5

464 77 4
                                    

Semalam adalah waktu yang membuatku lebih banyak tersenyum. Ada calon bunda dan calon adik yang keras kepala dan nakal.

Pagi ini seperti biasa. Berangkat sekolah dengan sebungkus roti dan susu dalam tas. Ponselku berbunyi. Membuatku memutar bola mata malas.

Aku tidak banyak menyimpan kontak. Anak kelas pun hanya Ajeng. Tapi sepertinya ponselku akan ramai akhir-akhir ini. Siapa lagi penyebabnya kalau bukan Rey.

Semalam kami sempat bertukar nomer whatsapp. Dan yeah.. Aku dengan tidak ikhlas sih bertukaran dengan dia.

Aku hanya tidak ingin menjadi pusat perhatian atas perilaku Rey yang masih seperti bocah.

Apalagi  aku sudah membuat dia kepo pasal tawuran. Semalam seusai mengatakan bahwa aku tahu. Aku tidak menjelaskan apapun pada dia.

Ini tidak akan seru jika aku dengan mudahnya membuka mulut tentang perseteruan yang menimbulkan benjolan! Hey! Dua kubu itu sama sama tidak ada otak!

Memilih mematikan data. Kali ini aku di antar sopir. Tidak menghabiskan uang dengan memesan grabcar.

"Lo tau nggak Yoga buat strateginya gila banget," Suara itu menyapa gendang telingaku saat berjalan masuk dari gerbang.

"Emang apa sih? Dia dendam banget keknya" Laki-laki berbaju lusuh itu mulai gemas.

"Yaiyalah! Si Vano aja sampe di rawat di rumah sakit Singapore!"

What?!

Aku terkekeh pelan. Apa-apaan ini. Kejadian kemaren bukan membuat mereka berfikir kritis dan dewasa. Sepertinya mereka akan melakukan kebodohan yang kedua kalinya.

Aku menanti. Aku tidak dalam kubu siapapun. Tapi pemilik motor berplat kemaren  sepertinya adalah orang yang hmm...

Apa dia  sakit?

Aku mengenyahkan segala bentuk pikiran negatif yang ku rangkai sendiri. otak kamu bisa kan diem gitu!!

Aku melanjutkan langkah. Mengabaikan beberapa orang yang tertawa begitu keras.

Apa tidak bisa di kecilkan? Paling tidak tutup mulut sih.

"WOY MINGGIR YA LO!"

"BALIKIN BUKU GUE ANJ!"

"NIK!! UDAH NYONTEK KAGAK TAU DIR---"

Bahkan tubuhku sudah menyingkir dan hampir menempel tembok. Tapi gadis yang berlarian sambil berteriak tidak jelas ini masih saja menabrakku?

"HAYOLO!!! RIA NABRAK ANAK ORANG!"

Shit!

"Eh maaf," Aku mencoba tersenyum meski rasa rasanya aku tidak ingin memberikan seutas senyumpun pada gadis berkucir kuda ini.

"NIK TANGGUNG JAWAB LO!" Huh! Mereka terlalu kekanak-kanakan. Siapa yang nabrak? Siapa yang harus bertanggung jawab.

Aku meninggalkan gadis yang di panggil Ria oleh cowok yang membawa kabur sebuah buku. Aku pikir dia bernama Nik.

Menghela nafas sebentar. Ini begitu bising yang tak kusukai. Aku butuh rasa sepi untuk menghalau segala bentuk emosi.

...

Belakang sekolah adalah salah satu tempat sepi dan cukup buruk untuk di jadikan tongkrongan. Lihat saja rumput-rumput yang panjang dan beberapa kursi rusak serta meja yang tidak terurus dan tersusun rapi.

Aku membutuhkan tempat sepi. Dan tempat paling sepi yang pernah aku kunjungi jatuh kepada belakang sekolah.

Entah kenapa dalam waktu 24 jam aku butuh tempat yang paling sepi,  dan tempat dimana tidak ada satupun orang kecuali aku. Meski beberapa menit saja. Tidak perlu lama-lama.

"Kita buat rencana," Suara seseorang yang melangkah menuju tempatku mulai terdengar. Ingat kuping ku bersih.

Aku memilih menunduk karena sampingku terdapat beberapa tumpukan meja dan kursi yang cukup tinggi.

"Tapi bukannya itu--"

"Nggak! Lo nggak kasian lihat Vano?"

"Njing! Fokuslah mental Garuda nih,"

"Oke jadi kita kasih--"

Kepalaku sangat pegal. Sial dua kali aku terjebak dalam suasana tidak mengenakan. Memilih menyenderkan kepala. Aku masih mendengarkan segala ucapan mereka.

Rencana,rencana,dan rencana. Aku tidak tau apa akan terlaksana atau tidak. Dasar bodoh!

Apalah mereka ini. Menit ke tigapuluh aku masih bisa menahan. Tapi KEPALAKU TIDAK BISA MENAHAN!

Masabodoh! Seharusnya aku berfikir masabodoh dengan mereka! Tidak berdiam diri dan menyiksa diri sendiri. Apalah ini!

Aku memantapkan diri untuk keluar dari penyiksaan. Memilih mendongkakan kepala. Dan menggelengkan kepala ke kanan dan ke kiri. Ada bunyi krek sih.

"HUH!" Aku berdiri tanpa melihat mereka yang masih ada atau tidak.

"Hah?" Aku mengerjapkan mata sebelum menoleh ke asal suara.

"Lo? Tidur di.. Sini?" Aku menatap tajam lelaki yang mengalungkan sebuah kamera di lehernya.

"Lo pikir?" Aku hanya mengangkat sebelah alis, apa mungkin tempat ini cocok di jadikan pengganti tempat tidur? Apa dia..

Sebodoh itu?!

"Lo di sini dari tadi?" Memutar bola mata malas. Mungkin yang ada dipikirannya aku adalah wanita sombong dan angkuh. Tapi siapa dia yang bisa menilaiku sebelah mata?

"Terus?"merentangkan tangan dan membuat gerakan untuk merilekskan badan sejenak. Aku memilih pergi berjalan dan menjauh dari manusia berkamera.

Tapi sejak kapan dia ada disitu? Apakah  beberapa orang tadi udah pergi?

Lebih bodoh lagi. Kenapa aku memikirkan itu?

"Woi! FE?!"

Fe? Aku? Hah? Masalahnya aku sudah berjalan cukup jauh dari tempat terkutuk itu! Dan ada beberapa orang yang berlalu lalang. Aku tidak ingin menengok ke sumber suara karena Fe itu tidak hanya aku.

"Lo cukup tau?" Ada seseorang yang menyamai langkahku. Aku menoleh ke arahnya.

Menaikan alis sebelah, dan kembali menatap ke depan. Aku tidak masalah dia menyamai langkahku dan berjalan di sebelahku.

"Bisu?"menarik sudut bibirku. Aku tidak termakan omongannya. Di belakang sekolah tadi aku sudah berbicara, jika telinga dia tidak bermasalah dia tidak akan mengucapkan kata bisu.

"Lo budek?" Aku melirik sekilas lelaki berkamera ini. Pernah ketemu beberapa kali.

Hm.. Babu sekolah sepertinya.

"Harusnya yang bilang budek itu gue!" Dia terlihat mulai gemas. Ya.. Aku tidak peduli.

"Yaudah bilang aja," Seusai mengatakan itu aku mempercepat langkah menuju kelas. Jam pertama tadi kosong. Kalau tidak aku terhitung bolos.

Masih di perjalanan menuju kelas. Tapi suara yang sama kembali menyapa tepat di telingaku.

"Gue tau lo."

bukan FIGURANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang