[Sehangat Masa Lalu]

16 3 8
                                    

"APA YANG KAU LAKUKAN?" Kakak meninggikan suaranya yang membuat jantungku sempat berhenti sepersekian detik.

Darah segar dengan cepat mengalir dari sayatan yang barusan aku ukir dalam, pada kedua lenganku. Aku tidak mempedulikannya, itu tidak sakit sama sekali. Yang aku pedulikan sekarang adalah kakak yang berdiri tepat di depanku.

"Kak.. A-aku mohon kembalikan pisau lipatku." Aku ditangkap basah olehnya. Padahal sebentar lagi aku akan menghilang dari dunia.

Tanpa menunggu jawaban, aku secepat mungkin mencoba kembali merampas pisau itu. Tentu saja aku kalah kuat, aku gagal menarik pisau lipat tersebut dan berujung malah tak sengaja melukai kakak.

"Peck, aku tadi mendengar teriakanmu. Aku panik sampai melompati pagar. Bahkan sampai sekarang jantungku masih berdegup sangat cepat!" Semburnya dengan lantang. Sayangnya aku tak berani membalas dan hanya bisa bergeming di tempat.

"Jangan harap aku mau mengembalikan pisau ini."

Aku terpaksa harus merelakan pisau lipat kesayanganku. Ini salahku.. lagi. Aku hanya menjadi sampah untuk dunia ini. Beban untuk kakak. Aku sedih.

.

[--✧--]

.

"Peck keluar, waktunya makan malam."

Gara-gara kejadian itu aku jadi merasa asing dengan kamarku sendiri. Dapat kurasakan tubuhku masih gemetar. Tapi aku harus tetap keluar daripada pintu kamarku harus didobrak.

Aku mengintip ke luar kamar terdahulu lalu memberanikan diri ke meja makan. Ugh, aku tak selera makan malam.

Kakak duduk di hadapanku, ia tidak menyentuh makanannya sama sekali melainkan melihatku dengan tatapan biasanya. Ini membuatku tidak nyaman.

"Maaf kak, aku masih kenyang."

Bodoooooh. Berani-beraninya aku bicara seperti itu. Aku menunduk tak berani menatapnya. Kakak bangkit lalu menarik kursinya ke sampingku, saatnya menyiapkan diri untuk serangan ceramah yang akan datang.

Daripada mendapat jurus seribu celoteh, aku merasakan tubuhku ditarik perlahan. Aku merinding.. bukan karena ketakutan, melainkan oleh karena hawa dingin yang tiba-tiba tergantikan hangat.

Setelah sadar sepenuhnya, kepalaku ternyata tengah bertopang pada pundak kanan kakak. Ia mengelus kepalaku lembut. Semburan perasaan nostalgia menerjangku, rasanya seperti waktu masih balita kami sering berpelukan begini. Rasanya agak aneh sekarang, tapi tetap menenangkan.

"Aku minta maaf karena telah berteriak padamu tadi, dik. Kau.. kalau..err.. jangan pernah lakukan itu lagi. Kau sangat tega mau meninggalkan kakakmu sendirian." Suara kakak bergetar di kalimat terakhir. Hanya perlu kalimat tersebut untuk membuat hatiku hancur lebur dan mulai meneteskan bulir air mata.

"Kalau ada yang mengganggu pikiranmu, ceritakan padaku. Mana mungkin kau tak percaya pada kakakmu sendiri, kan? Maafkan aku juga karena terlalu sibuk bekerja belakangan ini. Aku jadi tak ada waktu bersamamu." Ia melanjutkan kalimatnya. Sial, ceramah ini jauh lebih menyakitkan. Hentikan, hentikan, berhenti membuatku menangis lebih parah. Aku mulai sesegukan hebat, ini memalukan.

"Kau... Kau sangat egois kau tahu? kita tumbuh bersama dari kecil sejauh ini. Aku berimpian untuk merawatmu semenjak ayah dan ibu sudah tiada. Aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku harus mewujudkan impian itu. Dan kau dengan teganya ingin menghancurkan impian itu, tepat di depan mataku sore ini," sambungnya. Aku tak kuasa menahan bendungan air mata, aku menangis dan berteriak sejadi-jadinya.

Aku membalas pelukannya dengan erat. Elusan di kepalaku beralih menjadi irama tepukan pelan pada punggungku yang seolah mengundangku untuk menangis lebih keras. Beberapa menit hanya diisi oleh suara pilu yang ku keluarkan.

𝙶𝚞𝚍𝚊𝚗𝚐 𝙺𝚒𝚜𝚊𝚑حيث تعيش القصص. اكتشف الآن