09. Leon's Birthday (1)

124 22 1
                                    

Mentari kembali menampakkan dirinya di langit Kota Bandung, bersamaan dengan terbukanya kedua mata Nadisa. Yang kini terasa perih dan membengkak karena telah menangis nyaris semalaman.

Pun kerongkongannya kini terasa terbakar. Benar-benar haus.

"Bibi, ambilkan Disa a--"

Ucapan Nadisa terhenti tatkala ia menyadari bahwa dirinya sudah tidak menempati kamar mewah miliknya. Dan kini, Nadisa juga bukanlah seorang Nona Muda.

Gadis cantik itu mengembuskan napas dengan lelah. Lalu beranjak dari ranjangnya.

Tepat ketika dirinya ingin berjalan menuju pintu, Nadisa melihat pantulan dirinya di cermin. Mematut tampilan dirinya yang begitu menyedihkan. Dan tanpa sengaja, pandangannya terfokus pada kalung yang hingga saat ini masih melingkari lehernya.

Tatapannya meredup.

Dalam keheningan, Nadisa melepas kalung dengan liontin yang indah itu. Lalu meletakkannya di atas nakas. Barulah dirinya mengambil langkah untuk keluar dari kamarnya.

Krieeet.

Tepat ketika ia membuka pintu berbahan kayu itu, Nadisa menemukan satu gelas susu. Yang kini sudah menjadi dingin karena didera udara sejuk Kota Bandung selama semalaman penuh.

Nadisa mengambil gelas itu.

"Jevano, ya..." gumamnya parau. Lalu menyesap sedikit susu dari gelas itu.

"Lisa?" Suara yang jernih itu membuat Nadisa menoleh, lalu mendapati eksistensi Yara yang tersenyum manis tak jauh darinya. "Aa, kamu mau ikut aku buat sarapan?"

Nadisa mengarahkan jari telunjuknya ke dirinya sendiri.

"Aku?"

"Iya, tentu saja kamu. Memangnya ada Lisa yang lain di sini?" tanya Yara disertai kekehan lucunya.

Nadisa mengerjapkan mata dengan linglung. Ah, ia lupa bahwa dirinya dikenal sebagai Lisa di sini.

"Ayo, Lisa. Kita memasak bersama," ajak Yara dengan ramah. Lalu mengamit lengan Nadisa dan menariknya dengan bersemangat.

Nadisa menyempatkan diri menaruh segelas susu yang ia pegang di atas meja ruang tengah. Lalu pasrah saja tatkala Yara membawa dirinya menuju dapur panti asuhan yang kini menjadi tempat tinggalnya.

***

Rendy Juna Widjaja duduk dengan tatapan kosong. Tepat di samping ranjang maminya, Wenda Widjaja, yang hingga kini masih menutup mata. Padahal hari kini sudah beranjak pagi. Yang artinya; ia sudah lebih dari sepuluh jam duduk di samping sang Mami. Di dalam kamar VVIP salah satu rumah sakit swasta terbaik di Kota Jakarta ini.

Helaan napas meluncur dari bibir tipisnya.

Ia tidak menyangka. Hari ulang tahun maminya kemarin justru menjadi bencana. Dimana sang Mami justru kembali mencoba untuk mengakhiri hidupnya. Dan Rendy yakin, hal ini dikarenakan rasa bersalah Wenda terhadap anak di foto itu.

Si anak haram itu.

Tiba-tiba saja, ponsel Rendy bergetar. Menandakan adanya sebuah panggilan masuk.

Dari Haekal.

Rendy berdecak kesal, tapi ia tetap mengangkat telepon tersebut. Namun, alih-alih menyapa Haekal dengan ramah, Rendy justru berujar dengan penuh amarah.

"Diem, anjing! Gue lagi sibuk! Jangan ganggu gue atau gue abisin lo!"

Lalu Rendy memutus sambungan teleponnya secara sepihak. Tidak berhenti di sana, Rendy membanting smartphone-nya ke lantai. Menyalurkan seluruh emosi yang memenuhi dadanya.

In Another Life || Jeno LeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang