SATU

15.9K 1.3K 89
                                        

“Here’s to the one that we got
Cheers to the wish you were here but you’re not
Cause the drinks bring back all the memories
Of everything we’ve been through....” 🎶

Lantunan lirik dari Maroon 5 itu jadi lagu pembuka show gue malam ini. Gue melantunkan tiap lirik dan nada diiringi petikan gitar gue sendiri, sementara orang-orang di depan gue sibuk sama makanan mereka masing-masing.

Impian gue dulu, bisa tampil di depan orang. Bawain lagu gue sendiri, dari satu show gede ke show gede lainnya, sementara yang nonton fokus ke gue, teriak nama gue, lengkap sama led board bertuliskan nama gue, dan poster gede muka gue di mana-mana.

Kenyataannya, gue cuma penyanyi nggak bernama di salah satu kafe kecil, yang cuma nyanyi bawain lagu orang seminggu dua kali, buat menghibur pengunjung yang nggak  semuanya merhatiin penampilan gue. Kadang ada satu dua pengunjung cewek yang melihat ke sudut tempat gue tampil. Tapi gue nggak tahu mereka beneran menikmati lagu yang gue bawain, atau cuma menatap muka gue.

Gue menyelesaikan lagu itu dengan mulus. Terdengar samar suara tepuk tangan kecil, membuat gue menoleh ke sumber suara. Sosok perempuan dengan wajah bulat dan potongan rambut sebahu, tersenyum lebar ke arah gue sambil bertepuk tangan, kelihatan nggak peduli sama pandangan orang-orang di meja sekitarnya.

Gue balas tersenyum kecil, lalu mulai melantunkan lagu kedua. Kali ini gue fokus ke perempuan itu, karena cuma dia juga di ruangan ini yang mengapresiasi penampilan gue. Mulutnya ikut bergerak menyanyikan lagu yang gue bawain, tanpa suara, cuma gerakan bibir, sementara badannya bergoyang ke kanan dan ke kiri, mengikuti irama lagu.

Sekali tampil, belasan lagu gue bawain secara live selama dua jam. Kalau lagi beruntung, lagu yang gue bawain lebih sedikit karena kadang ada pengunjung yang pengin karaoke sendiri, dan gue tetap cuma tampil dua jam. Tapi hari ini kayaknya bukan hari keberuntungan gue.

Begitu jam kerja gue selesai, gue basa-basi pamit ke penonton, yang masih nggak terlalu peduliin kehadiran gue di sana, lalu turun dari panggung. Hal pertama yang pengin banget gue lakuin, menghampiri gadis manis yang dari tadi fokus menikmati penampilan gue. Tapi gue memaksa diri ke area belakang kafe buat ngambil bayaran.

“Lo nggak pengin ikut audisi pencarian bakat gitu? Suara lo bagus loh.”

Gue cuma tersenyum kecil mendengar pujian manager kafe, sementara dia menyiapkan bayaran gue. Begitu dia menyerahkan amplop berisi penghasilan gue hari itu, gue pamit.

Gadis manis itu masih nunggu gue di mejanya. Senyumnya bertambah lebar saat melihat gue mendekat.

“Udah makan?” tanya gue, seraya melirik mejanya sekilas. Cuma ada gelas berisi minuman yang tinggal setengah.

“Udah tadi di kantor,” jawabnya.

“Jadi, langsung pulang?”

Dia mengangguk semangat.

Gue menggandengnya berdiri, mengajaknya keluar dari kafe, menuju tempat parkir khusus pegawai. Gue memasangkan helmnya, sebelum naik ke motor gue dan menyalakan mesin. Gadis itu naik ke boncengan, langsung melingkarkan tangannya di pinggang gue. Gue merasakan pipinya menempel di punggung gue.

“Kamu wangi banget.”

Gue masih sempat dengar kalimat itu sebelum bunyi mesin motor meraung. Gue menepuk pelan tangannya yang mendarat tepat di perut gue, lalu menjalankan motor meninggalkan tempat itu.

Baru pukul sebelas. Malam masih panjang.

*~*

“Kantorku lagi ada open reqruitment.”

Gerakan tangan gue mengusap rambut gadis yang sekarang sudah berbaring di lengan gue, terhenti. Gadis itu menegakkan tubuhnya, ganti bersandar di head board ranjang, menarik selimut menutupi dadanya.

EqualWhere stories live. Discover now