Part 30 || Salah Paham

24 8 12
                                    

"Sapuan hangat tangan sang ayah mengembalikan rinduku yang sudah lama tak berjumpa."

~Arvandero Gerry Adelio~

Gerry memegang hangat tangan Leo, mencium, lalu mengeluskannya ke pipi. Bukan tak acuh lagi, melainkan Gerry pikir sang ayah dijaga baik oleh Zea. Namun, Zea malah tinggal di apartemen miliknya tanpa memberitahu Gerry bahwa sang ayah sendiri.

"Ayah, Gerry rindu," gumam Gerry yang masih mengelus pipinya dengan tangan Leo.

"Ayah kenapa?" Mata Gerry berbinar, hatinya berat saat melihat sang ayah yang kini terbaring lemah di kasur.

Leo menangis. Mulutnya dibuka sembari digerakkan seolah sedang berbicara. Hal itu membuat Gerry ikut tenggelam dalam kesedihan. Gerry tidak bisa mendengarnya, hatinya kacau, terlebih melihat ayahnya yang sudah deras mengeluarkan air mata.

"Ayah nggak boleh nangis, ayah yang kuat, ya. Ayah pasti sembuh," kata Gerry menyemangati sambil mengusap air mata Leo. Jika tidak di hadapan Leo, sudah dipastikan Gerry akan menangis terisak-isak.

"Ayah nggak usah pikirin Gerry atau Kak Zea, kita udah dewasa ... bisa jaga diri baik-baik. Ayah jangan khawatir, ya. Ayah harus fokus ke kesembuhan ayah. Ayah harus sehat biar bisa lihat Kak Zea nikah, ayah harus gendong cucu dulu. Ayah janji ,ya. Ayah nggak boleh ninggalin kita," kata Gerry sembari tersenyum paksa. Menguatkan hatinya agar tidak runtuh, dan terlihat seolah dirinya baik-baik saja.

Leo mengangguk pelan, juga tersenyum paksa yang masih dalam keadaan menangis.

"Maafin Gerry yang jarang temui ayah," lirih Gerry yang menyesal dengan kesibukannya.

"Gerry sebentar lagi wisuda, ayah harus hadir, ya." Gerry mengelus rambut Leo yang masih hitam itu, walau sudah berumur sekalipun.

***

Malven mematikan televisi padahal sedang ditonton oleh Meisha. Jelas saja dia marah dan mengamuk sampai melemparkan bantal tepat ke kepala Malven.

"Lo jahil banget. ALVIN!" Meisha berteriak keras saat bantal yang dia lemparkan itu dilempar kembali oleh Malven yang mengenai wajahnya.

"Diem lo!" seru Malven.

"Eh, eh, eh, lo mau ke mana?" tanya Meisha yang memindai Malven dari bawah sampai atas.

"Kencan sama cewek gue, lo diem aja di sini," jawab Malven sambil membenarkan jam tangannya.

"Nggak bisa! Gue ikut." Meisha mendekati Malven lalu memegang erat lengannya.

"Lepasin ah! Nanti baju gue kusut," ucap Malven yang mengenakan baju lengan panjang. "Lo masih jelek gini mau ikut?" cibir Malven tak berdosa.

Meisha menunduk sedih, kakinya melangkah menjauhi Malven lalu duduk di sofa sambil memainkan jarinya seperti anak kecil. Sedangkan Malven tertawa dalam hati. Dia tidak benar ingin kencan, pacarnya pun tidak ada. Dia ingin mengajak Meisha dinner di kafe, tetapi tidak sah kalau tidak mengerjainya terlebih dahulu.

"Buruan siap-siap! Gue tunggu 10 menit, jangan pake make up tebel nanti banyak yang godain!" seru Malven tiba-tiba.

Meisha mendongakkan kepala tidak percaya. Dalam pikirannya ingin segera bersiap-siap, tetapi kakinya itu terasa berat melanglah karena tidak yakin.

"Masih diem?" kata Malven lagi.

Kali ini Meisha berlari cepat sambil berteriak kegirangan.

VIRULEN (END)✔️Where stories live. Discover now