2/2

9.3K 157 10
                                    

Aku juga manusia, aku bukan malaikat dengan segala kemurahan hati yang Tuhan ciptakan dan berikan pada malaikat. Terkadang aku juga ingin egois, terkadang aku juga tak bisa melakukan semuanya sendiri. Tapi aku tak pernah bisa menunjukannya.

Aku selalu berusaha mengerti apa yang orang lain pikirkan dan lakukan, tapi terkadang aku berfikir apa mereka melakukan hal yang sama ? Terkadang aku khawatir setengah mati pada orang lain, tapi apa mereka memiliki kekhawatiran yang sama ? Terkadang rasanya aku sampai mau mati memikirkan perasaan orang lain, tapi apa mereka juga melakukan hal yang sama padaku ?

Aku tak pernah meminta imbalan. Aku tak pernah menuntut apapun. Aku tak pernah meminta balasan apapun.

Tapi demi Tuhan, apa ini semua tidak berlebihan jika selalu aku yang berusaha mengerti ? Apa ini tidak berlebihan jika selalu aku yang mengalah dan mati-matian membereskan semuanya sendiri.

Sendiri.

Seolah yang lain tak pernah peduli.

Seolah, meskipun mereka pedulipun mereka tak mau melakukan apapun.

Apa sebegitu tidak berharganya aku ? apa sebegitu tidak berartinya hubungan ini ? Hubungan ini seperti aku akan mati saat kalian meninggalkanku, dan kalian akan tetap baik-baik saja saat aku menghilang. Aku tak suka dengan pemikiran itu. Oke ini mungkin hanya kesimpulan bodoh yang aku ambil sendiri.

Aku hanya butuh satu. Aku hanya butuh satu sandaran. Aku hanya inginkan satu yang bisa kujadikan pegangan. Aku hanya ingin satu orang yang di depan dia sesekali aku bisa berteriak egois. Aku hanya ingin satu orang yang didepan dia aku bisa tertawa sepuasnya, menangis sampai mataku bengak.

Aku butuh satu orang yang di depannya aku bisa merengek manja minta bantuan apapun dan ditemani kemanapun aku ingin. Aku hanya butuh satu orang yang ketika di depan dia tidak harus selalu aku yang mengeri, tidak selalu aku yang mengalah, dan tidak selalu aku yang menjaga perasaan yang lain. Karena dia dengan senang hati akan melakukannya. Dia dengan senang hati akan mengerti aku, dia dengan senang hati akan mengalah padaku untuk beberapa hal, dia yang akan dengan senang hati menjaga perasaanku.

Aku hanya butuh satu orang yang selalu bisa jadi tempat aku berbagi segala hal yang aku rasakan. Tempat aku menggantungkan kebahagiaanku disana, dipundaknya.

Aku hanya butuh satu.

Satu.

Tapi kenapa terlalu sulit untuk menemukannya. Aku menghela nafas berat. Aku mengusap pelan air mata yang mengalir dipipiku perlahan. Aku menangis lagi. Aku benci menangis, aku tak pernah suka menangis.

-----

"Kiran." Aku mendongakan kepalaku perlahan dan menemukan Gilang, teman terdekatku berdiri disana sambil menatapku dengan aneh.

"Gilang ? lo ngapain ?" Aku mengusap lagi pipiku, membersihkan sisa air mata yang masih ada disana, lalu mendongak menatap Gilang.

"Lo ngapain disini sendirian ? parah lo ya Ki, gue sms gak dibales. Gak taunya disini bengong sendiri. Gue samperin kekosan gak ada. Gue kira lo diculik tau." Cowok itu menggedikan bahunya santai. Kemudian dengan menyebalkan langsung duduk di depanku. Dengan gerakan cepat tangan Gilang meraih cangkir yang ada dimeja dan meminum kopi punyaku itu.

"Pahit. Gue benci kopi." Gilang bergidik sesaat setelah minum kopi yang aku pesan.

Aku tertawa kecil dan merebut kopiku dari tangannya dan menyesapnya perlahan. Manis. Aneh. Tadi sepertinya kopi ini terasa pahit. Apa karena ada Gilang disini ? Sesaat kemudian aku menertawakan pemikiranku yang absurd.

"Gak usah sok minum kopi kalau lo gak doyan. Dasar cupu." Kataku sambil tersenyum kecil. Aku bisa lihat Gilang mendecak sebal mendengar perkataanku. "Ngapain kesini ? lo gak mungkin mau beli kopi kan kesini ?" Aku menatap Gilang sebentar dengan pandangan penuh tanya, sebelum akhirnya mengalihkan pandanganku kearah kaca disebelahku. Aku tak ingin siapapun tahu aku habis menangis. Terlebih lagi seorang Gilang.

LELAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang