Matiku Nikmat

38 14 0
                                    

Lapar, pelut melilit. Sudah biasa. Tubuh-tubuh kurus itu beramai-ramai mengangkat barang ke seberang, dipaksa membuat bangunan benteng pertahanan.

Walau benteng itu telah berdiri kokoh pun, takkan sedikit pun terasa aman. Karena keamanan itu bukan milik mereka, tanah itu bukan milik mereka.

Budi—seorang pekerja—hari ini dipanggil menghadap penguasa, hendak diberi makan katanya.

Sepanjang perjalanan, dilihatnya kiri kanan pilu. Kawan-kawan seperjuangan yang juga butuh makan, tetapi tak kunjung diberi. Mau terkapar mati mereka tidak bisa, tetapi diri mereka seolah tak berizin untuk hidup.

Sedang di antara kawanan tak berizin hidup itu, ada satu dua orang berbaju lengkap dengan senjata. Siap bertempur kapan pun komando datang, bercanda di atas kesengsaraan.

Tak jauh dari lapangan, mereka sampai ke sebuah tenda tempat orang-orang belanda.

Budi hanya menurunkan pandangan, tidak ingin membuat potensi masalah sekecil apa pun.

"Kau sangat berbakat," ucap si Orang Belanda, "aku memerhatikanmu membuat sebuah gerobak untuk mempermudah pengangkutan barang."

Budi mulai berkeringat, alisnya bertaut, tetapi kepalanya masih menunduk. "Tenanglah, aku memanggilmu bukan untuk menghukummu."

Budi terkejut, matanya sedikit lebih terbuka dari sebelumnya. Dia pun menoleh ke si Orang Belanda, seolah ingin mendengarkan lebih jauh.

"Aku ingin kau menjadi mata, telinga, serta kaki dan tanganku," kata si Orang Belanda, "kau tidak akan dihukum lagi."

Belum sempat Budi bereaksi, si Orang Belanda itu telah langsung beralih pandangan ke bawahannya.

"Hei!" teriak si Orang Belanda kepada salah satu pekerja, "Ambilkan makanan di tenda!" Pekerja itu langsung berlari ke tenda, lalu kembali beberapa saat kemudian membawa sepiring adonan tepung yang diolah sedemikian rupa.

"Duduklah," ucap si Orang Belanda. Budi pun menurut, dia duduk di kursi itu.

"Makanlah."

"Tidak. Aku tidak mau," jawab Budi.

Budi memandangi semua orang yang kini memandanginya, tatapan mereka seolah sangat serius memperhatikan.

Dia pun beranjak dari kursi, tetapi dengan cepat langsung disergap oleh para penyuruh. Dipegangi ramai-ramai.

"Makanan itu takkan bisa membuatku kenyang," ujar Budi.

"Benarkah?" Si Orang Belanda pun mendekatinya, mengambil satu buah pisang.

Dengan cepat dan tiba-tiba, si Orang Belanda langsung memasukkan makanan itu ke mulut Budi dengan paksa dan kasar. Lalu menutup mulut laki-laki itu agar tidak meludah.

"Telan!"

Budi mengeluarkan air mata, dengan segala keterpaksaan, akhirnya dia menelan makanan itu.

"Enak bukan?"

"Tidak. Aku tidak akan pernah menerima tawaranmu. Aku tidak takut dengan seorang penyuruh bodoh sepertimu."

Si Orang Belanda kesal, dia mendengus, muka memerah. Dengan cepat dia langsung bergegas mengambil pisau di tenda, lalu kembali.

Seorang Belanda itu tersenyum licik sembari melihat para pekerja yang menatapnya ketakutan, didekatinya Budi. Kemudian dia menusuk perut laki-laki itu, yang langsung tersentak menahan sakit.

Lalu Seorang Belanda mencabut pisau yang telah ditusukkannya dalam-dalam, membuka tangannya seolah menunjukkan kalau dia berkuasa.

"Inilah yang terjadi kalau kalian berani melawan," ujarnya, lalu dia tertawa, diikuti oleh teman-teman penyuruhnya yang lain.

Budi melemah, tersenyum tipis.

"Semua makanan itu takkan pernah membuatku kenyang. Terima kasih, matiku nikmat," ucapnya, lalu dia menutup matanya.

GenFest 2021: Historical FictionKde žijí příběhy. Začni objevovat