21.Sendu

4 1 0
                                    

Gabriel semakin bingung dibuatnya, dia terus menebak-nebak kemana akhir dari cerita ini.

Manda tersenyum lalu kembali melanjutkan ucapannya, "Habis itu aku nungguin ojek, tapi nggak ada ojek yang lewat. Mungkin karena lagi hujan ya? Jadi aku pergi ke halte buat meneduh. Ada halte dekat situ soalnya. Nunggu lama banget, habis itu aku kelaperan jadi pas hujannya udah reda langsung aku pergi nyari tempat makan. Nah, aku pikir aku bawa dompet jadi aku langsung pesan makan aja. Eh, ternyata pas mau bayar aku nggak nemu dompetku. Udah keringat dingin aku,Kak. Untungnya ada orang baik yang mau bayarin makananku."

"Terus, kamu udah ganti uang ke orang itu?" tanya Gabriel.

"Oh iya, belum. Besok deh, aku balikin uangnya."

"Besok? Emang orang itu kenalanmu?" Gabriel masih penasaran siapa yang dimaksud Manda.

Gadis itu tersenyum lalu menatap ke arah Gabriel lekat-lekat. "Tentu saja! Orang itu kenal baik dengan kakak," ujarnya sambil tersenyum.

Pernyataan Manda semakin membuat Gabriel kebingungan. "Siapa, sih? Bikin penasaran aja," omelnya. Gabriel paling nggak suka dibuat penasaran, kalau penasaran pasti jadi kepikiran terus dan susah fokus melakukan hal yang lainnya.

"Dia tampan, Kak. Orangnya baik. Kakak lebih kenal sama dia dibandingkan aku kenal dia."

"Hah? Udah lama dong aku kenal sama dia?"

"Tentu saja," jawab Manda dengan girang. Gadis itu sengaja tidak memberitahukan siapa orang yang dimaksud, dia ingin hal ini menjadi rahasianya dulu. Dia yakin kalau kakaknya ini nggak bisa jaga rahasia, alhasil pasti pria itu akan mengadukan hal ini ke orang tua mereka. 

Manda masih dalam proses mengejar cinta orang itu, tidak mungkin memberitahukan kalau hubungan mereka belum pasti, mereka hanya sebatas guru dan murid sekarang.

"Kalau udah pasti, bakal aku ceritain ke kakak. Untuk sekarang, biarkan saja seperti ini ya, Kak?"

"Iya deh, nanti orang itu bisa-bisa nggak lepas dari pengawasanku. Beuh, awas aja kalau berani nyakitin kamu ya? Bakal berhadapan sama aku."

Manda tertawa mendengarnya, dia jadi gemas sendiri dengan kakaknya itu.

"Memangnya mau diapain sih, Kak?" goda Manda sambil menoel-noel bahu Gabriel.

Pria itu tampak berpikir sebentar lalu tersenyum. "Ya diajak ngerumpi terus kubilang selamat bisa membuat kamu nangis."

Ekspresi Manda langsung berubah, dia langsung cemberut mendengarnya. 

"Ih, apaan sih? Tadi aja kelihatannya mau ngehajar siapa aja yang tindas aku. Sekarang malah didukung orang yang nindas," omel Manda.

Gabriel tertawa lalu mengusap kepala Manda gemas. "Nggaklah, nanti lihat aja apa  yang terjadi. Mungkin kepercayaan kakak ke dia akan berkurang karena udah nyakitin orang yang berharga di hidup kakak."

Pria itu mungkin tidak tahu betapa terharu Manda saat ini, dia merasa sangat aman sekarang. Keluarganya adalah rumahnya, kakaknya memang tempat yang pas untuk berkeluh kesah dan bermanja-manja. Namun, saat ini mungkin akan jarang terjadi karena Gabriel memang bertekad untuk mendisiplinkan gadis itu.

Untuk beberapa saat tidak ada yang bersuara hingga Manda teringat akan satu hal.

"Oh iya, Kak. Tadi aku dipanggil lho ke ruang Pak Nares. Katanya aku ditawarin untuk ikut seleksi untuk mengikuti olimpiade Fisika. Gila nggak, sih, Kak?" tanya Manda dengan tatapan kagum setengah tidak percaya.

"Hah?"

"Nah, kan. Kakak aja ngerasa ada yang janggal--"

Manda merasa ada yang aneh, dia langsung menatap Gabriel lekat-lekat.

"Bentar, aku baru nyadar. Guru Fisika itu, kan, kakak. Kok Pak Nares yang nawarin ke aku?" 

Melihat tatapan penuh tanda tanya dan ekspresi menuntut dari adiknya menutup celah bagi Gabriel untuk mengeles. Dia tidak bisa mundur, mungkin memang sekarang waktunya untuk berdisksusi dengan adiknya itu.

"Iya, kakak memang guru Fisika. Kakak minta saran dari Pak Nares untuk peserta yang ikut seleksi. Posternya akan ditempel besok, nanti kamu juga bisa lihat di majalah dinding."

"Terus?"

Gabriel menghela napasnya, dia jadi gugup sekarang. Entah kenapa membicarakan hal serius dengan adiknya sekarang terasa sangat susah, seakan-akan dia mau melamar ke gadis pujaan hatinya saja.

Pria itu bahkan sudah keringat dingin, wajahnya agak memucat.

"Kakak dan Pak Nares itu satu tim sebagai tim pengajar di olimpiade. Olimpiade yang akan berlangsung itu olimpiade Fisika. Jadi, akan dilakukan seleksi."

"Iya, aku tahu itu, Kak. Terus kenapa aku?"

Manda masih tidak menyangka, dia tidak pernah berpikir dirinya akan berpartisipasi mengikuti seleksi olimpiade mengingat kemampuan logikanya yang tidak sebaik teman-temannya.

"Kamu punya potensi, Manda. Kamu tidak sendiri, akan ada Niko juga. Kalian bisa jadi tim dan saling mensuport satu sama lain. Niko juga pintar, kamu bisa mengandalkannya."

"Kak? Kakak bilang gini bukan karena kakak itu kakakku, kan? Nanti aku dihujat lho, Kak. Dikira kakak nggak objektif."

Gabriel tersenyum miris, itulah yang ditakutkannya. Padahal dia tidak bersikap subyektif, sebagai guru dia melihat ada potensi dari Manda dan ingin adiknya itu mengasah kemampuannya. Dia hanya perlu diasah supaya percaya kalau dia bisa. Gabriel paling gemes dengan orang yang punya potensi namun tidak mengasah kemampuannya, seperti berlian yang tidak diasah dan ditempa menjadi benda yang mahal harganya.

"Kamu bisa. Apapun hasilnya tidak masalah. Lagian ini hanya seleksi, semua orang juga bisa ikut, kan? Peserta seleski memang terbatas, ada dari pilihan guru dan ada dari murid yang ingin mendaftarkan dirinya sendiri. Jadi, tidak usah pikirkan hal tadi. Tidak akan terjadi hal buruk, Manda."

Manda terdiam untuk beberapa saat lalu tersenyum. "Aku mengerti, Kak. Jadi, apa yang harus aku lakukan?"

"Besok ambil formulir dan isi. Kakak dengar dari Nares kalau dia menyarankan kamu belajar bareng sama Niko, ya?"

Wajah Manda langsung bersemu merah. "Ah iya, tadi aku dibilang gitu sama Pak Nares. Tapi, nggak tahu, sih, Pak Nares udah bilang ke Niko atau belum."

Pria itu mengusap kepala adiknya pelan. "Tenang aja. Manfaatin kesempatan ini sebaik mungkin, ya. Belajar itu hobi yang mengasyikkan. Punya wawasan luas itu seru, lho. Dari pada bilang nggak tahu, mending bilang saya tahu. Tapi, jangan asal-asal juga jawabnya. Apa yang kamu ucapkan itu harus kamu pertanggungjawabkan. Jadi, jangan asal bicara."

Malam ini dia dapat banyak nasehat dari kakaknya. Hal yang sangat jarang didapatkannya, terlebih kali ini diucapkan dengan lembut. Manda bahagia, dia tidak lagi berpikir dirinya dibenci oleh kakaknya sendiri karena dia bisa merasakan betapa sayang pria itu padanya.

"Oke, Kak. Aku akan memanfaatkan kesempatan yang ada."

"Pinter. Kakak juga akan membantumu. Kita akan belajar juga di rumah. Jadi, kamu bisa lebih maksimal dalam memahami pelajaran. Mungkin sikap kakak tidak akan selembut sekarang, tapi bertahanlah," ujar Gabriel penuh ketulusan.

Manda terdiam, matanya mulai berkaca-kaca. "Kak, kakak nggak malu punya adik kayak aku?"

"Kenapa harus malu?" tanya balik Gabriel.

Gadis itu tersenyum, dia tampak menahan tangisnya. "Aku tidak sepintar orang lain."

-Bersambung-


Aku Menjadi Pacar Mantan Pacar Sahabatku (Tamat)Where stories live. Discover now