4

276 53 1
                                    

Pelayan yang hilir mudik mengabdi pada wastu yang separuh mati ini mungkin bisa dikelabui, tetapi adalah dusta jika Sasuke bilang ia tak sadar bahwa istrinya kerap menghindar dan menarik diri.

Perangai istrinya berubah, ia berbeda. Dan sekalipun Sasuke tahu alasannya, tetapi ia tak menduga perilaku sang jelita akan mengganggunya sedemikian rupa.

Sedikit banyak ia bertanya-tanya, apakah Hinata menyesalkan hal yang terjadi di antara mereka? Apakah sebagai wanita yang pernah mereguk kesempurnaan kakaknya dan pada satu masa dijanjikan untuk menjadi rumah bagi yang tak tercela, kini ketika mencecapnya justru tak pelak wanita itu merasa kecewa? Namun mau dipikir sebagaimanapun, ia tidak punya jawabannya. Meski spekulasi yang hilir mudik dalam kepala selalu berat pada opsi kedua, ia berkeras tak mau mengamininya.

Sepanjang hidupnya, Sasuke tak pernah mendamba. Lebih-lebih satu yang sedari awal ditakdirkan untuk menjadi kepunyaan kakaknya. Sasuke tahu dimana posisinya. Dan kakaknya yang sempurna adalah satu-satunya suaka yang ia punya dalam keluarga. Jangankan menuang pikir ke dalam aksi untuk berkhianat kepada Itachi, bermimpi saja ia tak berani. Pun hingga sekarang ia tak punya tendensi untuk mengingkari apa yang ia yakini.

Namun sebelum Itachi mati, ia sudah terlanjur berjanji. Yaitu bila sekiranya sang kakak tak bisa kembali, ia akan berdiri di puncak hierarki dan mengambil wanita yang pria itu cintai―tunangannya, yang selalu dipuji tanpa henti, sebagai istrinya sendiri. Sedikit yang ia ketahui bahwa pada akhirnya sebuah janji bisa membuatnya merasa dihakimi oleh orang mati.

Sejauh ini, Sasuke berusaha menahan diri dan membiarkan sang istri melakukan apapun yang wanita itu kehendaki. Bagaimanapun yang ia tawarkan kepada Hinata tak lebih dari sekadar proteksi sebagaimana yang diminta kakaknya. Ia tidak punya hak untuk bahkan menyimpan sekubit ekspektasi. Namun setelah malam dimana ia mencicipi gangsi feminin untuk yang pertama kali, mustahil untuk tak memikirkan hal yang telah mencipta adiksi dalam diri.

Hinata meninggalkan impresi yang kelewat dalam pada satu momen yang spesifik. Ia bisa dengan jelas mengingat bagaimana kulit wanita terasa di balik telapaknya, atau lekuk pinggangnya, atau bahkan ceruk lehernya. Dan bersama wanita itu, untuk kali pertama pula, rasa takutnya padam dan seluruh gelisah menghilang diredam sentuhan yang memabukkan. Kesedihan dan kerinduan akan kematian pun turut hilang dari peredaran. Maka meski harus menjadi pribadi yang tidak tahu diri dengan mengingkari apa yang pernah ia yakini, Sasuke memacu kaki dan mulai mencari.

Dari beberapa lokasi yang ia prediksi menjadi tempat Hinata bersembunyi, ia tidak menyangka akan benar menemukan wanita itu di kamar Itachi. Ia tidak tahu bagaimana istrinya menemukan kamar yang berada di seberang sayap tempat tinggal mereka, namun lepas berminggu-minggu tinggal disini, pasti sang jelita bereksplorasi.

Terlepas dari upaya melindungi mayoritas perabot dengan kain putih, kamar itu dilapisi debu. Namun Hinata tidak tampak terganggu sama sekali. Sembari duduk di tepi ranjang dalam posisi bersedekap, wanita itu memandang lukisan mendiang Itachi yang dipajang di atas perapian. Sorot matanya redup, tetapi Sasuke tidak tahu apakah itu disebabkan oleh rindu yang menggebu atau justru rasa malu. Yang ia tahu cuma fakta bahwa cara Hinata menatap wajah mendiang kakaknya begitu mendayu dan membuatnya cemburu.

Mungkin jika Itachi masih ada, ia tidak perlu berkontemplasi dalam momen seperti ini. Ia bahkan mungkin tak lagi berada di wastu utama Uchiha dan melipir ke pinggir ibukota saja, meninggalkan seluruh tetek-bengek tradisi dan turunannya kepada sang kakak yang memang sejak awal adalah pewaris utama. Itachi mungkin bahagia bersama Hinata, dan pada momen dimana mereka harus bersua, ia mungkin akan menyaksikan bagaimana mata pria itu kerap berbinar ketika memandang sang jelita. Dan di pundaknya, tidak akan ada beban serta rasa bersalah. Tidak ada kesedihan apalagi gundah gulana. Semua berjalan sebagaimana mestinya—Itachi tetap menjadi api yang membara, dan dirinya tak lebih dari bayangan sang prodigi yang luput dari pandangan.

"Dia mencintaimu," ucap Sasuke, tiba-tiba. Semata-mata menyuarakan fakta untuk membuka percakapan. Matanya beralih dari Hinata kepada lukisan sang kakak, sementara lidahnya yang baru saja bertindak tanpa perintah berubah kelu seolah baru menelan debu.

Melemparkan senyum sendu, Hinata lalu mengangguk kaku, "Aku tahu."

"Kau mencintainya?" Sasuke tahu ia tengah berjudi dengan keadaan ketika berani melanjutkan percakapan dan melemparkan pertanyaan, tetapi jawaban yang ia nantikan tak kunjung datang.

Hinata mendesah panjang, kelihatan gamang. Sejurus kemudian, ketika manik ametisnya memandang lukisan Itachi sekali lagi, barulah ia berkata, "Tidak dengan cara yang ia inginkan."

Konon kata-kata memiliki kekuatan dan mendengarnya dapat memberi beban. Jawaban yang Hinata berikan bisa jadi adalah kejujuran yang mengerikan, tetapi jauh lebih baik daripada kebohongan. Dan sekalipun mengudaran dengan gamblang, tetapi ada makna tersembunyi yang Sasuke pahami. Makna yang—dengan keparatnya—membuat ia merasa lega.

Memilih untuk bersandar di ambang pintu saja, Sasuke tak lagi melanjutkan percakapan. Momen berikutnya hanya diisi oleh keheningan yang beku, sebuah jeda yang terasa biru. Sampai kemudian Hinata menginisiasi pertanyaan yang kurang lebih mengejutkan:

"Apa kau menyesali pernikahan ini?"

Pertanyaan itu hampir terasa menghina, tetapi alih-alih merasa tersinggung, Sasuke justru bingung. Percakapan mereka agaknya menikung tanpa kendali di balik kemudi. Dan dengan kedua alis yang bertaut, ia kemudian menanyakan hal yang tak beda, "Apa kau menyesali pernikahan ini?"

Hinata menggelengkan kepala, lemah. Ia lalu membatukkan kekeh pilu. Dengan sudut bibir yang bergetar sementara mata kepala berubah nanar, ia mengalihkan fokus kepada Sasuke—"Seharusnya aku menyesalinya."

Sasuke tahu itu spekulasi dan bukan semua jawabannya, maka ia mendesak sang jelita, "Lalu?"

"Alih-alih penyesalan, hanya ada rasa bersalah." Ada jeda panjang yang terasa memekakan. Seulas senyum pilu yang mengoyak kalbu. "Aku seharusnya tidak berbohong kepadanya."

Entah menyedihkan atau mengejutkan, yang jelas jawaban tersebut lagi-lagi terdengar melegakan.

Selepas itu, Hinata mulai terisak. Hidungnya merah dengan air mata yang membanjir pada kedua sisi wajah. Sementara secara instingtif, Sasuke bergerak mendekat dan mendekap tubuh mungil istrinya seolah itu adalah tindakan paling natural di antara mereka.

Seluruh indranya berada dalam kondisi prima dan berfungsi dengan sempurna. Ia bisa merasakan tensi yang nyata pun juga duka yang tak beda, namun kacau sudah seluruh fokusnya, sebab satu-satunya hal yang bisa ia pikirkan adalah bagaimana Hinata terasa tepat dalam rengkuhannya. Nestapa serta nelangsa yang tak bisa ia bungkam semenjak kepergian kakaknya tiada begitu saja. Habis dibumihanguskan oleh eksistensi satu-satunya sosok senasib dan sepenanggungan, wanita yang membuatnya bermimpi bahwa di antara mereka bisa jadi masih ada masa depan.

Betapa Sasuke kini merasa menjadi seorang pendosa, tetapi tidak merasa sia-sia.

Survivor (SH)Where stories live. Discover now