O2

1.1K 189 17
                                    

Akurat. Renjun diminta mengisi data, berhubungan dengan Jaehyun, nama pria yang ia tolong tadi. Sebelumnya, Jaehyun menyuruh Renjun memalsukan beberapa hal yang memancing Renjun berpikir negatif pada identitas asli Jaehyun. Renjun memilih tak ambil pusing, kepalanya seolah akan pecah kalau dipaksa berpikir lagi.

Selepas ditangani, dokter mempersilahkan Renjun masuk. Renjun berdiri di samping ranjang, menunggu Jaehyun mengajaknya bicara.

Jaehyun menaikkan alis, satu tangan pria itu terangkat, dijadikan bantal tambahan kepalanya.

Kertas kecil yang sudah terdapat tulisan, Renjun serahkan pada Jaehyun. Isinya, sudah boleh pulang?

"Belum, tunggu sampai orangku datang."

Orangku, Renjun memikirkan siapa yang dimaksud pria itu. Renjun kembali menulis, menggunakan pulpen yang selalu ada di kantung bersama kertas kecil.

Renjun bilang, sampai kapan?

"Entahlah, aku bahkan belum menghubungi mereka." Jaehyun tersenyum remeh, kakinya sengaja ditekuk. Sangat tidak menggambarkan orang sakit. Seolah pria itu tengah bersantai di pantai.

Sadar remaja yang tadi menolongnya kelelahan beridiri, lantaran kakinya terus bergerak acak. Jaehyun menggerakkan tangannya, menepuk sisi ranjang yang kosong.

"Duduk di sini."

Karena masih di ruang penanganan, Renjun tak punya pilihan lain selain duduk di pinggir ranjang, memperhatikan pria yang juga memperhatikannya. Mata mereka bertemu, Renjun memiringkan kepalanya.

'Seperti pernah bertemu.'

"Jaehyun, dan kau?"

Pria itu mengulurkan tangan. Renjun mengangguk canggung, menyalami tangan pria bernama Jaehyun itu. Terpikir oleh Renjun, apa alasan pria ini tadi tak menyebutkan nama aslinya ketika ditanya perawat. Antara Jaehyun berbohong padanya, atau perawat tadi.

Renjun menulis namanya di kertas, Renjun.

"Kau tak bisa bicara?" Tanya Jaehyun, diangguki Renjun.

Mereka sesekali saling lirik. Jaehyun menyadari ekspresi bosan yang terang-terangan diunjukkan Renjun, ingin menawarkan hal untuk diobrolkan namun urung begitu tiga orang masuk ke ruangan ini, mengalihkan atensi Renjun. Ya, lagi pula kenapa ia mau repot-repot menyulitkan diri bicara dengan Renjun yang memiliki gangguan bicara.

Satu dari mereka menggunakan pakaian formal, setelan jas, sama dengan Jaehyun.

"Kalian, antar dia pulang." Jaehyun mengkode dua orang yang memakai pakaian serba hitam, memajukkan dagunya menunjuk Renjun yang menunduk gelisah. Dalam hati, Renjun bersyukur akan diantarkan pulang, di sisi lain ia meragukan keselamatannya di tangan orang asing.

Bergantian, Renjun menoleh pada Jaehyun, lalu pria lain yang melihatnya dengan tangan bersidekap. Renjun manyun, secara tak sadar.

Medapat ide, Renjun akhirnya menyetujui untuk dihantarkan pulang. Tetapi sebelum sampai di mobil, Renjun kabur dari orang-orang tadi, lari mencari tempat paling sepi di rumah sakit ini.

Mana bisa Renjun membiarkan Jaehyun, pria yang baru ia temui hari ini mengetahui rumahnya. Apalagi Jaehyun dilihat dari manapun, tampak meragukan.

Beruntung smart watchnya masih menyala, Renjun memanfaatkan itu untuk menghubungi Doyoung. Gotcha! Doyoung mengiriminya pesan, dari ketikan dan banyaknya pesan yang bahkan belum berhenti sampai sekarang. Terbayang seberapa panik pamannya itu.

Renjun mengirimkan lokasinya, menunggu Doyoung sampai, baru ia akan keluar. Penjagaan, barangkali suruhan Jaehyun masih menunggu.

[ QUITUDE ]

Bertepatan Doyoung mengirim pesan, bahwa pria itu telah sampai di lobi rumah sakit ini, Renjun berlari keluar. Dengan nafas tak beraturan, Renjun masuk ke mobil yang ia kenal betul, duduk di samping Doyoung yang mengemudi.

"Hey, aku khawatir banget tahu?! Kau kemana saja sih?! Pesanku kenapa tak dibalas?" Doyoung menjalankan mobilnya pergi, sewaktu-waktu menoleh pada Renjun, entah mengecek kondisi anak itu atau menunggu jawaban.

"Ren?" Doyoung memelankan mobil, ikut menengok ke belakang, namun tak menemukan hal mencurigakan di belakang mobil mereka yang bisa membuat Renjun tampak panik. Seperti ada yang mengikuti mereka misalnya.

Doyoung menarik kertas kecil dari kantung Renjun, beserta pulpen. Memaksa Renjun menceritakan semuanya, apa yang dialami anak itu, apa yang membuatnya sulit dihubungi, apa yang Renjun lakukan di rumah sakit tadi. Yang terakhir, sungguh buat Doyoung penasaran.

Tapi, Renjun tak henti-hentinya menghela nafas kasar tatkala mulai menulis. Renjun selalu begitu saat kelelahan. Jadi Doyoung yakin Renjun tak akan menceritakan rinci kejadiannya. Memang benar, seharusnya dari awal Doyoung bisa mengendalikan dirinya, menunggu sampai mereka tiba di rumah.

"Nanti saja, kita bahas lagi di rumah."

Dahi Renjun berkerut, bingung. Mengangguki suruhan Doyoung, melempar kertas tadi ke tempat sampah di sisi mobil. Seolah tak melewati hari berat, Renjun tidur setelah memundurkan kursinya ke posisi yang nyaman, membiarkan Doyoung mengendara dalam sepi dan gelapnya malam.

Di rumah, Doyoung memaksa Renjun makan malam, bersama. Tidak, lebih tepatnya Doyoung hanya menemani Renjun saja.

Kebiasaan lain Doyoung yang membuat Renjun senang dan tak benar-benar merasa sendiri. Pria itu, meski sudah makan malam dengan teman atau partner kerjanya di luar pasti akan tetap menemani Renjun makan di rumah. Memastikan keponakannya makan dengan benar.

Jadi selagi Renjun mandi, Doyoung menunggu duluan di meja makan, memandangi maid menyiapkan makanan dengan tangan bersidekap. Mestinya ini jadi malam indah untuknya dan sang kekasih, lupakan saja soal makan malam romantis.

"Hey, silahkan." Doyoung tersenyum ke arah Renjun yang datang dengan santainya, hampir tertawa melihat iPad yang dibawa Renjun. Mereka sudah sering menjadikan itu bahan candaan.

Renjun menggeser piring selepas menyuapkan makanan, mulai mengetik untuk menjelaskan drama yang ia alami langsung hari ini. Mulai dari kecurian ponsel, ketinggalan bis sampai harus pindah halte dan berujung jadi saksi tindak kejahatan di gang sempit. Doyoung? Dia tak nampak kaget sama sekali, membuat Renjun kesal karena sudah lelah mengetik.

"Jadi, kau baru jadi superhero?"

Doyoung mengambil alih iPad Renjun sementara pemiliknya meneruskan makannya.

Renjun mendengus, melempar tatapan tajam pada Doyoung. Antara Doyoung ragu dengan ceritanya, atau ia baru saja diledek?

Ipad tadi Renjun tarik, spontan Doyoung yang tengah menggambar hal random, terkejut dengan garis yang mencoret gambarnya. Merusak keindahan yang hanya terlihat olehnya. Maka Doyoung menjitak kepala Renjun, pakai setengah tenaga.

Kenapa tadi telat bahkan tak datang menjemput?

Itu yang Renjun tanya dalam bentuk ketikan, gantian, ia ingin mendengar penjelasan Doyoung.

Malas bicara, Doyoung mengambil lagi iPad dari hadapan Renjun. Renjun tak marah, kalau orang lain yang melakukan mungkin Renjun sudah memukul orang itu karena merasa tersindir.

Maaf. Taeil pikir kau tak menyukainya, jadi dia mengajakku makan malam di rumahnya. Dia bilang akan mengirim supir untuk menjemput ke sekolahmu, tapi begitu membuka ponsel setelah selesai memasak makan malam untuk kami, pesanmu membuatku kaget dan bingung. yaa aku tinggal pergi saja Taeil makan sendiri, panik tau!

'Taeil berbohong? Tapi kenapa?' pikir Renjun.

Lamunan Renjun terganggu, Doyoung mencubitnya agar fokus saat makan. Renjun mengangguk kaku, pikirannya sudah negatif pada pria itu karena tak langsung membohongi Doyoung. Tak ada yang datang menjemputnya, tak ada yang mencarinya.

Bagaimana hubunganmu dengan Taeil? Renjun kembali mengetik, menyerahkan iPad pada Doyoung.

Baik, kenapa bertanya?

Menanggapi jawaban sekaligus pertanyaan Doyoung, Renjun menggelengkan kepala pelan. Mereka berdua saling diam, Renjun fokus pada makanannya dan Doyoung memainkan game di iPad milik Renjun.

Benar-benar hari yang melelahkan, dan gila.

QUIETUDE | JAERENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang