Bagian 8: Pertukaran

3.2K 301 4
                                    

Kirana menyandarkan kepalanya di bahuku. Hatiku sungguh terasa perih. Melihat adik-adikku yang dulu sering bermanja, kini harus tidur bahkan di bangku ruang tunggu. Papa masuk ICU dan aku tidak tahu harus bagaimana. Pikiranku terus berputar bagaimana caranya mencari cara untuk menutupi biaya rumah sakit papa, karena penyihir sialan itu entah dimana. Sempat terlintas Jay di kepalaku. Tapi tidak mungkin aku meminjam uang padanya. Ia masih belum memiliki aset, tinggal pun masih bersama dengan ibunya. Apa aku jual saja rumah itu, tanpa sepengetahuan si penyihir? Astaga... Aku hembuskan nafas dengan kesal.

"Ada apa dengan dengusan itu, Dayana?" Suara itu datang dari sebelahku. Sebelum aku menoleh, tangannya mendarat di atas tanganku.

"He—"

Apa yang terjadi? Aku sudah berdiri dan entah ada dimana ini. Tangan seseorang yang suaranya kukenal, masih menggenggam tanganku. Pandanganku berpendar mengitari tempatku berdiri. Sebuah tempat berkabut yang sama seperti tempatku bertemu bapak bernama Jagatri. Pohon-pohon tinggi berjarak, memberi kesan misterius. Sepertinya aku kembali bermimpi. Aku melihat laki-laki memegang tanganku. Ia membelakangiku. Rambutnya hitam sedikit bergelombang dan panjang sepunggung. Ia mengenakan ikat bermotif batik kujang di bagian atas kepalanya. Tubuhnya sangat tinggi, sekitar 185 centimeter. Aku berusaha mengejar langkahnya, tapi aku selalu tertinggal.

"Maaf. Apa anda patih Jagatri, dalam bentuk lain?" tanyaku. Ia tidak menjawab.

Tangan kanan lelaki itu bergerak seolah sedang menyingkap sesuatu di hadapannya. Kabut pekat itu ikut menghilang laksana kain tipis yang ia enyahkan. Aku terpana melihat pemandangan di depanku. Kelabu dan kabut tadi berganti sebuah pemandangan cantik. Jembatan dari batu yang dibawahnya mengalir sungai yang jernih, dari danau berwarna toska. Lelaki itu berhenti. Aku masih sibuk memandangi keindahan di sekelilingku. Saat ia pandanganku akhirnya mendarat di wajahnya. Aku melihatnya tersenyum tipis. Wajah itu...

"Selamat datang di Sarpaloka, Dayana."

"K—Kak Rendra?" Ia tampak sangat berbeda. Seperti seorang kesatria yang gagah dengan guratan tegas di wajahnya yang... tampan.
"Panggil Rendra saja, Dayana."

"Panggil Aya saja, Kak... eh maksudku Rendra," ucapku tanpa memedulikan gelagatku yang serba salah dan aku yakin tampak bodoh, "Tapi ini dimana? Apa aku mimpi lagi?"

"Seper—"

"Sarpaloka itu dimana?" tanyaku memotong.

Rendra membawaku berjalan hingga akhir jembatan. Ada sebuah gazebo kecil nan cantik dengan dua kursi yang berhadapan. Diantara kursi itu terdapat sebuah meja dari marmer dengan dupa dan sesajen diatasnya.

"Di dunia ini terdapat beberapa dimensi, Aya. Saat ini kamu sedang berada di duniaku."

"Tunggu... Ini hanya mimpi kan? Kenapa terasa seperti nyata?"

"Ini bukan mimpi Aya," jawab Rendra. Aku mencubit keras tanganku hingga memerah dan memang terasa sangat sakit.

"Berhenti menyakiti dirimu. Ini bukan mimpi."

"..."

"Aku tahu kamu tak bisa mempercayainya. Tak apa-apa. Pasti kamu butuh waktu." Aku lebih suka Rendra yang menyebut dirinya dengan 'aku' ini daripada Rendra yang berambut pendek, si playboy itu.

"Tapi, Rendra... Aku harus mengurus ayahku saat ini... Bagaimana aku bisa kembali jika ini bukan mimpi?"

"Aku tahu, Aya. Oleh karena itu aku membawamu kemari."

"Apa maksudmu?"

"Kamu ingat ular hitam yang pernah kamu selamatkan di Pasir Tiis?" tanyanya. Aku mengangguk. Kenapa dia bisa tahu?
"Ular itu aku," jawabnya dengan serius.
Aku hanya mematung. Menatapnya tanpa arti. Apa maksudnya semua ini? "Aku tahu kamu tidak mempercayai segala hal tentang supernatural. Tapi detik ini adalah nyata." Semilir angin menerpa rambutnya. Ia membiarkan beberapa helai rambutnya menari-nari di wajahnya. Aku yang merasa geli.
Rendra berdiri. Di depan mataku ia berubah menjadi seekor ular. Ular hitam yang pernah aku selamatkan! Hanya lebih besar ratusan kali lipat. Astaga! Apa yang sedang terjadi? Pasti ini mimpi. Pasti. Tidak mungkin hal ini nyata.
"Ini bukan mimpi, Aya." Ular itu bicara! Semuanya pun menjadi gelap.
Kedua mataku terbuka. Aroma kayu cendana yang membangunkanku. Dimana ini? Aku tidur di atas tempat tidur dengan kelambu. Menoleh ke sebelah kanan, dari balik kelambu dapat kulihat isi ruangan tempatku berada ini. Sebuah ruangan yang terang dan luas. Sekitar tiga meter dari tempat tidurku terdapat partisi dari kayu. Aku masih belum menemukan pintu.
"Dimana ini?" Ah suaraku parau.
Seseorang menyibak kelambu perlahan dan ia tersenyum ke arahku. Seorang gadis cantik, namun ada sedikit sisik di kanan kiri wajahnya, di dekat telinga. Astaga! Ini benar-benar bukan mimpi??
"Sebentar, Nyai, saya panggilkan Yang Mulia..." Gadis itu pergi.
Yang Mulia? Apa lagi sih ini?
Aku mencoba bangun dan bersandar di ranjang. Hei, ini bukan pakaianku! Aneh sekali. Aku menggunakan kebaya dari beludru berwarna hitam dengan manik-manik cantik di bagian pergelangan tangan. Lalu kain batik panjang yang menempel sebagai bawahanku, namun rasanya ringan, sangat lembut seperti sutra. Ajaib sekali. Tiba-tiba seseorang duduk di pinggir ranjangku. Kemana kelambu tadi?
"Sudah bangun? Ini..." Aku mematung lagi. Membeku menatapnya. "Aya." Aku terhenyak. Ia menyodorkan sesuatu padaku. Sebuah gelas dari kayu yang sangat cantik.
"Minumlah..."
"Apa ini?"
"Ramuan herbal," jawabnya. Aku menolaknya dengan tanganku.
"Aku nggak suka jamu."
"Coba dulu, Aya." Rendra memaksa. Baiklah.
Akhirnya aku menyesapnya sedikit. Rasanya tidak seperti jamu. Lebih seperti teh yang dibuat dari bunga-bunga. Rasanya sangat enak. Akhirnya aku menghabiskannya.
"Baiklah. Jadi ini bukan mimpi kan?" Aku menyodorkan gelas kosong itu pada Rendra, yang kemudian ia berikan pada seorang gadis lain. Gadis yang sama-sama cantik. Rendra memberinya isyarat untuk meninggalkan kami.
"Seperti yang sudah kubilang."
"Oke. Aku belum tertarik dengan cerita lengkap tentang ini semua. Tapi tolong katakan apa maumu? Aku harus kembali, Rendra," tanyaku tanpa basa-basi.
"No rush," balasnya santai, aku terhenyak.
"Kamu bisa bahasa inggris?" Apa pertanyaanku meremehkannya?
"Tentu saja. Aku bisa bahasa Inggris, Belanda, Jepang dan bahasa lain sesuai kebutuhan. Kami tidak seprimitif yang kamu bayangkan, Nona," paparnya sambil tertawa kecil, "Kamu tahu, aku menonton supernatural tanpa teks." Sepertinya ia menyindirku.
"Oh, maaf."
"Tidak apa-apa, Aya. Kamu kan belum mengenal dunia kami." Ia mengulurkan tangannya padaku, "Ayo," ajaknya.
Rendra mengambil selop yang juga dari beludru di bawah ranjang. Mewah sekali. Ia akan memakaikannya padaku, namun aku menahannya.
"Aku bisa sendiri," ucapku. Rendra menaruh selop itu dibawah kakiku. "Playboy," desisku. Aku segera menutup mulutku dengan tanganku. Rendra tersenyum.

Permaisuri Kerajaan UlarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang