13. Hanya Retak, Bukan Pecah

34 8 1
                                    

Kahfi berjalan-jalan di sekitar pondok pesantren putri. Ia sedang menunggu Kiai Ali kembali dari pengajian di kampung sebelah. Katanya, sehabis pulang dari sana, Kiai Ali akan pergi ke rumah sakit untuk menjenguk teman lama. Makanya, Kahfi pikir, daripada Kiai Ali harus menunggu lama, lebih baik dirinya menunggu di sini saja.

Ketika sampai di bawah pohon jambu tempat di mana Gus Syatir biasa bermain, tak ada bocah itu di sana. Kalau tidak ada di bawah, berarti ada di atas. Kahfi mendongak dan tersenyum kecil melihat Gus Syatir sibuk menjalankan truk mainannya di dahan yang agak besar. Kahfi tak akan bertanya, bagaimana cara bocah itu naik.

Ia sudah khatam pada keistimewaan dan kebiasaan keluarga Kiai Ali. Ia terus menatap cucu sangat guru, sampai Gus Syatir melongok ke bawah. Mungkin sadar ada yang memperhatikan.

"Lek Kahfi, kenapa lihatin saya?" tanya bocah itu datar.

"Senang saja melihat Gus Syatir yang tampan bermain di atas pohon," sahut Kahfi sambil tertawa.

"Saya ndak tampan. Abi bilang, saya manis dan shalih."

"Iya, deh. Gus Syatir manis dan shalih. Mau main sama Lek Kahfi, ndak?" tawar Kahfi.

"Ndak, ah. Sebentar lagi, Lek Kahfi pasti mau pergi. Saya main sendiri saja, deh."

"Ya sudah, kalau begitu, Lek Kahfi lanjut jalan-jalan lagi, ya? Gus Syatir hati-hati di atas. Nanti, kalau sudah capek mainnya, langsung turun. Ingat, hati-hati!"

"Oke."

"Sudah makan siang, belum?"

"Sudah, Lek."

"Alhamdulillah. Permisi, ya, Gus."

"Iya."

Kahfi langsung berlalu diiringi tatapan bingung Gus Syatir. Hatinya merasakan sesuatu, tapi ia memilih tak peduli soal itu. Gus Syatir kembali memainkan truknya dengan santai. Sementara itu, Kahfi terus berjalan-jalan tanpa menghiraukan pandangan memuja dari beberapa santriwati yang tak sengaja ditemuinya.

Sebenarnya, kaum Adam tak boleh berkeliaran di zona wanita. Akan tetapi, Kahfi sudah mendapat legalitas untuk berada di sini. Selain menjadi ketua keamanan pesantren Tetirah Zikir, Kahfi harus selalu berada dalam jangkauan keluarga Kiai. Pengabdiannya sebagai sopir, mengharuskan Kahfi selalu siap sedia bila dibutuhkan.

"Assalamualaikum, Kang Kahfi!" sapa seorang gadis.

Dari Dewan Asatidz dan Asatidzah, Kahfi mengenal gadis yang sedang tersenyum malu di hadapannya. Ia adalah Bunga, si pembuat onar.

"Waalaikumsalam," jawab Kahfi sekilas sambil terus berlalu.

"Kang, saya minta waktunya sebentar!" seru Bunga lagi.

"Boleh, silakan." Kahfi menghentikan langkah dan menatap bunga bougenville yang rimbun, mengalahkan helai daunnya.

"Kang Kahfi, sudah punya calon istri belum?" tanya Bunga terang-terangan.

"Untuk saat ini, belum. Tapi, kalau Allah menghendaki saya bertemu dengan jodoh nanti sore, insyaallah, saya akan mempunyai calon istri."

Dalam hati, Kahfi kaget ditanyai seperti itu. Sebagai gadis, Bunga itu terlalu berani. Ia langsung menanyakan hal yang mungkin tidak sanggup dilakukan oleh gadis Jawa lainnya.

Namun, Kahfi tetap berusaha tenang. Tidak ada yang salah dari pertanyaan itu. Hanya saja, ia heran, kenapa Bunga berani menanyakan hal tersebut padanya, yang notabene adalah ketua keamanan sekaligus orang kepercayaan Kiai Ali.

"Kalau Kang Kahfi bersedia, saya mau jadi calon istrinya Kang Kahfi. Bapak sudah mendesak saya, setamat SMA, sudah harus menemukan calon suami, lalu menikah," ucap Bunga seraya menunduk.

I'm Not Terrorist [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang