk mulai menyerang, bagaimana tidak. Dinar sudah ada setengah jam duduk anteng hanya memandang Wildan dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.

Argh, sudahlah. Dinar sudah benar-benar mengantuk. Malas sekali hanya sekedar berjalan ke kamarnya yang terletak di sebelah kamar Wildan, kamar yang tengah ia tempati sekarang. Tanpa menunggu lama lagi, Dinar merebahkan tubuhnya di sisi Wildan. Ini momen yang sudah Dinar lewatkan sejak dulu. Padahal dulu ia sering sekali tidur menemani sang Adik.

***
Tenggorokan Wildan terasa begitu kering. Ia bangun sedikit berbatuk, tunggu. Wildan melihat sang Kakak, beberapa kali matanya berkedip-kedip. Apakah ini halusinasi atau ... real?

Wildan menyentuh tangan Dinar, sehingga membuat sang empu menggeliat dan perlahan membuka mata. Wildan bersender, berharap Dinar mengerti dan bertanya apa yang diinginkan Wildan.

"Mau apa?"

Yes! Wildan bersorak gembira dalam hatinya, jika saja ia sedang tidak sakit. Mungkin Wildan sudah meloncat-loncat diatas kasur, atau mungkin ... ia pergi ke masjid dan berebut mic hanya untuk memberikan kabar ini kepada orang-orang. Gila, pikirannya gitu.

"Minum."

***

Aa' The Best  (Bukan BxB!)✔ Where stories live. Discover now