17] Wrong

165 42 0
                                    

"Si bego, kok malah ngasih tau ke Giselle sih kalo kita ini agen?" Marah Jeffan pada Revan. "Ya, daripada dia nanya pertanyaan aneh lainnya, mending langsung to the point aja, kita ini siapa."

"Ya iya, tapi kan gak sampe sedetail itu jawabnya, Ya Tuhan."

"Yaudah lah, Jeff, lagian kemarin kata Giselle, dia gak bakal bocorin itu ke siapa-siapa kok. Udah, gak usah banyak bacot. Gue mau nge-date dulu sama Amanda, awas aja lo kalo ganggu."

Jeffan baru saja ingin membalas tapi Revan sudah lebih dulu pergi dengan mobilnya, pemuda itu berdecak malas dan menghela nafas lelah. Tapi seketika dia teringat sesuatu, "wait, Karina kemana ya? Kok gak keliatan dari kemarin?"

.

.

"Soal permintaan Anda kemarin, Nona. Aku pikir itu terlalu berlebihan, dan tentunya aku tidak mungkin diizinkan untuk pergi ke sana." 

"Ah, benar juga. Orang tua mana yang membiarkan anaknya pergi ke negeri orang sendirian? Aku akan mengirimkan surat rekomendasi sekolah agar orang tua mu percaya, dan mengantarkan mu pergi ke Indonesia."

"Anda benar-benar wanita yang sangat gigih dalam menjalankan sebuah misi, saya kagum akan hal itu, walau sebenarnya dibalik ini semua tersirat niat tidak baik Anda."

"Well, aku mencuri berlian ini bukan untuk kepentingan sendiri juga, aku hanya berusaha untuk melakukan sesuatu pada berlian itu. Jutaan orang terpesona dengan kilaunya, tapi tak banyak yang tahu atau malah sangat sedikit yang tahu jika berlian itu mempunyai banyak kegunaan dalam bidang teknologi di masa sekarang."

"Anda terdengar seperti seorang ilmuwan."

"Tapi perlu diingat lagi, aku akan menyuruh mu menyimpan berlian itu ketika aku sudah selesai dengan satu hal."

"Ya, baik, saya mengerti."

"Oke kalau begitu, minggu depan aku akan kembali ke Indonesia, sampai bertemu lagi, bocah."

"Semoga perjalanan Anda menyenangkan, Nona."

Tutt.

Karina mematikan panggilan telepon tersebut, tersenyum menatap layar komputernya. "Gak sia-sia gue begadang semaleman, habis ini tinggal diskusi buat rencana lainnya sama Giselle."

Gadis itu menghela nafas dan kembali mengerjakan pekerjaannya. 10 menit kemudian, seseorang masuk ke kamar dengan raut wajah datarnya.

"Memanggilku?" Tanya orang itu.

Karina berdecak, "bisa bahasa indonesia, kan?" Orang itu memutar matanya malas dan mengangguk, "kenapa?" Tanyanya

"Gue ada sesuatu buat disampein ke lo," jawab Karina. 

"Pasti gak penting." Balas orang itu cepat

"Ini penting! Dan lo harus dengerin gue sampe selesai!" Seru Karina.

.

.

1 Weeks Later..

Jakarta, 30 Juli 2046

"Oh, jadi lo abis pulang ke rumah orang tua lo, pantes aja gak keliatan dari kemarin." Karina mengangguki ucapan Jeffan. "By the way, lo akhir-akhir ini sibuk ya?" Tanya Karina lalu menyesap sedikit kopinya.

"Ya begitu lah, tugas kampus makin numpuk tiap hari," jawab Jeffan.

Karina tersenyum, "kalo lo udah gak terlalu sibuk lagi nanti, mau jalan sama gue gak?" Tawar Karina.

"Mau dong, siapa yang gak mau diajakin jalan sama lo." Karina tertawa mendengarnya, tak ada alasan khusus. Dia hanya melakukan rencana kecilnya yaitu mendekati Jeffan, toh dia harus bisa menakhlukan pemuda itu.

"Kenapa lo ngambil jurusan hukum, Jeff?" Tanya Karina yang terkesan tiba-tiba bagi Jeffan. "Y-ya, gue cukup tertarik sama jurusan itu, kalo lo sendiri?"

"Kalo gue sih gara-gara pengen tau seluk-beluk hukum aja, lo pasti pernah denger kan kalo orang yang ngerti hukum lebih rawan buat melakukan kejahatan?"

.

"Oh jadi kamu pikir aku gak tau kalo kemarin sebenernya gak ketemu Nia tapi malah ketemu sama temen cewek kamu yang lain?" Tanya Amanda dengan nada sedikit lantang pada Revan.

Revan tak berniat menyangkal karena memang kenyataannya begitu, tapi teman peremepuan yang dibilang Amanda tadi adalah Giselle, dan pacarnya ini tentu saja tidak tahu kalau temannya itu Giselle.

Beruntung kemarin Giselle memakai hoodie dan masker, jadi tidak ketahuan, bisa gawat untuk hubungannya dengan Amanda nanti.

Revan menghela nafas, "iya, kemarin aku emang gak ketemu sama Nia. Tapi temen cewek yang kamu maksud itu sahabat aku, Nda."

"Sahabat yang mana lagi si, Rev? Lagian mana ada sahabat sampe pelukan?" 

Oh ya, Revan lupa soal itu, sial.

Amanda menarik nafas panjang, "kamu kok jadi suka bohong gini sih ke aku, Rev? Bukannya waktu itu kamu yang bilang kalau kita harus sama-sama jujur?"

"Aku gak niat ngelakuin itu sumpah, Nda—

"Terus niat kamu apa? Selingkuh? Iya?" Tanya Amanda yang langsung digelengi oleh Revan, tidak mungkin dia selingkuh.

"Aku gak sengaja meluk dia, sumpah. Pas itu aku cuma lagi butuh tempat buat cerita aja."

"Terus gunanya aku sebagai pacar kamu itu apa? Kamu anggap apa pacar kamu ini?" Tanya Amanda dengan nadanya yang kembali meninggi.

Ah sudah lah, Revan menyerah berdebat dengan Amanda, cukup anggap saja jika semua ini salah Revan dan terus salahkan dirinya. Lagipula yang daritadi terus marah-marah Amanda, Revan sulit untuk membalasnya karena ucapannya selalu dipotong dengan cepat.

"Jadi sekarang kamu mau aku kayak gimana?" Tanya Revan pelan.

"Don't call or text me again! " Balas Amanda lalu langsung pergi meninggalkan Revan. Pemuda itu hanya bisa pasrah, terserah Amanda saja lah.

I'm The Stealer! [✓]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt